Susi Hart

guru d SMK N 1 tapen...

Selengkapnya
Navigasi Web

Penggaris Sari

Penggaris Sari

Sari sosok gadis yang sederhana. Usianya kini menginjak 10 tahun. saat ini dia duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar Negeri di Bondowoso.

Siang ini, dia pulang sekolah dengan lesu. Wajahnya tampak tak bersemangat. Topi sekolah yang dibuka dengan asal-asalan membuat rambutnya berantakan. Digaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Sari menghempaskan tasnya di sudut kamar.

‘Brak.’ Suara pintu tertutup dengan keras. Nenek tersentak kaget mendengar itu. Nenek yang berada di dapur bergegas menuju ke kamar Sari.

“Lho, mana salamnya, Sari?”

“Hm...assalamu’alaikum, Nek” Sari menyahut malas-malasan

“Kamu ini, kalau masuk rumah ucapkan salam! Sari tahu kalau rumah yang dimasuki tanpa salam, maka setan akan memasukinya?” imbuh nenek

“Ya, Sari tahu nek. Nenek yang memberitahu Sari soal itu.” Jawab Sari

“Ada apa?” tanya nenek

“Tadi pelajaran matematika di sekolah. Membuat bangun ruang. Aku tidak bisa menggambar karena tidak punya penggaris. Kapan aku akan dibelikan penggaris? Nenek hanya berjanji. Tapi, sampai sekarang nenek tidak juga membelikanku penggaris.”

“Maaf. Nenek belum punya uang. Kangkung nenek belum laris hari ini. Kalau ada uang lebih, pasti Nenek belikan. Sekarang, kamu makan dulu.”

“Malas, Nek.” Sahut Sari

Sari keluar dengan wajah bersungut-sungut. Nenek hanya bisa berjanji. Penggarisku kan sudah rusak. Lagipula harga penggaris kan murah. Sayangnya aku tidak bekerja sehingga tidak punya penghasilan. Kalau aku punya uang. Aku tidak perlu minta dibelikan. Pasti aku beli sendiri.

Sari seorang anak semata wayang yang ditinggal ibunya bekerja di luar negeri. Ayahnya pergi entah ke mana dan tidak pernah pulang. Kabarnya, ayah Sari bekerja di Bali. Selama 10 tahun dia hidup bersama neneknya yang bekerja sebagai pedagang di pasar. Penghasilannya cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari. Terkadang ibunya mengirimkan uang untuk mereka. Uang kiriman itu biasanya digunakan untuk keperluan sekolah Sari. Namun, hampir setahun ini ibunya tidak mengirimkan kabar. Biasanya tiga bulan sekali selalu saja ada kabar berita yang datang.

Sari duduk di teras rumah sambil menggambar lantai dengan bongkahan genteng. Menggambar sebuah rumah yang besar dan indah. Di dalamnya penuh dengan mainan. Di samping rumah terdapat kolam renang sehingga dia bisa mengundang teman-temannya untuk berenang di sana. Terdapat juga mainan outdoor seperti ayunan, perosotan, papan titian, kandang macan, panjatan laba-laba, dan jungkitan. Dia akan puas bermain berlama-lama di luar rumah.

“Sari.” Panggil Koko dengan suara lantang

Sari terhenyak. Tersadar dari lamunan yang indah. Hilanglah rumah dan semua mainannya.

“Apa, Ko?” jawab Sari ketus

“Kamu kok gitu jawabnya? Eh, main yuk!” tanya Koko sambil mengajak Sari main seperti biasanya.

“Malas, Ko. Kamu main sendiri saja sana.” Usir Sari

“Ayo, Sari. Supaya kamu tidak cemberut begitu. Tidak baik itu.” Koko masih terus mencoba menghibur Sari

Sari menyadari kalau kemarahannya tidak akan membuahkan hasil apapun. Dia pun bermain dengan Koko.

“Kamu kenapa, Sari?” tanya Koko berusaha mengetahui alasan kelesuan Sari hari itu. Sari bercerita bahwa penggarisnya sudah rusak sejak seminggu lalu. Dia minta dibelikan yang baru pada neneknya namun tak juga membuahkan hasil. Padahal dia sudah berupaya untuk bersabar. Dia malu terus-menerus pinjam pada teman-teman. Meskipun mereka tidak pernah mengeluh. Bahkan tidak sedikit di antara temannya yang senang berbagi apa saja dengannya. Setiap hari, ada saja teman yang memberikan bingkisan. Mulai dari makanan ringan hingga alat tulis sekolah. Tidak hanya teman-teman, ibu Susi, selaku guru kelasnya, juga melakukan hal yang sama.

