Susi Hart

guru d SMK N 1 tapen...

Selengkapnya
Navigasi Web
ANGIN SUBUH

ANGIN SUBUH

“Laki-laki tak becus. Tak bertanggung jawab” kata-kata busuk itu terngiang di kepalaku. Berputar-putar mengitari otakku. Rasa sesal mengalir seiring air dari mataku. Semakin keras takbir tahlilku semakin tampak kenangan akan perbuatan burukku padanya.

Kata maaf menguap seiring kepergian ruhnya pagi tadi. Seiring hembusan nafas terakhirnya ketika azan subuh berkumandang. Bertepatan dengan Selasa, 19 Rabiul awal 1440H. 27 November 2018. Diusiamu yang beranjak 64 tahun. Satu kata yang belum sempat kuucapkan ketika kamu sadar. Terimakasih karenamu aku ada di dunia ini. Terimakasih karena nafkahmu aku tumbuh dewasa. Maafkan aku, ketika dewasa tak kau dapati baktiku padamu.

Emosi naik turun bersamaan diantarnya jenasah lelaki itu dari rumah sakit. Bunyi tempat tidur berjalan semakin memperderas deraiku. Kenangan masa lalu hadir satu persatu. Ketika dia mengantarku ke pesantren dengan harapan aku menjadi lelaki yang shalih sepertinya. Harapan itu pupus. Pesantren bagiku hanya area bermain. Setiap pulang, tak pernah kusetorkan hafalan. Tak pernah kudiskusikan ilmu yang bermanfaat dengannya. Bahkan, didapatinya aku malas-malasan merespon panggilan shalat.

Aku gagal menyandang gelar santri yang sesungguhnya. Yang kutahu kini aku semakin mahir bermain game online. Bahkan perintahmu tak lebih penting dari suara gawaiku.

Kulihat perempuan tua dihadapanku. Ia menangis tersedu-sedu. Melihatnya, mengembalikan lagi kenanganku. Seringkali dia bercerita tentang keberhasilan usahanya membeli tanah dan membangun rumah yang kami tempati. Usahanya membeli sepeda motor keluaran terbaru. Tak nampak peran suaminya yang juga bangun dini hari.

Tak nampak lelah suaminya mengayuh becak membawa bermacam gorengan ke pasar. Tak jarang dia menguliti aib suaminya di depan anak-anaknya. Tentang keluguannya. Tentang kejujuran hatinya. Juga tentang baktinya pada ibunya tinggal seorang diri.

Kisah-kisah kelemahan suaminya terus diulang. Seperti rekaman kaset yang berputar. Lantas, aku pun berkesimpulan bahwa suaminya tak bertanggung jawab.

“Dik, belikan bapak obat.” Titah bapak

“Capek aku, Pak.” Suaraku sedikit menbentak dengan ogah-ogahan

“Bapak kalau bisa pergi sendiri takkan minta tolong padamu. Terasanya ngilu sekali sakit Bapak.” Ucapmu meyakinkanku pentingnya membeli obat itu

“Huhkah...bapak ini. Kok maksa. Aku tuh capek. Lagian obat yang kemarin masih ada kan.” Keluhku. Bapak berlalu dari netraku sambil memegangi punggungnya yang terserang herpes.

“Gitu saja kok dak tahan.” Aku menggerutu sambil melanjutkan gim online. Netraku melihatnya berjalan ke arah barat. Biasanya dia akan mengadu pada kakak perempuanku yang terlalu memanjakannya.

POV bapak

Setelah berucap salam, bapak masuk rumah. Menyapa anak perempuan dan cucu-cucuku yang masih balita. Mereka menyalami dan mencium tanganku. Teduh rasanya melihat mereka. Seakan hilang rasa sakit yang kuderita.

“Neng, perut Bapak di sini terasa sakit.” Ujarku sambil memegangi ulu hati

“Mengapa sakit Pak?”

“Tidak tahu.”

“Saya buatkan minum dulu ya Pak. Mau madu?”

“Mau.”

“Bapak tunggu sebentar.”

Kondisiku semakin hari semakin melemah. Sejak herpes menyerang kekebalan tubuhku. Aku jarang sarapan. Seringkali bangun tidur yang kuminum kopi dan menghisap rokok. Anak perempuanku berkali-kali memintaku berhenti. Terkadang, anak sulungnya mengingatkanku. Katanya rokok haram. Bisa menyebabkan masuk neraka. Namun, aku mencandu. Terasa hambar jika seharian tak menghisap rokok. Sambil menunggu air sari kurma dicampur madu, aku bermain dengan ketiga cucuku.

“Ini Pak, minumnya. Bapak kalau mau menginap di sini saja.”

“Tidak usah, nanti ibumu cari.” Ujarku sambil minum

“Nanti Neng yang sampaikan ke ibu kalau bapak menginap di sini.”

