Sungkowo

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Berefek
SOSIALISASI: Sosialisasi pemilahan sampah.

Berefek

Beberapa Senin lalu, saya masih sering menjumpai gelas kemasan minuman tergeletak di bawah pohon-pohon peneduh di lapangan, yang biasa untuk kegiatan upacara. Saat mempersiapkan sarana upacara, kami, saya dan salah seorang teman guru, harus memunguti sampah-sampah itu terlebih dahulu. Ada gelas kemasan yang sudah kosong. Ada juga yang masih berisi air minum sekalipun tak penuh. Jadi, tinggal sisa . Tergeletak sembarangan. Miring, berdiri, atau terbalik. Pokoknya semerawut.

Kondisi itu sangat mengganggu keelokan. Membuat hati saya ini tidak nyaman dan membikin mata ini pun berat memandang. Tentu tidak hanya mengganggu perasaan dan mata saya. Tapi, saya percaya orang-orang lain pun mengalami hal serupa jika melihatnya. Mereka akan sangat menyayangkannya. Ini respon yang wajar dari siapa pun, lebih-lebih dari orang yang peduli terhadap kebersihan.

Tapi, beberapa Senin belakangan ini saya tidak menjumpai lagi sampah kemasan minuman berserakan di lapangan. Lokasi upacara terlihat bersih saat kami mempersiapkan kegiatan upacara. Ini tanda bahwa sudah ada perubahan. Mungkin saja anak-anak yang biasa membuang gelas plastik kemasan minuman sudah tidak lagi membuangnya sembarangan. Mereka membuangnya di tempat sampah. Saya tidak mengetahui persis apa penyebabnya.

Ketika kami memunguti sampah-sampah tersebut memang sangat mudah dilihat banyak anak. Sebab, lokasinya berada di lapangan, yang dilewati oleh anak-anak saat hendak memasuki ruang-ruang kelas mereka. Sekalipun di antara mereka ada yang tidak melewati lapangan, tetap saja dapat melihat perbuatan kami. Sebab, lapangan upacara dikelilingi gedung sekolah, yang berupa ruang-ruang kelas yang pintunya menghadap ke lapangan. Jadi, sangat mungkin mereka melihat kami memunguti gelas-gelas plastik kemasan minuman yang mengotori lapangan.

Saya meyakini perbuatan kami itu “menyentuh” hati anak-anak yang biasa sembarang membuang sampah. Sekeras apa pun benak mereka kalau mereka melihat gurunya berbuat begitu terus-menerus, saya kira akan luluh. Toh mereka memiliki perasaan. Kalau pada hari pertama melihat guru memunguti sampah yang mereka buang, mereka tidak berubah, boleh jadi pada hari kedua, ketiga, atau entah yang kali ke berapa niscaya (akan) berubah. Memang tidak selalu dapat langsung berubah. Sedikit demi sedikit. Ada proses yang harus mereka alami.

Teman-teman mereka, terutama yang memiliki komitmen (tinggi) terhadap kebersihan, pasti mengingatkannya saat melihat mereka membuang sampah sembarangan di lapangan. Peringatan teman-teman mereka bukan mustahil malah lebih “menyentuh” hatinya. Karena jiwa kebersamaan mereka. Kalau yang satu berperilaku buruk, yang lain pun merasa bersalah. Sehingga mereka memiliki kewajiban saling mengingatkan. Di sini ada potensi yang dapat mengubah secara cepat kebiasaan buruk yang sedang terjadi.

Ya, setidaknya kalau keadaan lapangan upacara di sekolah kami bersih (dari sampah plastik kemasan minuman) kami merasa senang. Karena energi kami dapat lebih fokus mempersiapkan kegiatan upacara. Selain itu, keadaan tersebut menandakan bahwa warga sekolah kami, terutama anak-anak, sudah memiliki kesadaran tentang kebersihan.

Ketika guru tidak cuek terhadap sampah di lingkungan sekolah, yang memungkinkan dapat dipungut dan ia memungutnya merupakan bagian dari membangun kesadaran bersih lingkungan. Melakukannya tidak harus (menanti) diketahui oleh anak-anak. Ukurannya adalah kapan pun melihat ada sampah, patut sang guru memungutnya dan membuangnya ke tempat sampah. Kalau ada anak-anak yang mengetahuinya dapatlah perbuatan itu menjadi teladan.

Toh era sekarang kata-kata kurang memiliki efek. Ia hanya sebatas masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Tersimpan dalam pikiran dan benak saja sulit, apalagi menyatakannya dalam perbuatan. Berapa kali pihak berwajib sudah melarang masyarakat secara lisan dan tulisan membuang sampah ke sungai? Tidak terhitung bukan? Toh begitu masih saja berlangsung perbuatan mencemari sungai dengan sampah.

Tak jauh berbeda kenyataan itu dengan di lingkungan sekolah. Kepala sekolah dan guru (sekolah) sudah berkali-kali mengimbau, mengingatkan, dan menasihati agar anak-anak menjaga kebersihan lingkungan. Tapi, realitasnya tidak mudah mewujudkannya. Meski tak dipungkiri ada juga anak-anak yang melakukan perbuatan yang diimbaukan, ingatkan, dan nasihatkan guru. Tapi, tetap saja teladan guru dan kepedulian teman di antara anak-anak (sendiri) jauh lebih berefek.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post