Hari ini saya prihatin. Ketika sedang asyik kami membahas pelajaran di grup belajar kelas kami, tiba-tiba muncul stiker. Stiker itu sangat tidak layak kami lihat. Beberapa berkomentar. Mengucapkan lafadz istighfar. Yang lain memberikan emoticon marah. Yang lainnya memberi komentar, "Itu saru!"

Beberapa detik, saya terkesiap. Darah spontan naik ke ubun-ubun. Namun saya harus bijaksana. Menghakimi tanpa klarifikasi adalah ketidakadilan. Di dalam percakapan ada dua pesan suara. Dengan nada terbata-bata mengatakan bahwa bukan ia pelakunya. Pesan suara kedua terdengar ucapan maaf, diikuti pengakuan bukan ia pelakunya. Lalu siapa? Segera saya hubungi pemilik gawai. Awalnya dengan nada tinggi saya bertanya. Sedetik kemudian saya tersadar, hal itu tidak akan menyelesaikan. Mungkin karena takut dan panik, sambungan telepon pun diputuskan. Namun, tidak berapa lama gawai saya bergetar. Saya tertegun, tersangka pelaku memanggil. Berani sekali dia, begitu ucap batin saya.

Segera saya manfaatkan kesempatan. Nada bicara saya lembutkan. Saya mencoba mendengarkan apa yang ia keluhkan. Ia pun bercerita. Kejadian berawal ketika ia dengan saudaranya saling lempar stiker. Mereka "perang stiker". Di antara stiker yang dikirimkan itulah ada gambar perempuan dewasa dengan bagian atas terbuka. Setelah memerintahnya menghapus untuk semua orang, grup belajar saya lenyapkan. Lalu kami berjani akan bertemu esok hari.