Beginilah Kami Harus Memilih
Setiap akhir ibadah keluarga, kami selalu menyuguhkan makanan dan minuman, seperti keluarga yang ketempatan ibadah keluarga sore tadi. Sederhana hidangan yang disuguhkan. Memang ini menjadi kesepakatan kami. Di samping jajan dan buah, ada mi goreng dengan irisan-irisan telur dadar di atasnya. Dilengkapi dengan irisan kerahi (cucumis melo). Kami yang dewasa mendapat sepiring seperti hal anak-anak kami yang memang telah terbiasa ikut meramaikan ibadah keluarga. Hanya, mereka tidak mengikuti acaranya. Mereka membuat acara sendiri di teras atau halaman rumah dalam bentuk permaianan. Akan tetapi, ketika tiba waktu konsumsi keluar, mereka pun turut menikmati.
Yang sering terjadi, sekalipun bagian mereka tidak sebanyak bagian kami, mereka tidak menghabiskannya. Kalau sudah demikian, yang masih ada dalam piring diserahkan kepada kami orang tuanya. Kami pun bersyukur sebab sepertinya mereka memiliki kesadaran bahwa kalau makanan tidak habis tidak langsung dibuang. Kami harus menerima dengan lapang dada. Hanya, jika ibu-ibu yang mendapat “setoran” itu sering agak mengeluh karena takut bertambah gemuk. Toh begitu akhirnya dihabiskan juga.
Kami tidak pernah mengatakan kepada anak-anak kami bahwa kalau makanan tidak mereka habiskan, “ayammu mati”, ora ilok (kira-kira bahasa Indonesianya, tidak patut). Seperti, yang selalu dikatakan orang tua kami sewaktu kami masih kecil jika kami tidak menghabiskan makanan. Ya, boleh jadi masa-masa kecil kami, ayam, binatang yang kebanyakan menjadi piaraan keluarga, sebagai harta yang sangat berharga. Kami baru menyadari setelah remaja bahwa cara orang tua kami itu hanya untuk menakut-nakuti agar kami menghabiskan makanan yang kami makan. Sekalipun begitu, sewaktu kami kecil takutnya minta ampun. Dengan terpaksa, akhirnya kami menghabiskannya sekalipun perut sudah kenyang.
Budaya tersebut sudah mengurat akar pada setiap orang tua ketika itu. Sehingga, sekalipun kami berada jauh dengan orang tua, kalau makan pasti habis karena selalu ada teguran dari siapa pun orang tua (dewasa) yang mengetahui. Entah sampai kapan kebiasan (yang mungkin bisa disebut kearifan lokal) itu berlangsung, saya tidak mengetahuinya.
Senjata ampuh orang tua kami yang bisa “memaksa” kami menghabiskan makanan saat kami masih kecil itu, tentu tidak relevan lagi dengan dunia anak-anak kami (sekarang). Sekalipun di antara kami ada yang memelihara ayam. Pun mengatakan ora ilok agaknya juga kurang sesuai. Paling-paling kami mengatakan, tidak baik kalau makan tidak dihabiskan, di luar masih banyak orang yang kekurangan lho, kita harus mensyukuri anugerah Tuhan, dan yang sejenisnya. Akan tetapi, senjata itu tidak mampu menghentikan kebiasaan anak-anak kami.
Ya, begitulah kenyataannya. Kami harus rela hati untuk menerima bagian anak-anak kami yang masih “berlebih” itu. Kami harus menghabiskannya. Badan gemuk tidak apa-apa, asal sehat. Dan, cara itu lebih baik kami pilih agar keluarga yang dengan suka cita telah menyediakan tetap merasa suka cita.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
"Tidak baik kalau makan tidak dihabiskan, di luar masih banyak orang yang kekurangan lho, kita harus mensyukuri anugerah Tuhan." Belajar dari Pak Sungkowo nih. Memberi pemahaman yang lebih masuk akal. Terima kasih pak.
Terima kasih juga, Pak. Selamat malam.
Hahahaha. Tapi, sekarang tidak lagi untuk anak-anak kan, Bu.
Tidak beda dengan di tempat saya pak, saya waktu kecil juga dibilangin gitu kalau tidak habiskan makanan, "nanti ayammu mati",,
"Ora ilok" masih bagus dipakai kok pak...