Kebersamaan dalam Sepotong Lauk
Selama tiga hari saya ikut lokakarya guru inti pusat belajar guru (PBG) Kudus. Hari ini selesai. Dan, selama tiga hari itu saat pulang, saya dan teman-teman peserta, selalu membawa jatah konsumsi. Hari pertama, ikan bakar, sambal, dan lalap . Hari kedua, pepes bandeng dan telur bersambal. Hari ketiga, bandeng presto, lalap, dan telur asin. Semuanya tanpa nasi. Jadi, selama tiga hari, pulang lokakarya membawa lauk.
Pada hari pertama, kami tidak mengetahui alasan panitia, mengapa kami hanya menerima lauk. Meski begitu, kami tetap merasa senang. Toh pulang tetap membawa “oleh-oleh”. Jatah konsumsi yang mestinya untuk makan siang, karena bulan puasa, ya dibawa pulang. Sekalipun lauk saja. Di rumah pasti ada nasi. Harga nasi dibandingkan dengan harga lauk, yang jenisnya saya sebut di atas, tentu lebih mahal lauk.
Jadi, kami masih sangat beruntung. Coba kalau yang diserahkan oleh panitia kepada kami hanya nasi. Sama-sama dimasukkan dalam kardus konsumsi, tetap lebih bernilai lauk. Andai kata nilai lauk dibelikan nasi, tentu jumlah nasinya banyak. Satu kardus konsumsi bisa penuh. Bobotnya juga berat. Tetapi, sebaliknya jika nilai nasi satu kardus konsumsi dibelikan lauk, seperti yang saya sebut di atas, pastilah belum dapat. Jadi, pulang lokakarya membawa lauk lebih menguntungkan ketimbang membawa nasi.
Andai konsumsi diwujudkan dalam rupa nasi dan lauk, tentu berbeda. Coba bayangkan. Kalau konsumsi berupa nasi dan lauk, tentu lauknya tidak seperti yang saya sebutkan di atas. Bisa saja lauknya tidak berupa ikan bakar, sambal, dan lalap, seperti pada hari pertama. Pasti juga tidak seperti lauk pada hari kedua. Pun demikian berbeda dengan lauk pada hari ketiga.
Konsumsi yang sudah diatur oleh panitia itu bukan tanpa alasan, ternyata. Saya tahu dari pengakuan salah seorang panitia di hari kedua. Alasannya, ini bulan puasa, sehingga dipastikan tak ada yang makan siang karena pesertanya banyak yang beragama Islam. Sehingga lebih baik hanya disiapkan lauk. Saya pikir memang lebih baik seperti itu. Sebab, jika konsumsinya berupa nasi dan lauk, sesampainya di rumah hanya cukup dimakan oleh satu orang. Mungkin ayah. Mungkin ibu. Mungkin anak. Jika anaknya lebih dari satu, dibagi. Jadi, mungkin mengenyangkan, mungkin juga tidak. Di sinilah tampak kekurangberuntungannya. Sebab, hal itu kurang dapat menciptakan suasana kebersamaan dalam keluarga.
Kalau seperti yang saya dan peserta lain terima, hanya berupa lauk, justru dapat menciptakan suasana kebersamaan dalam keluarga. Karena lauk itu tidak habis dimakan sendiri. Untuk anggota keluarga kecil, yang terdiri atas orang tua dan dua anak, pasti cukup. Dan, di sinilah tampak suasana kebersamaan dalam keluarga itu. Berbagi bersama. Indah bukan?
Saya yakin panitia tidak sampai memikirkan nilai-nilai hidup seperti itu. Tetapi, nyatanya pengaturan mereka terkait dengan konsumsi yang hanya berupa lauk, melahirkan nilai-nilai hidup dalam keluarga peserta. Itu yang saya bayangkan. Dengan demikian, lokakarya guru inti PBG Kudus di bulan puasa ini tidak hanya menambah kompetensi keilmuan, tetapi juga membangun suasana kebersamaan dalam keluarga para peserta.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap pak Sungkowo. Lauk aja bisa enak bacanya. Keren
Uraian tentang lauk melahirkan nilai2 dalam hidup. Subhanalloh, pemaknaan yang mendalam. Luar biasa.
Banyak saudara kita di kampung nggak bisa makan lauk. Alhamdulillah panitia prlatihan koq baik begitu