Susi Purwanti

Berusaha memaknai hidup, seorang guru di SMPN 1 Kotabaru - Karawang Jawa Barat...

Selengkapnya
Navigasi Web
KIRANA

KIRANA

#Harike86

#TantanganGurusiana86

#Episode1

1.    Namaku Kirana

Namaku Kirana, tepatnya Kirana Wijaya. Cahaya yang terang benderang itulah artinya menurut mamih. Papihku bernama Wijaya, makanya nama beliau disematkan diakhir namaku. Nama Kirana itu lebih Indonesia menurut papih. Alasan yang tepat ketika stigma masyarakat mempertanyakan rasa nasionalisme. Keluarga kami adalah warga negara keturunan. Tapi kami sekeluarga mempunyai identitas kok, Kartu Tanda Penduduk walaupun kami bermata sipit. Yang pasti kami cinta dengan Indonesia, kami bangga menjadi salah satu bagian dari bangsa ini.

Usiaku baru menginjak 25 tahun. Aku seorang ibu muda dengan dua anak. Nayara adalah anak pertamaku berusia 5 tahun, baru TK nol kecil. Anakku yang kedua bernama Naura baru berusia 11 bulan yang sudah mulai belajar menapakkan kakinya untuk berjalan. Kedua anakku adalah perempuan yang mewarisi mata sipitku serta kulitku yang putih. Mereka lucu dan menggemaskan. Aku bangga menjadi ibu dari keduanya.

Apakah aku menikah muda? Jawabannya adalah ya! Aku menikah ketika usia 19 tahun. Suamiku adalah seorang yang sering aku lihat sejak kecil. Betapa terpesonanya aku kalau melihat dia lewat depan toko kelontong papihku untuk pergi ke masjid dan belajar mengaji pada Ustad Rahman. Memakai baju koko, sarungan dan berpeci. Begitu manisnya. Apalagi kalau dia mengumandangkan adzan di masjid dekat rumahku. Aku rela menghentikan kegiatanku hanya untuk mendengarkan suaranya. 

Suamiku adalah Mas Surya, tetangga beda gang. Dia berumur lebih tua 5 tahun dariku. Orang yang tak asing lagi sebenarnya bagi keluarga kami. Kedua orangtua kami juga saling kenal dengan baik. Aku adalah pengagum Mas Surya dari kecil. Aku kelas satu SD, beliau sudah kelas 5. Kami satu SD. Selanjutnya kami tak satu sekolah, tapi sering bertemu. Karena sampai seragam putih abu-abu dia rajin sekali pergi ke masjid. Sudah tentu lewat depan toko kelontong papih. Rumahku ya dibelakang toko itu.

Sampai pada suatu ketika, aku sudah SMA kelas dua, sedangkan Mas Surya sudah kuliah tingkat akhir. Dia terlihat dipintu gerbang sekolahku seperti sedang menunggu seseorang. Pandangannya begitu manis terarah kepadaku. Ah jadi salah tingkah. Apalagi ketika dia tersenyum dan melambaikan tangannya kepadaku.

“Mas Surya nunggu siapa? Lagi libur ya kuliahnya? Kok ada disini, ohh lagi pulang kampung tah?” tanyaku dengan salah tingkah. Dia tertawa diberondong pertanyaanku yang banyak.

“Duh Kiran, jawab yang mana dulu ya?” ujarnya kebingungan. Aku jadi tambah salah tingkah.

“Mas lagi nunggu kamu Kiran, ayok kita pulang bareng,” ujarnya sambil menyalakan motor. Aku terpaku dengan ajakannya.

“Ayolah naik, kita cari bakso dulu yuk!” ajaknya lagi sambil tersenyum. Aku beranikan diri untuk pergi bersamanya. Sepanjang perjalanan dag dig dug gak karuan. Senang tapi aku malu walaupun kenal lama sejak kecil.

Kami mampir dikedai bakso, dan betapa aku menikmati rasa yang tak karuan ini. Mas Surya sibuk menceritakan kegiatan kuliahnya yang sudah mau selesai. Dia berharap bisa mendapatkan pekerjaan yang cocok untuknya.

“Kiran sudah punya teman dekat belum…?”tanyanya pelan. Ah jantungku serasa mau copot mendengar pertanyaannya. Aku hanya menggeleng sambil tertunduk. Dia tersenyum. Senyum yang sering aku lihat ketika dia lewat di depan toko kelontong papih pada sore hari ketika mau ke masjid. Dan setiap sore itu juga aku minta jadwal sama mamih untuk membantu mamih menjaga dan melayani pembeli di toko. Senyumnya dari dulu tak berubah. Malah bertambah manis menurutku. Ditambah penampilan yang rapih, perawakan tinggi serta kumis tipis yang menjadikan dia bertambah mempesona. Perempuan sekampung banyak yang naksir dia kok, bahkan temanku Ratna terus terang kepadaku suka sama Mas Surya. Entah apa reaksinya kalau dia tahu kami jalan bersama. Menurut Ratna yang sering mengaji bersama di Ustad Rahman, Mas Surya adalah selain ramah dan tampan, juga pintar. Terbukti sih ketika dia bisa menembus ITB. Itu membuktikan bahwa dia anak yang pintar.

