Melek Huruf Sudah 94%, Tapi Indonesia Masih Rendah Minat Baca
Anies Baswedan, mantan Menteri Pendidikan Nasional RI, menjelaskan bahwa sekarang tingkat melek huruf penduduk Indonesia sudah mencapai 94% dari 250 juta jiwa. Berarti tinggal 6% saja yang buta huruf. Ini sejatinya fakta sejarah yang sangat membanggakan. Sebab, Indonesia tentu mudah untuk mencapai tingkat kesejahteraan hidup.
Masyarakat yang melek huruf memiliki peluang akses lebih baik ketimbang masyarakat yang buta huruf. Karena, mereka huruf dapat memeroleh banyak informasi lewat membaca. Lebih-lebih di zaman digital ini begitu banyak tersedia informasi yang dapat dibaca kapan dan di mana saja. Tidak hanya di kota-kota besar, di pelosok-pelosok desa pun akses untuk melahap banyak bacaan (informasi) mudah dilakukan. Yang bukan mustahil, hal ini dapat mengantarkan masyarakat pada tahap kesejahteraan hidup yang lebih baik.
Akan tetapi, modal besar (melek huruf) itu ternyata belum termanfaatkan dengan baik. Hal itu terbukti dalam hasil studi "Most Littered Nation In the World" oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu. Dalam studi itu tercatat betapa rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Karena Indonesia berada di urutan ke-60 dari 61 negara peserta di seluruh dunia.
Ini menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara melek huruf dan minat baca. Tidak dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang melek huruf pasti memiliki minat baca tinggi. Di Indonesia, secara umum, rendahnya minat baca masyarakat boleh jadi disebabkan oleh budaya literasi belum terbentuk di kalangan masyarakat.
Masyarakat Indonesia pada umumnya masih terbiasa dengan budaya mendengar dan bertutur. Budaya mendengar dan bertutur dialami oleh hampir semua masyarakat Indonesia. Baik di kota maupun desa. Keadaan ini semakin diperparah oleh datangnya budaya pandang-dengar yang merebak ke segala penjuru. Budaya ini memanjakan masyarakat. Sehingga budaya literasi, yang membutuhkan “energi” lebih, yang belum dialami secara mendalam, terabaikan begitu saja. Kenyataan ini (sepertinya) memenuhi prinsip, kalau ada yang mudah dan enak buat apa memilih yang sulit dan tak enak.
Barangkali apa yang dilakukan Saur Marlina Manurung, antropolog sekaligus penggerak pendidikan masyarakat rimba (suku pedalaman), dapat menjadi renungan dan inspirasi. Mengapa? Karena olehnya dikatakan bahwa masyarakat rimba yang didampinginya memiliki minat baca yang tinggi. Menurut Butet Manurung, demikian ia sering disapa, masyarakat rimba sudah memiliki budaya membaca meski tanpa media buku. Mereka pintar membaca alam dan lingkungan. Saat hendak berburu binatang, misalnya, mereka sudah membaca arah angin, cuaca, kondisi lingkungan, dan lain-lain terlebih dahulu. Sehingga binatang yang diburu mudah ditangkap.
Butet Manurung mengajari mereka membaca dan menulis dengan materi-materi yang bersentuhan dengan kehidupan mereka. Materi-materi yang sesuai dengan konteks keseharian mereka. Sehingga mudah dan langsung bisa dipraktikkan. Di samping itu, cara-cara yang bersifat menyenangkan dilakukan dalam mengajar. Kenyataan itulah yang memengaruhi masyarakat rimba senang membaca. Juga, barangkali karena mereka belum tercemari budaya global (baca: teknologi informasi), itu memudahkannya mencintai aktivitas membaca.
Hal-hal itu menunjukkan bahwa masih dibutuhkan kerja keras dari berbagai pihak untuk membangun minat baca masyarakat Indonesia. Perlu ada gerakan gemar membaca dari lingkup keluarga, RT, RW, desa/kelurahan, kecamatan, dan seterusnya. Satu dengan yang lain saling terkait dan berkomunikasi. Sehingga saling menguatkan dan memotivasi. Perlu ada Butet Manurung-Butet Manurung lain, yang menjadi penggerak. Pemerintah daerah/pusat menyediakan sarana prasarana yang memadai. Para pejabat yang berwenang memiliki dedikasi dan integritas yang tinggi dan respek terhadap gerakan ini. Lembaga-lembaga masyarakat dan mahasiswa ikut berperan penuh.
Sebab, sia-sia jika modal besar (95%) melek huruf masyarakat Indonesia tidak diberdayakan secara optimal. Pemberdayaan secara optimal potensi yang ada dengan melibatkan berbagai pihak, diyakini mampu mendorong masyarakat memiliki gairah membaca.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Memang menarik sekali informasi dari data yang ada, yaitu "melek huruf penduduk Indonesia sudah mencapai 94%, namun minat bacanya rendah." Saya rasa memang ada yang salah dalam pembelajaran di sekolah-sekolah. Bahasa yang seharusnya menjadi tool malah difungsikan seperti "benda kramat." Sehingga takut salah.
Kesalahan yang harus segera kita perbetuli bersama-sama, melibatkan banyak pihak. Terima kasih, Pak.
Betul, Bu Umul Muarofah. Terima kasih ya.....
Semoga ke depannya ada perubahan, ya Pak
Kebetulan saya juga baru buat tulisan tentang minat baca ini, malahan menurut UNESCO, hanya 1 dari 1000 penduduk Indonesia yang gemar membaca. Sedih juga ya, Pak...
Betul, Bu. Memprihatinkan.
Betul Pak. Bahkan yang berpendidikan tinggi pun ada yang malas baca. Sedihnya lagi, saat ada yang menulis dan memuatnya di media sosial, tulisan itu dijadikan bahan becanda. Tidak cukup sekadar membaca saja hingga harus mencerca tulisan.
Sikap saling menghargai dan memotivasi untuk meningkatkan potensi diri ternyata juga minim, ya Bu. Ini yang harus kita berantas, Bu. Ayo!
informatif pak.semoga menjadi pengingat tentang arti pentingnya gemar baca.
Semoga menggerakkan kita semua cinta membaca, ya Pak. Terima kasih.
Pencerahan hr ini utk menumbuhkan minat baca kita..trims pak
Terima kasih juga. Salam kenal.