Suparman Toaha

Suparman Toaha, lahir, di Urung, 10 November 1978 ...

Selengkapnya
Navigasi Web
NILAI YANG TAK BERNILAI
https://www.google.com/search?q=foto+nilai+raport+bagus&sxsrf

NILAI YANG TAK BERNILAI

Salah satu tugas guru selain mengajar dan mendidik adalah menilai. Guru memiliki kewajiban memberikan penilaian terhadap peserta didiknya. Mulai dari aspek sikap, pengetahuan sampai kepada keterampilan. Ketiga aspek di ataslah yang menjadi tugas keseharian guru dalam memberikan penilaian.

Menilai merupakan salah satu tolak ukur dalam keberhasilan proses pembelajaran. Selain itu, hasil dari penilaian dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dalam pembelajaran yang telah dilakukan. Dengan menilai, guru dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan dalam pembelajarannya selama ini. Dengan penilaian pula, maka guru dapat mengetahui capaian peserta didiknya yang berkaitan dengan sikap, pengetahuan dan keterampilan.

Setiap akhir tahun pelajaran, maka sering sekali terjadi perdebatan sengit antara guru ketika memaparkan penilannya masing-masing pada saat rapat kelulusan atau kenaikan kelas. Tidak jarang terjadi diskusi hebat ketika terjadi perbedaan pandangan/penilaian terhadap peserta didik. Terlebih lagi jika terdapat salah seorang peserta didik dinyatakan tidak naik kelas atau tidak lulus, maka wali kelas akan memperjuangkan anak walinya dengan berbagai macam dalil dan dalih.

Perdebatan memang merupakan hal biasa dalam alam demokrasi. Jangankan antara guru yang nota bene hanya diikat dalam satu satuan pendidian, antara suami-istri saja yang hidup serumah sering terjadi perdebatan karena perbedaan pendapat yang berkaitan dengan anak-anak mereka.

Pada dasarnya perdebatan bisa diminimalisir jika dalam memberikan penilaian memenuhi prinsip-prinsip penilaian. Jika sebuah nilai lahir dari prinsip shahih, objektif, adil, terpadu, terbuka, menyeluruh, sistimatis, akuntabel dan mengacu pada kriteria, maka penulis sangat yakin perdebatan dalam penetuan kelulusan atau kenaikan kelas bisa berkualitas dan berbobot.

Namun, yang sering terjadi adalah prinsip penilaian tertutupi oleh “rasa”. Rasa (perasaan) terkadang lebih ditonjolkan dalam penilaian daripada sembilan prinsip penilaian di atas. Rasa kasihan, iba dan tidak tega terkadang meluluh lantahkan bangunan penilaian yang kokoh. Hasilnya nilai yang diberikan kepada peserta didik tidak lagi berdasarkan data, melainkan berdasarkan rasa. Dokumen-dokumen yang telah dicatat selama proses pembelajaran yang seharusnya mejadi data dikalahkan oleh rasa.

Jika rasa masih menjadi unsur utama dalam penilaian, maka dapat dipastikan akan menjadi momok dalam peningkatan kualitas pendidikan. disatu sisi mungkin tujuannya baik karena menolong peserta didik atau tidak menghambat masa depannya dan lain sebagainya. Namun disisi lain, dapat menurunkan kualitas pendidikan.

Mungkin peserta didik akan merasa bahagia karena dibantu, namaun pada dasarnya bantuan tersebut justru dapat merusak mental sang peserta didik. Guru mungkin merasa yang diberkan itu adalah madu, namun pada dasarnya yang diberikan tersebt adalah madu beracun yang setiap saat dapat mematikan karakter peserta didiknya sendiri karena “nilai yang diberikan tak bernilai”

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren ulasannya PakSalam literasi sehat dan tetep bahagia.

11 Jul
Balas

Salam literasi ibu ely

12 Jul



search

New Post