Setelah kami makan bakso bersama, hampir tiap hari Mas Surya menungguku pulang sekolah. Menurutnya mumpung masih libur di rumah. Bulan depan dia sudah mulai sidang skripsi begitu ceritanya. Aku sih sudah jelas senang. Orang yang kukagumi dari kecil, setiap hari ada dihadapanku. Kedua kakakku ternyata lama-lama tahu kalau Mas Surya diam-diam sering menjemputku pulang sekolah. Bahkan Kak Rama menegurku.

“Kiran, kamu pacaran sama Surya? Kakak tiap hari tahu kok kamu diantar pulang sekolah,” tanya Kak Rama. Aku kaget tak mampu berkata-kata ketika mendengar pertanyaannya.

“Ingat lho, kamu sama dia itu berbeda pasti mamih papih kalau tahu marah,” ujar Kak Rama. Iya kami berbeda, latar belakang, keturunan, bahkan agama. Apalagi keluarga Mas Surya termasuk keluarga tokoh agama di kampung kami. Sementara aku, seorang sipit yang beragama Protestan. Apa mungkin bisa bersatu?  Bagaimana nanti reaksi mamih papih? Kak Rama saja begitu tinggi nadanya menegurku. Wajahnya terlihat garang, jarang sekali beliau marah, apalagi terhadapku sebagai anak bungsu serta adik perempuan satu-satunya.

“Kiran, tungggu Mas Surya lulus dan mendapat kerja ya, nanti mas lamar…,” bisiknya ketika akan kembali ke Bandung. Aku hanya tersipu malu. Keyakinanku bertambah kuat kalau Mas Surya adalah jodohku. Mungkin ini adalah balasan kesabaranku dari kecil sampai aku tahu yang namanya lawan jenis, hanya kagum dan suka sama Mas Surya.

Setelah aku lulus SMA tidak melanjutkan kuliah, kegiatanku hanya membantu mamih menjaga toko kelontong. Kedua kakak laki-lakiku juga Kak Rama dan Kak Darma tidak kuliah. Mereka sudah berkeluarga dan usaha toko kelontong juga di kampung sebelah. Keluarga kami sebenarnya berkecukupan kalau anak-anaknya kuliah. Tapi kata papih gak usah, mending wiraswasta saja denga cara berdagang.

Papih sebenarnya sudah menjodohkanku dengan seorang pengusaha yang bergerak dibidang property. Dia sedang membangun kawasan perumahan tipe cluster di kampungku. Tentu saja dia kaya raya dan terlihat dari mobil yang dikenakannya. Yang pasti dia bermata sipit sepertiku. Aku menolak secara halus bahwa belum ingin menikah.

“Ya sudah, tahun depan harus mau ya nikah sama dia,” ujar papih dengan nada memaksa. Aku takut dengan perkataan papih tadi. Langsung teringat Mas Surya. Kemarin dia memberi kabar sudah mendapatkan kerja.

“Sabar ya Kiran, tunggu mas nanti melamar,” ujarnya diseberang telepon. Aku berkirim pesan kepadanya bahwa papih mau menjodohkanku, dan tahun depan aku harus mau menikah dengannya. Makanya kemudian Mas Surya menelponku agar aku bersabar.

Cintaku sama Mas Surya tak dapat digantikan dengan orang yang papih sodorkan sebagai jodohku. Kagumku sama Mas Surya tak berubah sedikitpun sedari aku kecil dulu sampai sekarang.

“Kiraaaaan…!” teriak papih sambil tanganya ke atas akan memukulku. Mamih menahannya.

“Apa-apaan ini, kamu mau jadi istrinya si Surya itu?” ujar papih sambil membanting ponselku. Rupanya papih membaca percakapan aku dengan Mas Surya. Aku mengkerut ketakutan duduk bersimpuh di lantai sambil menangis. Terlihat papih napasnya tersengal-sengal saking marahnya.

“Kalau kamu sampai jadi istrinya si Surya, apalagi pindah agama, jangan akui mamih sama papih sebagai orangtuamu!” ujar papih berteriak. Air mataku bertambah deras.

“Awas kamu berhubungan lagi dengannya, akan papih coret kamu sebagai penerima hak waris,” ujar papih mengancam dengan nada tinggi. Mamih memelukku.

“Kamu dengarkan kata papih Kiran, mamih juga gak mau kamu nanti bersuamikan Surya,” bisik mamih kepadaku.

