Menginspirasi
Tentu sangat menggembirakan bertemu dengan orang tua, sanak saudara, dan handai taulan di hari Idul Fitri ini. Tidak hanya menikmati opor ayam hangat lezat, tetapi juga menikmati kebersamaan. Bersama-sama dalam mengembalikan hati bersih nan suci, bersalaman mengucap selamat kepada setiap yang dijumpa dan menjalin intim jiwa kemenangan dengan Tuhan Yang Mahabesar. Selamat ya, Saudara-saudaraku yang ber-Idul Fitri!
***
Saya juga merasa gembira, di saat saudara-saudara saya menikmati hari yang fitri, saya bisa mengikuti ibadah pagi di gereja dalam suasana penuh anugerah. Tidak hanya firman yang saya dengar dan rasakan, tetapi yang sungguh menyentuh benak saya adalah ketika ada informasi tentang salah seorang warga yang panen hasil bumi. Mengapa kok menyentuh benak saya? Karena hasil panennya sebagian dibawa sendiri ke gereja untuk dibagikan kepada warga lain yang membutuhkan. Sebagian masih ditinggal di rumah. Menurut penglihatan mata umum, hasil panennya sangat sederhana.
Kok? Sebab, hanya jenis empon-empon dan daun pisang. Yang jenis empon-empon dibawa sendiri karena mudah membawanya. Sedangkan yang daun pisang, ditinggal di rumah karena sulit membawanya. Akan tetapi, semuanya, baik empon-empon maupun daun pisang, diperuntukkan bagi warga gereja yang membutuhkan. Kalau yang jenis empon-empon warga dapat mengambilnya langsung dan memilih jenis apa yang dimaui. Sebab, ada kunyit, jahe, lengkuas, kunir, dan lain-lain. Sedangkan kalau yang daun pisang, warga harus mengambilnya di rumah. Tetapi tinggal membawa sebab sudah dipotong dari pohonnya dan ditata. Daun pisang dapat untuk memasak pepes, bothok, atau yang sejenisnya, segala masakan yang memanfaatkan bungkus daun pisang.
Banyak warga yang menyukai ternyata. Ya memang ibu-ibu. Sebab, ibu-ibulah yang aktivitas kesehariannya dekat dengan empon-empon. Ibu-ibu karier yang memasak mungkin tidak setiap hari, tetap memerlukan adanya empon-empon, seberapa pun yang diperlukan. Sedangkan ibu-ibu rumah tangga yang setiap hari memasak untuk keluarga, niscaya membutuhkan entah berapa banyak dan jenis empon-empon. Istri saya tadi mengambil beberapa bongkah lengkuas. Tentu ia yang paling mengetahui untuk apa mengambil lengkuas, bukan jahe, kencur, atau yang jenis lainnya.
Sayang saya tidak melihat saat ibu-ibu mengambil empon-empon tersebut. Tetapi, saya membayangkan, pasti mereka sangat bergembira. Mengambil sesuai kebutuhannya masing-masing. Sebab, tentu hanya mereka yang mengetahui kebutuhan dapurnya sendiri. Bapak-bapak, yang adalah para suami, tidak mengetahuinya. Saya pun tidak mengetahui alasannya mengapa istri saya mengambil lengkuas. Tetapi itulah ibu-ibu yang kepekaannya tidak dimiliki para bapak. Ada salah satu ibu, tidak saya sebut namanya, yang bertugas mengumumkan di depan warga tentang adanya empon-empon itu, mengaku sudah mengambil kencur karena ia merasa sakit batuk. Kencur memang dapat untuk mengobati batuk.
Seumur-umur saya baru kali ini menyaksikan orang berbagi berkat dengan sesama atas hal-hal yang sepertinya (dianggap) remeh-temeh. Apalagi dibawa dalam sebuah perkumpulan: ibadah minggu. Tetapi ternyata sangat dibutuhkan para ibu. Mungkin nilai ekonominya tidak seberapa, tetapi nilai kemanfaatannya ternyata menarik minat para ibu. Begitu kira-kira yang saya bayangkan, sebab ibu-ibu memang sangat memanfaatkan empon-empon di aktivitas dapurnya.
Dan, saya tidak mengetahui apakah banyak warga yang ada dalam gereja saat ibadah tadi pengetahuannya sesempit saya. Yang menganggap bahwa empon-empon dan daun pisang itu hal yang sangat sederhana. Jadi kurang okelah untuk dibagikan kepada sesama. Apalagi dibawa dalam sebuah pertemuan, yang dihadiri banyak orang. Bukankah Ini pertanda perbuatan (baik) yang dikhususkan?
Hal adanya seseorang menawari tetangganya saat panen empon-empon dan banyak memiliki daun pisang di kebun, kadang kita jumpai. Juga panen hasil bumi yang lain, seperti ketela, jambu, pepaya, dan jengkol. Itu memang budaya hidup bermasyarakat, saling memberi. Ada tetangga yang membutuhkan, disilakan mengambil. Sebuah kearifan sosial yang sudah lazim berlangsung di masyarakat kita.
Maka, sejatinya ketika saya menyaksikan perbuatan mulia yang kadang terabaikan oleh karena saya menganggapnya sangat sederhana, di situlah mata batin saya dicelikkan. Sebab, selama ini (mata batin saya) dibutakan terhadap tindakan baik sesederhana apa pun. Karena ternyata hal yang seolah sederhana, begitu berharga bagi banyak orang. Terima kasih, mbah Raboen Issachar. Semoga ini menginspirasi saya dan banyak orang.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Menginspirasi bgt,pak. Jadi malu hati sendiri,trkadang cenderung melihat yang prestise saja yang layak diberikan,padahal yang dibutuhkan bukan sekedar materi yang prestise tapi manfaat bagi penerima.T.O.P bgt pencerahan senja hari ini....
Semoga menginspirasi banyak orang, termasuk kita, ya Bu. Selamat petang.
sederhana tapu besar manfaatnya
Betul, Bu, secara langsung bagi ibu-ibu. Meski akhirnya yang kaum bapak dan anak-anak turut merasakannya. Hehehe. Terima kasih ya.
Wah, proses berbagi yang sederhana namun bermanfaat pak. Keren. Bisa ditiru nih. Boleh ya.
Ya, Pak. Boleh ditiru, Pak. Mbah Raboen pasti bahagia. Terima kasih, ya Pak.
Tulusnya berbagi. Sungguh mulia.
Betul, Bu Safiroh. Bagi saya itu sebuah kejutan karena yang seperti itu baru ini kali saya saksikan. Terima kasih, Bu.