Suriwahyuni

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Tidak Bisa Dibandingkan

Tidak Bisa Dibandingkan

Siang itu kami ketemu Mama nya Dedek. 'Dedek lagi keluar lah Bu" jelas Mama Dedek ketika mengetahui kami adalah gurunya Dedek. Dedek adalah murid kelas 8. Aku sebagai wali kelas mengadakan kunjungan rumah bersama Bu Saodah guru BK di sekolah tempat ku bekerja. "Bu, kenapa ya Dedek sering absen?" tanya ku kepada Mama Dedek menjelaskan tujuan kedatangan kami. "Payah lah Bu, Dedek sudah tidak mau sekolah lagi, sudah capek saya menasehati Dedek, tetapi tetap tidak mau juga ke sekolah" jelas Mama Dedek dengan muka sedih. "Ibu kenapa tidak pernah datang ke sekolah merespon surat panggilan kami perihal absen Dedek ini?" tanya Bu Saodah meminta klarifikasi. "Saya sudah pasrah Bu, Dedek tetap tidak mau ke sekolah padahal sudah saya nasehati. Kadang saya jelaskan ke Dedek, sekolah lah Dek. Seperti kakak mu rajin ke sekolah. Saya juga sampaikan ke Dedek Bu, lihat tuh Dek, abang sepupu mu sekarang sudah bekerja. Tamat SMA di terima bekerja di perkebunan. Lumayan, sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Kalau Dedek cuma tamat SD apa bisa melamar pekerjaan ya Bu?" cerita Mama Dedek ke kami.

"Ibu menasehati Dedek dengan cara mebandingkan seperti itu, kurang efektif loh Bu?. Saya pernah membaca dari sebuah buku, jika anak itu tidak suka di banding-bandingkan dengan orang lain" sahut ku menanggapi. "Tapi saya memberi contoh Bu kepada Dedek, supaya Dedek semangat mau meniru keberhasilan abang sepupunya tersebut" jawab Mama Dedek terlihat kaget mendengar tanggapan ku. "Maaf Bu, logika kita seperti itu ya Bu, berharap anak kita tertarik dan mau meniru perbuatan orang yang menurut kita berhasil. Tapi kenyataan yang terjadi, ketika di bandingkan dengan orang lain anak kita jadi merasa gagal sebagai anak. Anak merasa tidak di terima karena belum bisa seperti orang yang berhasil tersebut. Jadi anak tidak melihat sosok yang berhasil tersebut tapi melihat ke dirinya sendiri dan merasa tidak diharapkan kehadirannya oleh orang tua nya sendiri. Anak jadi kecewa terhadap dirinya sendiri" jelas ku.

"Oh itu Dedek datang" Bu Saodah tersenyum melihat ke arah anak laki-laki yang sedang naik sepeda motor yang datang mendekat ke arah kami. Dedek terlihat malu-malu. "Dek salam, ini Ibu guru mu datang ke rumah kita" Mama Dedek menyapa kehadiran anaknya. Anak laki-lai tersebut turun dari keretanya dan menghampiri kami kemudian memberi salam. "Kemana aja Dek kalau tidak sekolah? sapa ku kepada dedek. "Dekat sini aja, ke rumah kawan". sambil tersenyum malu Dedek menjelaskan. 'Dek, besok datang ke sekolah ya. Kami guru-guru mu datang khusus mengajak Dedek supaya mau ke sekolah lagi" Bu Saodah membujuk Dedek. "Gimana Dek, mau gak besok ke sekolah?" Mama Dedek sedikit memaksa. "Ayo lah sekolah, di sekolah lebih banyak kawan, di kasih uang jajan, lebih enak kan" jelas ku sambil melirik ke arah Mama nya Dedek.

"Iya lah Bu, besok saya sekolah" suara Dedek pelan. "Benar ya besok sekolah? Kalau besok Dedek sekolah catatan di buku BK ini akan di hapus, beritahu saya ya Bu, jika Dedek sudah masuk ke sekolah lagi" jelas Bu Saodah sambil melihat ke arah ku. 'Iya Bu, besok saya masuk kelas Dedek. Pasti saya tahu jika Dedek datang ke sekolah" sahut ku memastikan ke Bu Saodah.

Saat aku menasehati Mama nya Dedek, itu hanya sebatas apa yang aku ingat dari yang aku baca dari buku. Tetapi yang menarik, yaitu ketika aku mengalami sendiri kejadian dibandingkan ini. Peristiwa nya terjadi saat aku ikut pelatihan bersama guru-guru. Saat kegiatan diskusi, tugas kami adalah saling menunjukkan tulisan refleksi kemudian memberikan umpan balik. Tiba giliran ku menjelaskan tulisan refleksi ku. Umpan balik dari salah satu teman yaitu, "ibu sudah membuat suatu refleksi yang menarik dan terlihat ibu senang menulis. Namun refleksi ibu tidak mengaitkan dengan materi". Umpan balik teman berikutnya "Saya melihat refleksi ibu sudah baik namun belum mengaitkan dengan tema pelajaran kita. Seperti refleksi yang saya buat Bu" sambil menunjukkan file refleksi nya. "Jawaban nomor satu saya sudah belajar tentang bla, bla, bla" panjang lebar dan terinci teman guru ku ini menjelaskan refleksi yang di buatnya.

Apa yang ku rasakan saat itu? Apakah aku termotivasi untuk menjadi lebih baik? Yang ku rasakan saat itu : sedih, nyali ku ciut sehingga merasa tidak baik-baik saja saat itu. Apalagi saat teman ku membacakan hasil refleksi milik nya, hati kecil ku menolak dengan kalimat "aku tidak ingin mendengar suara nya lagi". Aku tersenyum tapi hati kecil ku berteriak tidak terima perlakuan yang mereka lakukan. Haruskah mereka memberi umpan balik dengan membandingkan hasil refleksi ku dengan refleksi mereka? Bukan kah lebih bijaksana jika mereka melihat sisi baik dari hasil refleksi ku dari sudut pandang yang berbeda? Karena refleksi itu bersifat pribadi. Tunjukkan penghargaan dan beri masukan berupa saran "refleksi ibu akan lebih baik jika ibu mengaitkan nya dengan tema pelajaran saat itu". Cukup itu saja, maka aku akan merasa di hargai dan memiliki motivasi. karena aku tahu kesalahan ku dengan di beri tahu letak kesalahannya. Selebihnya aku mampu untuk menjawab dengan benar sesuai versi ku, tidak perlu di bacakan detail karena jawaban ku pasti berbeda dengan jawaban teman ku.

Dari refleksi pengalaman ku ini, aku benar-benar memahami makna di bandingkan itu tidak nyaman. Kecuali perbandingan itu diharapkan untuk menjawab dari suatu pertanyaan. Tapi bukan pencapaian diri yang dibandingkan.

1
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post