Hampir dua bulan aku tak menerima kabar Mas Surya, selama itu pula aku hanya tinggal di rumah. Sampai suatu ketika mamih minta tolong kepadaku untuk mengantarkan pesanan barang Bu Dirga di kampung sebelah. Aku antar memakai motor. Ternyata Mas Surya sudah mengintaiku, selesai mengantar barang, dia menjegatku di jalan. Senang sekaligus kaget. Kami akhirnya mencari tempat untuk berbicara, dikedai bakso yang biasanya kami bertemu. Mas Surya bercerita pernah diancam papih untuk menjauhiku ternyata. Aku hanya menangis mendengar ceritanya.

“Kiran, nanti tepat jam tiga dini hari Mas Surya tunggu di ujung gang ya, bawa baju secukupnya,” bisiknya ketika akan berpisah denganku. Sontak aku kaget mendengarnya. Antara senang dan takut, sempat keragu-raguan menghampiriku. Tetapi ketika aku lihat senyum Mas Surya yang tulus hatiku luluh. Duhh Tuhan, beri aku petunjukMu.

BERSAMBUNG

 

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

mantaap bucan Susi, sekarang jadi novelis nich

23 Jun
Balas

sing penting nulis, nulis dsn nulis sambil belajar memperbaiki tulisan... hehe

23 Jun

Ditunggu lanjutannya, asal jangan serem - serem lagi

23 Jun
Balas

Wah ini drama kayaknya... Hihi

23 Jun

keren

23 Jun
Balas

Trimakasih Bu Cucu Risa...

23 Jun

KerenNextDitunggu lanjutannya

23 Jun
Balas

trimakasih bu, tunggu esok yaaa bu... salam

23 Jun

Menarik sekali ceritanya, Bun. Kutunggu lanjutannya.

23 Jun
Balas

trimakasih Bu Teti.... salam

23 Jun

Mantap Bu

23 Jun
Balas

Trimakasih Bu hj

23 Jun

Keren bucan

23 Jun
Balas

trimakasih buuu... Salam

23 Jun

lanjut...

23 Jun
Balas

Hatur nuhun ..

23 Jun

Waduh, mau larikah itu? Hmmm,,,,,gak sabar nunggu sambungannya.

23 Jun
Balas

Iyaa kayak mau kabur yaaa buuu hehe

23 Jun

Widih...mau.kemana tuh bawa baju..lanjut bu

23 Jun
Balas

Mau ke rumah Pak Dino... haha

23 Jun

gak sabar nunggu lanjutan cerita mas suryanya..

23 Jun
Balas

Trimakasih Pak Eko.... Salam

24 Jun

Masya Allah cerpen ibu kereeeen menewen. Ditunggu lanjutannya bu. Barokallah

23 Jun
Balas

Aamiin.. trimakasih Bu Erwin....

23 Jun

Baru episode 1 udah seru, jadi ga sabar nih nunggu esok hari kelanjutannya

23 Jun
Balas

besok ya Miss Min... ok trimakasih banyak

23 Jun

Mantap, ditunggu kelanjutan nya

23 Jun
Balas

Trimakasih Bun... Salam

23 Jun

Keren banget

23 Jun
Balas

trimakasih...

23 Jun

Ceritanya masih bisa berlanjut

23 Jun
Balas

Dan pasti ku tunggu kelanjutannya

23 Jun
Balas

Makin seru Nih tampaknya

23 Jun
Balas

besok pasti lebih seru, hehe

23 Jun

Semoga mereka bisa tetap bersatu dengan satu agama

23 Jun
Balas

Moga ga kelewatan episodenyaa.. Keren daah

23 Jun
Balas

Hehe... Besok ya Bu jangan lupa episode keduanya.. salam

23 Jun

Wah...mau diajak kawin lari kah ?

24 Jun
Balas

Hehe... Gimana ya kawin lari

24 Jun

Cinta dari dari dua keyakinan yg berbeda memang selalu menjadi polemik semoga endingnya happy ending dan samawa

23 Jun
Balas

konflik, rumit, menderita tapi harus bangkit

23 Jun

Mantap

23 Jun
Balas

Trimakasih Bu...

23 Jun

Ditunggu sambungannya bukk

23 Jun
Balas

Ok, Trimakasih...

23 Jun

Ditunggu sambungannya bukk

23 Jun
Balas

mantap sayang... kutunggu kelanjutannya

23 Jun
Balas

Trimakasih Bun... Besok yaa tayang lagi

23 Jun

Kereen ibuu....runut...jd penasaran

23 Jun
Balas

trimakasih... ikuti terus yaa buu... Salam

23 Jun

Uph...masih nyambung...

23 Jun
Balas

betul Pak masih beberapa episode berikutnya... makasih ya pak, Salam

23 Jun

Keren ceritanya Bu Susi, ditunggu lanjutannya

23 Jun
Balas

Udah tayang tuh pak... Hehe

24 Jun

Keren ceritanya Bu Susi, ditunggu lanjutannya

23 Jun
Balas

Jadi penasaran...mantap dan seru..ditunggu kelanjutanya..

23 Jun
Balas

hehe trimakasih pak, besok yaa kelanjutannya, Salam

23 Jun

Keren Bu Ncusss

25 Jun
Balas



search

New Post