Ibu Suri

Seorang Guru yang tengah belajar berkisah melalui untaian aksara......

Selengkapnya
Navigasi Web

Intuisi

INTUISI

“Ibu merasa dikhianati anak sendiri!”. Suara itu terdengar pelan tetapi begitu menusuk bagi dua puluh anak yang tertunduk, diam. Hening, tak ada yang berani bersuara, apatah lagi mengangkat wajah memandang sosok yang hampir setahun membersamai mereka di dalam kelas. Mata Bu Mus ñanar menyapu anak didiknya satu-persatu, mencoba mencari titik terang. Dia yakin pelakunya ada diantara mereka, jangankan siswa dari kelas lain, bahkan siswa kelas sendiripun tak dibenarkan berada di kelas saat jam istirahat tanpa seizin guru.

Seisi kelas yang tengah asyik mengerjakan soal latihan IPS tiba-tiba heboh, Uang Bu Mus Hilang. Saat jam pelajaran berlangsung Ibu Hesty bendahara sekolah datang memberikan sebuah amplop berisi honornya memberi les tambahan persiapan UAN siswa kelas enam. Tanpa was-was, hasil jerih payahnya selama tiga bulan itu disimpan dalam laci meja. Begitu kembali dari ruang guru setelah jam istirahat, amplop coklat beserta isinya itu telah raib.

Lima belas menit waktu istirahat yang digunakan pelaku untuk beraksi, kemungkinan besar uang itu masih bersamanya, dan dia masih ada di ruangan kelas ini. “Muhlis, Reni dan Jumadah. Maju ke depan !” Bu Mus menginstuksikan siswanya. Materi membuat bangun ruang membuat kelas mereka kotor , ketiga anak tadi ditugaskan membersihkan kelas pada saat jam istirahat tadi. Hanya mereka bertiga yang berada di kelas.

"Saya memang menyapu bagian bawah meja guru, tapi tak menyentuh apapun diatas meja, Bu.” Muhlis menjelaskan alibinya.

“Saya menghapus papan tulis, Bu." Reni memegang ujung hidungnya, berusaha menghilangkan gugup. Ekor mata Bu Mus melirik papan putih di sampingnya yang menempel di tembok. Tak ada lagi coretannya saat menjelaskan tadi.

“Saya, saya membuang sampah dan membagikan buku latihan yang sudah ibu periksa ke meja teman-teman.” Jumadah tak kalah gugupnya. Meja guru telah rapi dari tumpukan buku latihan siswa. Kelas menjadi kasak kusuk mendengar penjelasan Jumadah. Wajah Jumadah pias, dia sadar telah menjadi orang yang paling di curigai.

“Wah, belum kapok….”Walau berbisik, suara teman-temannya jelas terdengar mengingatkan kejadian dua tahun lalu sewaktu masih di kelas empat.

“Tetapi sungguh, bukan saya Bu yang mengambil.”Mata bocah kelas enam itu berkaca-kaca.

“Sudah-sudah, Begini saja. Kalian bertiga ke pojok kelas, tulis apa yang kalian lakukan sewaktu jam istirahat tadi. ” Bu Mus berkata tegas. Masing-masing menerima kertas yang disodorkan, melakukan yang diperintahkan.

Bu Mus memandang bergantian tiga siswanya yang tengah menulis di pojok kelas.

Muhlis, sang ketua kelas. Selama ini dia menunjukkan perilaku yang cukup baik. Dia Putra Ustads Fahmi, Didikan agama dari orangtuanya semestinya bisa menjauhkannya dari perbuatan tercela.

Reni, siswinya yang satu ini anak pak Kosumo, pemilik toko elektronik yang cukup besar di kota ini dikenal dermawan, bahkan beliau pernah mendonasikan 10 perangkat komputer untuk kebutuhan sekolah. Kedermawanan Pak Kusumo juga menurun kepada putrinya Reni, kebiasaanya mentraktir membuat dia disenangi teman-temannya. Jumlah uang yang hilang tak seberapa bagi Reni, dia bisa meminta pada orangtuanya dengan mudah, tak ada alasan mencuri.

Pandangan Bu Mus beralih pada Jumada yang tengah melipat kertas yang telah ditulisinya, sesekali diusapnya matanya, tak kuasa menahan bulir bening merangsek keluar dari matanya. Sewaktu kelas empat Jumadah pernah disidang oleh guru-guru karena terbukti mengambil uang dana kelas yang dikumpulkan teman-temannya. Jumada berlutut di depan guru-gurunya, berjanji tak akan mengulangi perbuatannya.

