Emak dan Mbah Sutirah (Tagur hari ke 17)
Dua perempuan sepuh, emak dan Mbah Sutirah menjalin keakraban yang luar biasa selama di tanah suci. Teman sekamar baik di Madinah dan Makah.
Awal pertemuan kami di saat manasik setelah Hari Raya Idul Fitri. Mbah Sutirah tidak tinggal di Jakarta sehingga tidak pernah hadir di manasik-manasik sebelumnya. Saat itu kita baru sebatas kenalan.
Pertemuan selanjutnya di atas pesawat Garuda. Posisi duduk kami sejajaran. Mbah bersama anak dan menantunya di kursi kiri pesawat, sementara, emak, saya, dan suami di kursi posisi tengah. Di pesawat inilah, akhirnya kami tahu kalau Mbah Sutirah anak dari Pak Sugeng, karu (Kepala Regu) kami.
Keakraban semakin terjalin karena kami ternyata sekamar di Madinah. Pada saat waktu istirahat kami saling berbincang. Saat jam.makan, kami pun akan makan bersama. Banyak cerita yang kami bagi sehingga kita saling mengenal satu dengan lainnya. Dari kebersamaan, akhirnya kita saling tahu apa kebiasaan kita masing-masing. Kami saling suport satu dengan yang lainnya.
Oh ya, selain saya, emak dan Mbah Sutirah, kami sekamar juga dengan Mbak Juniarti, (menantu MbahI) dan bu Julaikah Dari kami berlima, Mbah Sutirah dan ibu Julaikah, selalu paling dulu kalau ke Masjid Nabawi sementara 3 lainnya akan berangkat belakangan. Maklum, emak masih harus dilayani soal mandi dan berpakaian. Saya akan mendahulukan mempersiapkan emak, baru kemudian saya mandi dan bersiap-siap. Mbak Juniarti, yang sudah rapih akan setia menemani emak sampai saya siap. Mbak Juniarti tidak dengan mbah karena beliau langkahnya tidak bisa cepat akibat pernah patah kaki. Mbak Juni selalu ke Masjid Nabawi bersama saya dan emak.
Meskipun demikian, keakraban Mbah Sutirah dan emak saya luar biasa. Mbah juga banyak membantu emak ketika di kamar. Bahkan Mbah akan menjadi penyemangat enin ketika makannya sedang tidak berselera.
Suatu kita berwisata ke Jabal Rahmah, entah mengapa, Mbah memilih bersama saya dan emak. Mulai dari turun bus, selama di Jabal Rahmah, sampai jalan kembali ke bus. Saat di sini, emak enggan naik kursi rodanya. Ia memilih berjalan bergandengan dengan Mbah Sutirah. Sementara saya di belakang mereka berdua sambil mendorong kursi roda yang dilipat. Enin dan Mbah tampak gembira dan saling melindungi. Langkah Mbah Sutirah yang biasanya gesit, tampak ditahan pelan mengiringi langkah emak yang tertatih.
Kebersamaan emak dan Mbah Sutirah menjadi titik awal keakraban yang luar biasa. Seolah pertemuan dua manusia sepuh yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Muncul dengan tulus tanpa rekayasa. Keistimewaan ini, saya abadikan dalam bingkai foto yang indah.
Hem... jadi rindu dengan Mbah Sutirah. Semoga beliau sehat.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar