Raga Bugar Jiwa pun Segar

Oleh Susanah

Harta sejati adalah kesehatan,bukan emas dan perak (Mahatma Gandhi).

Kalimat bijak yang sangat cocok dengan situasi yang saya alami. 3 hari pertama bergulat dengan demam dan beberapa gejala flu lain yang mengikutinya. Raga yang terganggu namun yang ambruk adalah jiwa. Betapa tidak stress setelah hidung diobok-obok dan dinyatakan reaktif. Dua garis merah di alat tes antigen menjadi momok bukan hanya Si penderita namun juga siapapun yang pernah kontak erat dengannya. Akhirnya tubuh pun digelandang ke rumah sakit dengan pengawalan khusus…orang-orang berbaju mirip astronot. …Akhh!! Serasa istimewa,namun si virus berhasil mengintimidasiku dengan segudang kekuatiran. Kekuatiran yang tercipta spontan karena berbulan-bulan terseret dalam perbincangan tentang si Covid-19 di sekolah,bahkan dibuat gregetan karena ulah virus ini menjauhkanku dengan murid-murid. Dan sekarang aku benar-benar berperang dengannya lalu jiwaku sepertinya belum siap tempur. Bayangan dampak virus yang sudah masuk ke tubuh dan mulai menyerang sana-sini memperlemah pikiranku.

Segera kuumumkan kepada kerabat dan teman bahwa aku terpapar dan harus di rawat di rumah sakit. Sebagian besar tidak percaya sebab mereka tahu upayaku untuk menghindar dari virus ini dengan segala aturan untuk menjagaku dan keluarga. Di sekolah aku bagai pejuang yang ada di garis depan jika berkaitan dengan protokol kesehatan. Upaya maksimal telah ditempuh agar tak bersua dengan si virus. Kadang sedikit jumawa bahwa tak kan ada virus yang menembus benteng pertahananku. Dan jika aku bisa melihat virus itu pasti akan kulihat senyum kemenangan di wajahnya,bahkan ia sedang terbahak-bahak menatapku yang sedang tak berdaya.

Simpati dan empati berupa doa,kata-kata penguatan dan juga kiriman makanan datang seperti gelombang. Medsosku penuh dengan tulisan berupa doa dan harapan juga nasehat-nasehat untuk berjuang. Meja dan kulkas di kamar rumah sakit penuh dengan buah,vitamin dan semua makanan kegemaranku. Namun tubuhku terlanjur terinfeksi. Hidung tak lagi mencium harumnya bubur ayam,apalagi lidahku tak lagi bisa mencecap kelezatan kue paranggi yang adalah kue khas Sulawesi. Kepala yang cekot-cekot membuatku tak nyenyak tidur padahal aku dijuluki si mata busuk karena bisa tidur di mana saja. Nafas mulai tersengal dan nyaman rasanya setelah selang oksigen masuk ke sela-sela hidung. Tekanan darah mulai meninggi dan kegelisahan menyerangku. Hampir saja aku memaki penyakit ini namun nalar spiritualku masih seimbang. Kuucap doa dan berserah kepada Sang Empunya hidup.

Saat aku menulis ini, aku telah melewati masa kritisku. Tubuh yang sehat sangatlah mahal. Jika tubuh telah sakit,maka jiwa pun mau tak mau turut sakit. Jika tubuh sakit maka segala bentuk aktifitas tak lagi dapat dilakukan. Dalam masa pemulihan aku belajar bahwa kebugaran tubuh menunjang kebugaran pikiran dan menjadi modal utama dalam bekerja serta berkarya. Maka pelajaran penting adalah mengelola tubuh agar tetap sehat dengan mengatur pola makan,menghitung asupan gizi yang masuk ke dalam tubuh dan bukan asal makan,kemudia mengolah diri dengan berolahraga di bawah matahari. Namun hal yang sangat penting adalah mengelola hati dan pikiran. Kekuatiran dan ketakutan adalah modal si penyakit menghajar kita, maka kegembiraan hati menjadi musuh bebuyutan si virus bandel ini. Mengelola jiwa agar tetap berpikir positif dalam setiap situasi dan kondisi,mengusir kegundahan hati dan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah faktor utama kita menjaga kebugaran jiwa,kebugaran raga. Raga yang bugar,maka jiwapun segar. Selamat Sehat!!