Ah, tentu riskan bagi Jumada untuk mengulangi aksi tak terpujinya itu. Tuduhan pasti akan segera ditujukan padanya.

Bu Mus berusaha menepis kecurigaannya. Ilmu pedagogik yang dimilikinya juga pengalamannnya puluhan tahun menyelami karakter anak didik menjadikannya peka, salah seorang siswanya menyembunyikan sesuatu. Andai dugaannya benar, betapa memalukannya.

“Baiklah, serahkan tulisan kalian, kemudian duduk di bangkunya kembali !”Bu Mus berdiri dari kursinya memberi isyarat dengan menggerakkan jari. Muhlis, Reni, dan Jumadah beriringan menyerahkan lembaran buram coretan mereka.

“Nak…, sekarang kalian lanjutkan pekerjaan kalian, Kita belajar seperti biasa!” Suara Bu Mus ramah, berusaha mencairkan suasana yang sedari tadi kurang mengenakkan. Dibacanya tulisan ketiga anak didiknya tadi satu persatu, berharap ada pengakuan kekhilafan dari goresan pena salah satu siswanya, nihil. Tetapi ada satu tulisan yang membuat keningnya berkerut, keyakinannya bertambah. Diliriknya benda mungil yang melingkar di tangannya. Jam pelajaran hampir berakhir. Masalah ini harus segera diselesaikan.

“ Nak, tolong bantu ibu mengembalikan bola dunia dan peta ini ke ruang guru” Bu Mus menunjuk seorang siswa yang segera bangkit dari duduknya, Diraihnya bola dunia diatas meja, lalu mengikuti gurunya yang memegang gulungan kertas bergambar pulau Kalimantan. Keluar dari ruang kelas.

Ruang guru masih sepi ketika mereka berdua memasukinya “Sekarang kamu taruh di bola dunia di atas lemari, kamu boleh pakai kursi kayu itu!” Bu Mus menunjuk kursi disamping meja. Siswanya dengan sigap melakukan apa yang diperintahkan. Tanpa disadarinya mata sang guru tak lepas mengawasinya naik ke atas kursi, berjinjit dan meletakkaan bola dunia diatas lemari. Dia akan bersiap-siap kembali ke kelas ketika tangan Bu Mus memegang lengannya.

“ Kenapa tega sekali?” Pertanyaan Bu Mus membuat anak itu kaget.

“Ada apa sih, Bu? Saya tidak mencuri!” Dia berusaha menepis tangan Bu Mus yang mencengkram begitu kuat.

Satu tarikan membuat ujung bawah kemejanya keluar dari rok, Gulungan kertas coklat terjatuh, kelantai. Lembaran uang berwarna merah meyembul.

Reni terduduk lemas dilantai, lututnya tak cukup kuat menyanggah badan, satu tangannya berpengangan pada sisi meja. Dia terisak, disekanya air mata dan hidungnya dengan lengan baju. Bu Mus memandang tajam, ada sesuatu yang bergejolak berusaha dia kendalikan.

“Untuk apa, Ren?” Sekian menit Bu Mus membuka suara.

“Un... tuk ba...yar u...ang per…pisahan ....” Terpatah-patah Reni menjelaskan. Bu Mus terheran ingin melanjutkan pertanyaannya.

“Uang da..ri a..yah kepake untuk.. non..ton sama teman-teman, saya takut minta lagi” Suara Reni mencicit , disekanya kembali matanya yang sembab. Bu Mus menghela nafasnya, keherannanya terjawab sudah.

“Berhentilah menangis. Bersihkan wajahmu dan kembali ke kelas. Urusan kita belum selesai. Besok ajak orangtuamu menemui Ibu.”Suara Bu Mus datar, berusaha menahan kekesalannya. Reni sebisa mungkin menghentikan isaknya, lalu pamit meninggalkan gurunya.

Bu Mus meraih amplop coklat sumber kericuhan tadi. Dia menghela napas mengingat tulisan Reni dikertas buram “ Bu, jangan-jangan Jumadah yang ambil uang Ibu, dia kemarin bilang tidak bisa ikut perpisahan karena orang tuanya tidak punya uang, Dia juga pernahkan mencuri uang teman-teman”. Ah, Nak. Ibu hanya meminta kamu menuliskan apa yang kamu lakukan di kelas, bukan prasangkamu.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Tulisan yang bagus sekali..Saya jadi ikut terbawa suasana..sukses bu..

26 Feb
Balas



search

New Post