“Tidak usah. Bapak pulang saja. Jaga diri dan anak-anak juga suamimu. Jauh-jauh dia ke sini untuk menemanimu. Bahkan harus meninggalkan pekerjaannya.”

“Iya, Pak.” “Ini madu dan dari kurma. Bapak minum. Sebagai pengganti kopi. kalau habis, bilang. Nanti Neng belikan lagi. Cobalah bapak periksa ke puskesmas. Ke puskesmasnya jam 08.00 WIB. Supaya tidak terlalu lama antri. Minta antar ke adik-adik. Mereka kan masih punya banyak waktu luang.”

“Ya. Terima kasih. Bapak pamit, Neng.” Percakapan kami berakhir salam. Diciumnya tanganku yang keriput. Langkah kakiku semakin menjauh dari rumahnya. Kulambaikan tangan dari kejauhan. Mereka membalas melambaikan tangan diiringi senyum. Istriku takkan mau mengeluarkan uang untuk ke puskesmas. Anak lelakiku juga terlalu sibuk dengan bisnis dan gawainya. Mereka tak punya waktu untuk mengantarku cek kesehatan. Uang untuk ongkos pulang kusimpan di kantong celana. Lima belas menit perjalanan cukup membuat nafasku ngos-ngosan.

Sesampainya di rumah. Kubuka tudung saji. Tak ada makanan. Perutku perih melilit. Kubuka magic com. Masih ada bubur sisa 2 hari yang lalu. Warnanya tak lagi putih. Aku enggan memakannya. Hendak minum kopi, takut sakit perutku semakin melilit. Kuambil sendok dan piring di bak cuci piring. Kugosok-gosok kemudian kusiram air. Kemudian kukibaskan agar berkurang basahnya. Kulap dengan baju kumalku. Ah...rupanya badanku bau. Aku belum mandi. Aku mencari-cari gula hendak membuat wedang gula. Kucari di lemari gantung tak ada. Di atas kulkas juga tak ada. Biasanya istriku meletakkannya di sana. Aku berkeliling dapur hingga kepalaku merasa pusing. Akhirnya, aku hanya minum air putih.

Dering gawai mengalihkan netraku. Di layar tertulis nama Neng.

“Halo” kudengar salam merespon di ujung telpon. Kujawab salamnya

“Bapak di rumah?”

“Iya.”

“Neng dalam perjalanan ke sana, Pak.”

“Ya.” Kuputus telpon dari Neng. Tak lama, dia dan ketiga balitanya datang. Kulihat tangan kanannya menenteng rantang. Kuharap isinya bisa mengenyangkan cacing yang sejak tadi menggeliat di perutku.

Kudengar salam mereka. Kujawab sambil memeluk dan mencium ketiga cucuku. Kugendong cucu ketiga. Panengah yang tak rela aku menggendong adiknya, memeluk lututku.

“Bapak sudah makan?”

“Belum.”

“Ini. Neng bawakan untuk bapak.” Anak gadisku bergegas menuju ke dapur. Menyiapkan piring, sendok, dan gelas untukku. Diisinya gelas 300 mililiter itu dengan air putih. Kumakan dengan lahap menu yang disajikan di meja. Nikmat. Lauk dan sayur yang disajikan nyaris tak bersisa.

Selang beberapa menit. Aku merasa perutku seperti diremas. Neng yang bermain dengan anak-anaknya tampak panik. Bergegas diulurkannya minuman herbal sarikurma dan madu padaku. Neng pamit pulang sore harinya.

Istriku pulang dalam keadaan lelah. Bangun jam 14.00 wib. Kemudian segera shalat dhuhur. Setelah itu, dia lanjutkan dengan membuat kue untuk jualan. Disuguhkannya plastik dan kue di hadapanku. Ini artinya, aku harus membantunya membungkus kue. Tak dipercayanya bahwa aku sakit. Hingga, hari itu, perutku semakin melilit. Tubuhku muai menguning. Bahkan netraku berubah keruh. Bilirubin seperitinya naik. Minta perhatian. Melihatku dalam kondisi begitu, istriku membuatkan ramuan temulawak dan gula batu. Kulihat dia keluar ketika aku minum ramuannya.

Kuraih gawaiku. Menekan nomor telepon neng. Kami bertukar salam.

“Neng, rasanya sakit bapak tambah parah. Bapak sekarang tak bisa buang angin.”

“Iya. Bapak tunggu di rumah. Neng, ke sana.”

Sesampainya di rumah, neng mengajakku ke puskesmas. Tiba di puskesmas, Neng segera ke bagian registrasi. Kulihat dia menjawab beberapa pertanyaan. Tak lama kami diarahkan ke poli umum. Dokter memeriksa kondisiku. Petugas medis mengambil beberapa mili darahku dengan jarum suntik. Ditutupnya lokasi tusukan jarum dengan plester. Dibawanya sampel darahku ke laboratorium. Dianalisis dengan metode tertentu.

