Susi Hart

guru d SMK N 1 tapen...

Selengkapnya
Navigasi Web
Ketika Takdir Menyapa
cerpen

Ketika Takdir Menyapa

Lelaki itu mengayuh tanpa henti. Seolah lelah tak ada dalam kamus hidupnya. Mengayuh terus karena itu yang dia bisa. Dia tak pedulikan keringat yang membasahi bajunya. Tak peduli jalan menanjak yang membuatnya harus turun dan mendorong beban di tunggangannya agar sampai tujuan dengan selamat. Tak jarang, ia mendapatkan upah yang tak sebanding. Senja, saatnya pulang membawa uang hasil kerja kerasnya. Namun, setiba di rumah yang didapatinya muka masam. Sambutan yang dia dapatkan jika hasil yang didapat hanya cukup untuk beli beras saja.

''Abang, segini aja dapatnya? Mana cukup buat belanja, Bang. Ini cuma cukup buat beli beras saja.'' Ucap perempuan dihadapannya tanpa tedeng aling aling. Bahkan sekadar menawarkan air untuk menghilangkan haus. Wajah cemberut menjadi suguhan yang diberikan ketika suaminya pulang membawa hasil yang sedikit.

''Kamu dan anak-anak saja yang makan. Besok abang puasa.'' Lelaki itu memilih mengalah. Membiarkan perutnya keroncongan. Baginya, yang penting istri dan anaknya bisa makan nasi dan lauk pauk. Tak jarang ia berpuasa. Bahkan nyaris sebulan penuh dia berpuasa. Takdir rejeki berupa penghasilan yang memadahi belum menyapanya. Namun, ia yakin roda berputar meski perlahan. Suatu hari nanti, ia akan puaskan istrinya dengan materi berlimpah.

Malamnya,

''Buka puasanya dengan apa, Dek?'' tanya lelaki itu ramah.

''Ada di meja. Abang ambil saja sendiri. Jangan manja.'' ketus jawaban istri tak menghalangi besar dan derasnya cinta lelaki itu. Dibukanya tudung saji. Dilihatnya nasi tanpa lauk pauk. Diambilnya nasi yang hanya cukup untuknya. Ditaburinya nasi dengan sejumput garam. Tak lupa dilafazkan basmalah sebelum menyuapkan nasi ke mulutnya. Lelaki itu tampak menikmati makannya. Hatinya penuh syukur. Merasa beruntung bisa makan. Selesai makan, diambilnya air minum sebanyak 500ml. Diminumnya air itu perlahan hingga terasa kenyang.

Pernikahannya sudah berjalan 2 tahun. Tak banyak lelaki itu mengenal watak perempuan yang bergelar istrinya. Dia menikahinya karena amanat bapak Ratih, istrinya. Tak ada cinta di awal pernikahan tak menghalanginya untuk menjadi lelaki bertanggung jawab. Diikatnya perempuan itu dengan tali yang kuat, iman. Dia yakin Allah telah menuliskannya berjodoh dengan Ratih jauh sebelum manusia diciptakan. Tercatat dalam lauh mahfudz ribuan tahun silam. Ketika kini didapatinya Ratih belum menunjukkan cinta yang tulus, dia yakin akan ada saatnya Ratih menjadi miliknya secara utuh.

Malam beranjak semakin pekat. Dia melangkahkan kaki menuju kamar mandi lalu berwudhu. Setelah itu ditunaikannya shalat sunnah. Dipanjatkan doa dalam sujud panjangnya di setiap rakaat. Hati dan pikirannya kembali tenang. Dilangkahkan kakinya menuju ruang tamu. Tubuh lelahnya direbahkan di atas kursi kayu yang beranyam karet. Perlahan matanya terpejam seiring lantunan dzikir.

Keesokan paginya,

''Bang, ada tetangga kita yang hajatan. Adek bawa apa?''