Sari ingin membeli penggaris dari menabung, tapi neneknya tidak memberi uang saku. Nenek selalu membawakan Sari bekal untuk makan di sekolah. Sari tidak pernah jajan di sekolah. Neneknya mengatakan bahwa mereka harus hemat. Mereka makan apapun makanan yang disajikan di rumah. Tidak boleh ada protes. Keinginan untuk meminta hal yang bermacam-macam harus dikubur dalam-dalam.

Ketika asyik bermain, Koko dipanggil oleh ibunya. Koko berpamitan ke Sari. Tidak lama kemudian, Koko menghampiri Sari.

“Sari, aku mau ke toko Media. Kamu mau ikut? Siapa tahu dengan jalan-jalan sumpekmu hilang. Bagaimana?” ajak Koko

“Baiklah, Ko. Mungkin dengan begitu aku tidak terlalu sedih.”

Mereka pun berjalan berdua menuju ke toko Media yang jaraknya hanya 400 meter dari rumah. Banyak hal yang mereka bicarakan sepanjang perjalanan. Terkadang mereka juga iseng mengganggu kucing yang mereka temui. Mereka meneriaki kucing hingga lari terbirit-birit. Sesekali mereka bermain balap lari dengan jarak pendek. Kebahagiaan masa kecil yang tidak akan pernah terulang. Kebahagian yang mereka miliki sekali seumur hidup. Tak terasa, mereka sampai di toko Media.

“Ko, mau beli apa?” tanya Sari sembari menyejajari langkah kaki Koko

“Beli buku dan pensil, Sari.” Jawab Koko

Sari tercengang memasuki toko Media untuk pertama kalinya. Besar sekali tokonya, batin Sari. Aku mau punya toko sebesar ini nanti.

Koko berjalan-jalan mencari buku dan pensil. Dia sibuk memilih. Sari berkeliling toko. Dia menghentikan langkah ketika di depannya berjejer penggaris beraneka ragam. Ada yang dari alumunium, kayu, dan plastik. Tangannya sibuk memilih hingga berhenti pada penggaris yang menarik hatinya. Lama dipandanginya penggaris itu. Dia ingin memilikinya, tapi tersadar bahwa ia tak membawa uang sepeser pun. Dia letakkan kembali penggaris itu. Namun, tiba-tiba entah keberanian dari mana, dia memasukkan penggaris itu ke dalam bajunya. Dia menoleh kanan-kiri, memastikan tidak ada yang melihat perbuatannya. Dia tidak tahu bahwa di toko sebesar itu sudah terpasang CCTV. Koko mengajaknya pulang. Ketika melewati kasir hatinya berdegub kencang. Hingga tiba-tiba, seorang laki-laki berbadan tegap dengan seragam satpam memegang lengannya. Dia diajak menuju ke ruangan di sebelah toko. Di sana, beberapa orang dewasa menunggunya. Sampai di ruangan itu, dia diminta duduk. Satpam itu keluar. Dia ditanyai macam-macam. Dia merasakan ketakutan yang sangat. Airmatanya mengalir. Rasanya waktu berjalan sangat lambat.

Tak berapa lama, pintu dibuka lagi. Nenek datang dengan mata bersimpah air. Nenek memeluk Sari, meminta maaf pada Sari dan semua orang yang ada di sana. Nenek meminta agar kejadian tersebut tidak dilaporkan pada pihak yang berwenang. Pihak manajemen dan nenek akhirnya sepakat untuk berdamai. Sari dibawa keluar dari ruangan itu. Mereka pulang.

Sesampainya di rumah, nenek menasihatinya. Nenek mengatakan bahwa perbuatan itu tercela. Perbuatan yang tidak disukai oleh Allah dan manusia. Perbuatan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah dan orang-orang siddiqin. Perbuatan yang dapat menjauhkannya dari surga dan mendekatkan pada neraka. Sari ngeri mendengar itu. Sejak saat itu, sari berusaha lebih sabar. Dia mencari solusi dari keinginannya memiliki penggaris baru. Terkadang dia menggunakan pensil, buku, atau apa saja yang bisa untuk menggatikan fungsi penggaris.

Sari tahu, dia tidak boleh membandingkan kehidupannya dengan orang lain. Dia harus banyak bersyukur masih bisa sekolah. Dia harus menerima apapun yang dimiliki.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post