Fitnah (III)
Fitnah begitu mudah terjadi. Apalagi di kancah kehidupan yang mengedepankan untung-rugi. Tak lagi mengenal sahabat. Pun saudara. Fitnah dapat meracuni siapa saja. Dapat menghancurkan sahabat, juga saudara. Fitnah tak peduli. Itu yang aku tahu hingga setua ini. Akan kucermati sungguh cerita sahabatku. Ayahnya menjadi korban fitnah, seperti yang dulu pernah dikatakannya kepadaku.
“Bagaimana ceritanya?” tanyaku.
Beberapa saat dia terdiam. Melepas pandang jauh ke depan. Sepertinya memandang puncak Gunung Muria yang tertutup awan, yang jelas terlihat dari tempat kami berada. Dan, aku melihat tiba-tiba awan itu pindah bergelayut di wajahnya. Kulihat matanya mulai berkaca-kaca. Aku jadi merasa bersalah. Kalau aku tak berharap dia bercerita, tentu tak akan ada peristiwa menyedihkan ini.
“Maafkan aku ya,” kataku kemudian, yang mengusik perasaannya. Itu kutahu karena dia langsung menatapku tersenyum sembari menyeka air mata yang belum sempat menetes. Mungkin saja supaya aku tak merasa bersalah. Ya, sahabatku ini memang begitu perasa dalam menjaga perasaan orang lain, tak sepertiku. Sifatnya tak berubah, tetap seperti dulu. Sangat pintar membangun suasana kembali normal, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Makanya, tak begitu lama, dia lalu bercerita mengenai fitnah yang menimpa ayahnya.
Cerita sahabatku itu, sekarang, kubagikan kepada pembaca dan syukurlah sahabatku itu ternyata mengizinkan. Begini ceritanya. Ayah sahabatku termasuk orang desa yang sangat sukses di daerahnya. Seorang pedagang beras. Ia satu-satunya pedagang beras yang bisa berhubungan dagang dengan salah seorang pebisnis warga keturunan. Ilmu berdagangnya memang diperoleh dari rekan bisnisnya itu. Meski tak diajari secara teori, praktik keseharian berdagang sebagai pembelajaran yang mudah diingat dan dilakukan.
Sekalipun kondisi bangsa saat itu penuh pergerakan, ia tetap fokus berdagang. Tak sedikit pun tergoda oleh pergerakan. Meski banyak kenalannya bergabung dalam pergerakan. Mereka yang bergabung dalam pergerakan mendapat jatah, yang cukup untuk membeli kebutuhan minimal keluarga. Orang-orang pergerakan tak lagi mengolah sawah mereka. Beras untuk kebutuhan sehari-hari, mereka dapatkan dari ayah sahabatku dengan cara membeli dengan uang jatah.
Dan, kacamata bisnis ayah sahabatku, memandang keadaan itu sebagai pangsa pasar yang menguntungkan. Apalagi bertambah hari orang-orang yang terjun ke pergerakan semakin banyak. Kondisi ini yang semakin membuat bisnis ayah sahabatku semakin besar. Untuk mengembangkan bisnisnya, padi dari orang-orang yang masih bertahan sebagai petani di desanya dibelinya. Bahkan, para petani dari desa lain pun menjual padi kepadanya. Karena kiprahnya dalam membeli padi sudah sangat terkenal, hampir semua petani sekecamatan, begitu jika boleh disebut, mengenalnya. Jadi wajar kalau ayah sahabatku dikenal sebagai juragan padi.
Padi selalu menggunung di rumahnya. Tak hanya menumpuk di dalam rumah. Padi yang sudah tertata dalam sak menumpuk juga di teras rumah. Padi-padi itu sudah siap ditumbuk karena sudah kering. Di rumah ayah sahabatku ada banyak lesung. Lesung-lesung itu tempat untuk menumbuk padi menjadi beras dengan tenaga manusia. Padi ditumbuk di lesung dengan alu. Orang yang menumbuk padi adalah para ibu, yang sebagian para istri kaum pergerakan di desanya.