Nyaris dua jam aku di puskesmas. Hasil analisis sampel darah keluar. Dokter memutuskan untuk merujukku ke rumah sakit umum. Katanya bilirubinku di atas batas normal 5 mg/ dL. Kulihat neng berjalan mendekatiku. Dia anak gadisku yang berbakti. Kerudungnya yang lebar tak pernah kukomentari. Kadang beberapa pemikirannya tak cocok untukku. Pernikahannya sederhana. Aku tak mengeluarkan biaya sepeserpun untuk menikahkannya. Tak jarang dia membawaku ke toko. Jika tak didapati barang yang kusuka, dia berikan beberapa lembar uang berwarna merah padaku. Beberapa bagian rumahku direnovasi. Tak hanya neng, suaminya pun begitu. Tak jarang datang ke rumah membawa buah.

“Pak, ...” Neng menghampiriku. Membuyarkan kenanganku. Wajahnya teduh. Kulitnya eksotis.

“Anak-anak dengan siapa?” tanyaku menyela bicaranya. Aku mencemaskan ketiga cucuku.

“Ada tetangga yang bisa Neng titipin. Bapak istirahat saja. Jangan memikirkan apapun. Kita ke rumah sakit sekarang. Neng sudah telpon ibu dan adik. Nanti, mereka bisa temani bapak di sana.”

Setibanya di rumah sakit. Aku berada di paviliun anggrek. Bersama tujuh orang pasien lainnya. Pembeda kamar kami hanya sekat dari kaca. Berhari-hari aku di sana. Aku kehilangan selera makan. Beruntung menantuku datang membawa buah naga. Segar rasanya di tenggorokan. Lebih dari separuh buah masuk ke tenggorokanku.

Neng dan suaminya menjengukku setiap hari. Dia tak dapat menemaniku terlalu lama. Malamnya, aku ditemani ibu, istri, dan anak lelakiku. Beberapa saudaraku datang beberapa kali. perwakilan tetangga juga datang menjenguk. Besan dan saudara-saudaranya pun menjenguk dan mendoakanku.

Yang kuingat hari itu. Neng datang tak seperti biasanya. Serasa gurat kecemasan menjadi-jadi di wajahnya. Digenggamnya jemariku yang keriput. Dielus dan diciumnya dengan penuh takzim. Wajahnya mendekat ketelingaku.

“Pak, neng minta maaf ya. Begitu juga suami dan anak-anak. Maafkan neng yang tak banyak berbakti pada Bapak. Sehingga bapak sampai sakit separah ini.”

Aku hanya bisa menatapnya. Tak mampu berkata. Tak pernah kulihat airmata mengalir di pipinya. Tapi, kali ini, hidungnya memerah. Wajahnya kuyu. Air itu mengalir di menganak sungai di pipinya. Hangatnya menyentuh jemariku.

Tiba-tiba, aku merasa sedang menunggu hari. Aku mendadak koma setelah lima hari di rumah sakit. Selang makanan dan oksigen melintas di tubuhku.

Aku merasa berada di tempat tak dikenal. Kulihat seseorang datang. Entah siapa. Aku tak mengenalnya. Aku membelakakkan mata ke atas. Dia tunjukkan padaku apa saja yang kukerjakan. Aku menangis. Ternyata, sekian banyak waktu yang kupunya tak seimbang dengan amal shalihku. Hal yang membuatku kian menangis ketika kutahu bahwa beratnya timbangan amalku karena sering mengunjungi ibu di kampung. Sepekan sekali aku ke sana. Memberikan beberapa lembar uang untuk kebutuhan hidup ibuku yang janda.

Ada juga catatan ketika aku menjadi imam shalat maghrib dan isya’ di mushalla. Ditunjukkan juga catatan ketika aku mengaji dan membawa serta cucuku ke sana. Aku ingin mereka mencintai al qur’an sepertiku. Aku yang selalu mengaji di antara shalat maghrib dan isya’.

Hari itu pun tiba. Kesadaranku pulih. Meski tak 100 persen. Namun, rasanya malaikat maut semakin mendekat. Kakiku serasa dingin. Kaku. Tak bisa bergerak meski kupaksa sekalipun. Namun, aku tak merasakan sakit lagi. Semua terasa lebih ringan sekarang. Adzan subuh berkumandang. Aku bergegas menuju masjid. Tapi kulihat ibu, istri dan anak lelakiku menangis. Anak lelakiku menelpon neng.

“Kak, bapak meninggal. Baru saja. Pas adzan subuh.”

Kulihat mereka mengeluarkan airmata. Entah untukku atau untuk mereka sendiri.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerpen keren Bu Susi. Salam literasi, sukses selalu.

28 Sep
Balas

Wahhh tulisannya keren-keren... POV nya mantul Bunda

28 Sep
Balas



search

New Post