''Seadanya yang di dapur saja, Dek.'' Ujar lelaki itu memberi solusi

''Di dapur adanya cuma beras doang, Abang. Itupun beras raskin yang kita dapat dengan harga Rp.3.000 per kg'' Perempuan itu bicara dengan nada ketus yang dipanjang-panjangkan. Rasa kesal menyelimuti. Apa kata orang jika nanti dia hanya membawa beras. Beras raskin yang warnanya keruh dan banyak pasirnya. Apalagi tetangga yang punya hajatan orang yang berada. Mau ditaruh mana mukanya. Dia tak sanggup jika jadi bahan gunjingan.

Dicoba berkali-kali merayu suaminya agar mengeluarkan lagi uang yang ada. Dia tahu, lelaki yang bergelar suaminya itu bukan orang pelit. Dia juga tahu, tak ada sepeserpun yang tertinggal di saku celana suaminya.

''Nanti Dek, tunggulah sampai dhuhur atau selesai shalat ashar. Semoga ada rejeki untuk ke hajatan.'' Ujar Bang Rudi mencoba menyabarkan istrinya.

''Pastikan membawa uang, Bang. Adek malu kalau tak ke kondangan teh Rahma'' Ratih masih merajuk dengan mulut yang dimonyong-monyongkan

''Iya. Adek doakan saja ya.'' Rudi bergegas. Lelaki itu pergi. Sembari menutup pintu, pikirannya menerawang. Pekerjaan apa yang bisa dilakukan agar menghasilkan uang banyak hari itu juga.

''Assalamu'alaikum Kang'.''

''Wa'alaikumsalam. Mau ke mana Kang?''

'' Kerja Kang. Akang libur?''

''Iya''

''Kalau akang mau. Ayo ikut saya ke sungai. Ada kontraktor yang butuh batu sungai untuk pondasi. Hasilnya lumayan Kang''

Ikutlah lelaki yang akrab dipanggil Rudi itu menuju ke sungai. Menemani Kang Husen mengangkut batu kali.

Seharian, Rudi naik turun mengangkut batu kali. Sakit dipundaknya tak dihiraukan. Perut laparnya ia ganjal batu yang diikatkan di perut. Dia berhenti ketika adzan. Melaksanakan tugasnya sebagai hamba Rabbnya. Beruntung tadi Allah mengilhamkannya untuk membawa baju ganti.

Sore menjelang. Keringat tak berkesudahan mengalir. Tubuhnya bermandikan keringat. Dibayangkan wajah istrinya akan sumringah menerima uang yang akan dia sodorkan. Usai basa-basi dengan Kang Husen, Rudi dengan gegas menuju ke rumah. Menemui Ratih yang sudah menunggunya.

“Dek, ini uang hasil hari ini.” Ujarnya setelah mengucap salam dan memasuki rumah. Didapatinya Ratih sedang menemani anak perempuan mereka.

“Makasih, Bang. Titip Nada nih.” Diambilnya dua lembar uang merah bergambar soekarno hatta itu sambil menyerahkan anak perempuan mereka. Lagi-lagi, tak ada air minum yang disodorkan. Rudi dengan sigap menggendong Nada. Didekapnya anak perempuan itu menuju dapur. Dituangnya air ke gelas. Diteguknya air itu dalam tiga tegukan setelah melafazkan basmalah.

Rudi merasa beruntung. Anak pertamanya perempuan. Dia merasa Allah sangat menyayanginya. Merasakan bahwa Allah akan selalu menjaganya. Sebagaimana dalam hadist ...yang artinya... besarnya penjagaan Allah inilah yang membuat para ulama juga berdoa sungguh-sungguh agar mendapati anak pertama mereka perempuan. Itu yang pernah dia dengar dari pengeras suara di masjid dekat rumahnya.

Terdengar handle pintu dibuka. Diiringi panggilan Ratih yang mencari-cari suaminya. Didapatinya Rudi sedang menimang-nimang Nada yang tidur.

“Bang, tadi ketemu Bang Ali di warung. Nawarin kerjaan jadi kuli bangunan. Abang mau? Kalau iya, abang temuin gih Bang Ali.”

