Susmintari Dwi Ratnaningtyas

Karena yang terucap akan mudah lenyap dan yang tertulis akan abadi seperti prasasti....

Selengkapnya
Navigasi Web
24. KACA MATA EMAK

24. KACA MATA EMAK

#Goresan Penaku / H-432

Senja masih menyisakan sunyi. Rinai gerimis yang tak henti seolah mengabarkan kesedihan langit atas berpulangnya gadis manis dan baik itu. Gadis penurut dan patuh yang harus kehilangan nyawa saat membelaku.

“Mari pulang, Mak. Aku akan menemani Emak.”

Perempuan tua itu menatapku sebentar lalu kembali tertunduk. Menatap tanah merah di hadapannya yang mengubur jasad putri tercintanya.

“Salwa sudah tenang di sisiNya, Mak. Biarkan dia ikhlas menghadap Allah tanpa terbebani karena kita belum mengikhlaskannya. Mari kita pulang, kita doakan dia dari rumah. Hanya doa terbaik dari kita yang Salwa butuhkan sekarang ini.”

Kucoba merunduk sambil mengusap hijab perempuan sahaja yang basah terkena rinai hujan itu dengan rasa hati yang tak menentu. Aku yang telah menyebabkan Emak kehilangan putrinya. Aku yang membuat tangis Emak berderai begini, dan aku yang mengakibatkan Emak harus hidup sendiri.

Sehelai daun kamboja kering yang basah oleh air hujan jatuh di hadapanku. Kupungut lalu kubuang ke sisi kiri. Emak sekilas melirikku. Wajahnya masih menyiratkan rasa kehilangan yang terlalu. “Maaf, Mak,” gumamku lirih saat menyadari mungkin Emak tidak suka aku membuang daun kering tadi. Rasa hati Emak yang terhimpit sedih saat ini sangat mungkin membuatnya melo dan sensitif. Mungkin Emak beranggapan daun kering yang terjatuh tadi adalah putrinya yang tiada, lalu dengan semena-mena aku membuangnya.

Kutarik napas panjang. Aku sangat paham rasanya kehilangan. Fase terberat dari kehidupan adalah perpisahan dengan seseorang yang dicintai, dan Emak sedang mengalami hal ini. Sekali lagi kucoba meluaskan kesabaran. Mungkin juga Emak sedang marah kepadaku. Bukankah Salwa berpulang karena membelaku?

Kulirik ujung bawah gamisku yang sudah sangat kuyup. Warna tanah menempel kecoklatan di sana. Payung hitam yang menaungi kami juga sudah sangat basah, tapi Emak terlihat masih enggan berdiri. Aku menunggunya dengan rasa hati yang tak menentu. Rasa bersalah menamparku. Aku bahkan tak begitu kehilangan saat polisi menggelandang Mas Riko dan anak buahnya. Terlalu lama tak dihargai mungkin juga telah membuat rasa hatiku kepada suamiku itu mati. Tapi kehilangan Salwa, meskipun baru bertemu satu hari telah sangat membuatku bersusah hati.

Emak berdiri kala azan maghrib menggema. Lalu dengan lemah bertanya, “Kaca mata Emak mana, Lana?”

(bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sungguh sangat menyentuh rasa.. Lanjuuut. Sukses selalu

18 Apr
Balas



search

New Post