"Assalamu'alaikum... "

Mujii kaget. Dia bukannya menjawab salam Ibu Lila tetapi hanya terdiam lama kemudian segera meletakkan gitarnya dan langsung berdiri penuh kebingungan.

"Ibu turut berduka cita ya. Atas meninggalnya om kamu." Ibu Lila memberikan salam gamnaste.

Muji tambah bingung. "Om yang mana yang meninggal? Tanya Muji dalam hati.

Tidak lama Ibunya Muji keluar. Ibu Lila memberikan salam sambil mengucapkan rasa berbela sungkawa.

"Bagaimana kabarnya, Bu? Kenapa Ibu tidak pernah angkat panggilan saya? WA saya kok hanya dibaca saja? tanya Ibu Lila beruntut tapi diucapkan pelan tanpa jeda.

"Saya malu sama Ibu," jawab Ibunda Muji tak kalah pelan.

"Karena Muji dan Ibu mangkir terhadap isi perjanjian yang dibuat seminggu lalu, maka konsekuensinya ya seperti yang tertera di perjanjian itu ya. Mundur... Saya sudah siapkan kertas dan materai untuk Ibu," jelas Ibu Lila sambil mengeluarkan kertas dan materai dari tas tangannya. Ibu Lila pun mengeluarkan pulpen. "Nih, pulpennya juga sudah saya siapkam."

"Nggak ada kebijakan lain, Bu?Apa nggak ada penambahan waktu?" tanya Ibunda Muji.

"Bu, saya sudah memberikan banyak penambahan waktu. Dari hari Selasa perjanjian dibuat, katanya Rabu mau masuk. Nyatanya nggak alasan sakit. Kamisnya ditunggu nggak ada kabar. Jumat saya datang, katanya janji Senin masuk karena masih nggak sehat. Senin nggak masuk juga sampai hari ini tanpa ada kabar. WA saya dan guru BK nggak ibu hiraukan. Panggilan tidak diangkat. Ini sudah jadi bukti kalau Muji nggak pernah sungguh-sungguh berjanji. Ibu juga nggak kooperatif dengan kami." Ibu Lila panjang lebar mengutarakan semua fakta.

"Iya maaf, Bu." Ibunda Muji sepertinya bingung mau menuliskan apa. Ibu Lila membantu memandunya.

Surat pengunduran diri sudah diserahkan ke Ibu Lila.

"Sudah ya, Bu. Pesan saya, jaga Muji baik-baik. Jangan sia-siakan. Ibulah orang paling utama yang bisa membuat Muji bangkit dan belajar bertanggung jawab. Lewat ketegasan ibu, sayang, dan doa yang tulus. Atas nama pribadi dan sekolah, saya mohon maaf kalau akhirnya kebijakan ini yang kami ambil. Dari kelas VII kami sudah banyak memberikan permakluman terhadap masalah yang Muji hadapi. Kalau bantuan sepihak tanpa diikuti kesadaran bertanggung jawab tetap nggak akan ada hasilnya."

Ibu Lila berucap sambil beberapa kali menarik napas panjang untuk menanhan air matanya. Dipeluknya Ibu Muji dengan kuat sambil membisikan kalimat. "Ibu mesti kuat biar jadi panutan Muji!"

Ibu Lila kini ke arah Muji.

"Ingat Muji, ini harus jadi pelajaran berharga. Kamu laki-laki harus belajar bertanggung jawab pada dirimu sendiri. Teman-temanmu juga banyak yang punya masalah keluarga, tetapi mereka bisa tetap kuat berjuang untuk dirinya sendiri. Sholat jangan pernah tinggal. Minta kekuatan pada Allah, biar kamu bisa semangat. Jangan dituruti rasa malasmu ya, Nak."

Ketika menyampaikan nasihat untuk Muji, Ibu Lila tak bisa lagi membendung air matanya. Baginya, ini bukan kesuksesannya menjalankan tugas sebagai Wakil Kesiswaan. Namun, sebuah kegagalan karena tak mampu menemukan formula bagaimana membangkitkan semangat Muji untuk sekolah. Hati Muji benar-benar tergembok dan Ibu Lila dan timnya tak mampu menemukan kuncinya.