“Iya, Dek. Terima Kasih. Besok abang temui Bang ali.”

“Kok nunggu besok? Sekarang aja. Keburu nemu kuli lain. Mumpung ada yang nawarin kerjaan juga, Bang.”

Rudi melangkahkan kakinya. Meski penat mendera. Tubunya terasa seperti ditusuk ribuan jarum. Dilewati istrinya sembari mengecup kening. Meski Ratih tak bergeming. Rudi menuju pintu. Membuka kenop pintu yang telah usang termakan usia. Diucapkannya salam. Dilangkahkan kakinya dengan berat. Rumah Bang Ali berjarak 10 meter dari rumahnya. Hal itu semakin membuatnya kelelahan. Setelah berbincang dengan Bang Ali dan memastikan dia bisa bekerja, Rudi memutuskan untuk pulang.

Sesampainya di rumah, ia melihat ruang berukuran 6 x 6 meter itu sepi. Tubuhnya teramat lelah. Kakinya tak mampu lagi menopang. Direbahkan tubuhnya di atas kursi bambu yang sudah lapuk.

Fajar menyapa diiringi hembusan angin segar di Jumat pagi itu. Tak seperti biasanya, Rudi masih terlelap di atas kursi bambu. Seakan Rudi terlena dalam buaian mimpi. Ratih baru saja terbangun.

“Bang, kok masih tidur?” diguncangnya tubuh lelaki itu. Rudi bergeming. Melihat itu, Ratih mengguncang tubuh Rudi lebih kencang. Suaranya naik 1 oktaf. Mendapati respon Rudi yang dingin, Ratih panik. Namun, berkali-kali diguncang tubuh lelaki itu bergeming. Dipanggilnya beberapa tetangga untuk membangunkan Rudi. Tak ada yang bisa mereka lakukan untuk membangunkan Rudi, kecuali mengurus jenasah lelaki itu.

#Cerpen kelas menulis cerpen1

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren bu cerpennya. Kok kebetulan ya, nama tokoh yang kita gunakan sama lho. Ratih. Sukses untuk ibu. Salam literasi.

13 Sep
Balas

iya. sehati aja kita.

27 Sep

Keren bunda... Barokalloh..

13 Sep
Balas

terima kasih. wa fiika barakallah

27 Sep

Wooow keren cerpennya, Bun.

13 Sep
Balas

terima kasih

27 Sep

Wow keren banget bun cerpennya.

13 Sep
Balas

terima kasih

27 Sep

Mantap, penulis hebat, cerita yang bagus. Selamat buk. Salam literasi.

13 Sep
Balas

aamiin

27 Sep

Keren banget Bu ..

13 Sep
Balas

terima kasih

27 Sep

Waaah Ibu hebat, tugasnya sudah selesai. Ceritanya bagus. Selamat ya, Ibu. Salam kenal.

13 Sep
Balas

terima kasih. salam kenal juga

27 Sep

Cakep bund

14 Sep
Balas

terima kasih

27 Sep

Rancak bana...keren

13 Sep
Balas

terima kasih

27 Sep

Sip, Bu..

13 Sep
Balas

terima kasih

27 Sep

Keren Bunda. Semoga sukses.

13 Sep
Balas

aamiin. terima kasih

27 Sep

Bagus

14 Sep
Balas

terima kasih

27 Sep

Wow, keren cerpennya. Salam literasi bu

13 Sep
Balas

salam. terima kasih

27 Sep

Keren, Bu.Wah, sudah selesai aja tugasnya.Saya baru cari materi cerita, Bu.

13 Sep
Balas

terima kasih

27 Sep

Ya Allah,? Sesih bacanya bunda. Keren

13 Sep
Balas

Keren bun..

13 Sep
Balas

terima kasih

27 Sep

Wuiiiih gercep nih

13 Sep
Balas

memanfaatkan waktu yang ada pak. terima kasih

27 Sep



search

New Post