Beras hasil tumbukan yang terkumpul tak sedikit. Seminggu dapat bersak-sak jumlahnya. Beras dalam jumlah banyak itu ia jual kepada rekan bisnisnya, yang warga keturunan itu. Untuk memperlancar distribusi beras itu, ayah sahabatku memiliki orang-orang sebagai buruh angkut. Mereka dapat memikul dua sak beras, yang bobotnya bisa sampai seratusan kilogram.
Dengan usaha itu, ayah sahabatku dapat membantu banyak orang. Terutama para tetangga. Yang perempuan bekerja sebagai penumbuk padi, sedangkan yang lelaki bekerja sebagai tukang angkut. Dari pekerjaan itu, para tetangganya dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak pernah ada yang kekurangan, meski hidup dalam skala sederhana.
Keberhasilan dalam usaha dagangnya ternyata menjadi target para tokoh pergerakan. Dengan berbagai rayuan, ayah sahabatku diajak bergabung. Ada tawaran menjadi ketua pergerakan di level ranting, ada tawaran menjadi bendahara, dan ada tawaran untuk posisi lain yang banyak diincar orang. Tapi, rayuan itu tak menggoyahkan pikirannya. Ia tetap fokus pada usaha dagangnya. Dan, terus membangun kerja sama dengan rekan bisnisnya yang warga keturunan, yang tinggal di pusat kota kawedanan itu. Usahanya terus berkembang.
Seiring usahanya berkembang, kondisi pergerakan juga mengalami keterkejutan-keterkejutan. Salah satunya adalah ada kabar bahwa rekan bisnisnya ditangkap aparat. Entah karena apa, ayah sahabatku tak mengetahuinya. Yang ia tahu adalah orang-orang yang terlibat dalam pergerakan banyak yang ditangkapi aparat. Termasuk banyak para lelaki di desanya yang juga tiba-tiba hilang. Kasak-kusuk yang berkembang di desanya adalah hilangnya para lelaki itu karena diambili aparat. Mereka dibawa ke markas aparat yang berada di kecamatan.
Saat itu ayah sahabatku tak banyak keluar rumah. Usaha dagangnya berhenti total. Karena situasi dan kondisi tak memungkinkan orang begitu bebas beraktivitas di luar rumah. Saat siang hari sepi, apalagi malam hari. Suasana malam mencekam karena gelap dan tak satu pun ada orang di luar. Rumah tertutup rapat, tanpa penerangan.
Tak ada firasat apa-apa. Sebab, memang ayah sahabatku hanya menekuni bisnisnya: berdagang padi dan beras. Lain tidak. Apalagi turut dalam pergerakan. Tak sama sekali. Jadi, kalau malam itu tiba-tiba ada aparat yang mengetuk pintu rumah supaya yang punya rumah membukakannya, sebagai peristiwa yang maha mengagetkan. Tapi, ayah sahabatku dan keluarga tak dapat membela diri. Sebab, dalam lembaran kertas yang berkop yang ditunjukkan oleh petugas berseragam itu tercetak juga namanya. Nama ayah sahabatku. Jelas sekali huruf-hurufnya, tak ada yang salah.
Ayah sahabatku hanya mengikut saja. Tak banyak tingkah. Apalagi keinginan untuk melarikan diri. Tak mungkin itu. Sebab, tiga petugas yang berbadan kekar itu tak mungkin lengah. Pun ayah sahabatku tak memiliki siasat apa pun untuk berlari.
Malam itu dalam rumah akhirnya tak ada ayah lagi. Tinggal ibu dan lima anak. Anak-anak yang masih belum mengetahui merah-putihnya keadaan bangsa itu hanya menangis mengerubuti ibu yang lemas bersandar di kursi kayu. Malam itu jadi semakin gelap gulita.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Sedih ceritanya pak Sungkowo. Pa kabar pak? Baru muncul kembali. Ditunggu tulisan ciamiknya lagi ya.
Kabar baik, Pak Yudha, hari ini. Oh ya...beberapa waktu terakhir ini badan agak terganggu dan juga ada kesibukan keluarga, Pak. Jadi, maaf, ya Pak.