Susmintari Dwi Ratnaningtyas

Karena yang terucap akan mudah lenyap dan yang tertulis akan abadi seperti prasasti....

Selengkapnya
Navigasi Web
68. SENJA DUA WARNA

68. SENJA DUA WARNA

#Tagur 365

#Hari ke-13

Aku menghentikan langkah, lalu menatap Mama dengan pandang tak mengerti. Tak biasanya Mama bersikap seperti ini. Biasanya dengan kelembutan dan kearifannya, tutur lembut serta usap hangat telapak tangannya di kepalaku akan mampu menenangkan gemuruh emosi di hatiku. Tapi kali ini kenapa Mama terlihat sedemikian rapuh? Siapakah tamu yang datang itu? Mengapa Mama langsung sentimentil begini begitu melihatnya?

“Pergi kemana, Ma? Aku putri Mama. Aku akan tetap di sini menemani Mama. Bukankah aku pernah berjanji kepada Mama? Apalagi yang dikhawatirkan, Ma? Aku hanya meminta izin untuk menemui tamu. Bukankah Mama dan Ayah yang mengajariku untuk senantiasa memuliakan tamu?” kataku pelan sambil mengusap lengan Mama.

Mama sudah terlihat tenang. Isaknya sudah tak terdengar, namun tatap netranya masih kosong seolah menyimpan rahasia besar yang ingin dikatakan tetapi ada sekat kuat yang menghalangi lisannya untuk berucap.

“Nana nemui tamu dulu, ya Ma,” kataku meminta izin. Mama mengangguk. Aku mulai melangkah saat sekilas kulihat Mama memejamkan netranya. Sebutir air mata menggulir dari netra kanannya. Aku tersentak, merasakan jika Mama sedang tidak baik-baik saja Se. Aku ingin bertanya, namun urung karena harus menemui tamu.

“Assalamu’alaikum,” sapaku dengan senyum yang kubuat seramah mungkin. Kedua tanganku menangkup di depan dada untuk memberikan isyarat bahwa aku tak berjabat tangan dengan mereka.

“Wa’alaikumussalam,” jawab mereka, tetamu yang datang itu hampir serempak. Seorang perempuan cantik dengan balutan busana sederhana namun tak mengurangi nilai penampilannya yang terlihat elegan. Disampingnya, lelaki itu selalu memeluk pundak perempuan cantik itu.

“Ini Mbak Rania, kan?” tanyaku. Aku pernah melihat wajahnya di foto profil kontak di gawai Mbak Yulia.

“Iya, benar. Dan kenalkan ini Mas Lucky, suamiku,” jawab Mbak Rania. Sebuah senyum manis dia sunggingkan untuk suaminya ketika memperkenalkan lelaki itu kepadaku.

Aku teringat senyum itu. Bukankah itu adalah senyumku? Senyum yang sering aku lihat di pantulan kaca cermin dan di galeri pribadiku. Suara Mbak Rania? Kenapa juga sangat mirip dengan suaraku. Bahkan lesung pipi kami, kenapa juga serupa begini?

Aku masih sibuk mengamati Mbak Rania dan membandingkannya denganku. Cerita Mbak Rania tentang pesanku yang terlambat dia buka hingga terlupa belum dibalas, juga permohonan maaf atas sikapnya itu hanya kudengarkan sambil lalu.

“Na, kenapa kamu pengin ketemu denganku? Apakah kamu juga merasakan bahwa kita ini seperti serupa? Mungkinkah tanya di hati kita ini sama, bahwa kita adalah dua orang yang terpisahkan karena catatan takdir yang belum kita mengerti sampai kini.”

Mbak Rania berkata terbata-bata. Air matanya terlihat menggenang di pelupuk mata, namun dia sekuat hati mencoba menahannya.

“Apakah kita bersaudara, Mbak?” tanyaku tanpa basa-basi lagi.

(bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terharu

08 Feb
Balas



search

New Post