Susmiyati

Profil Kepala SMP Yadika 8 Bekasi...

Selengkapnya
Navigasi Web

BERTEDUH

BERTEDUH

Hujan tumpah ruah semalam suntuk, namun mendung masih menggantung. Kemana cahaya matahari ? Masih enggan bersinar seperti enggannya diriku. Andai boleh memilih, menggulung diri berbalut selimut ,tentu nikmat sekali.

"Semoga hanya sisa mendung semalam , "bisik hatiku penuh harap sekaligus doa.

Angin pagi menerpa wajah meskipun helm sudah disematkan, kaca helm sudah menutupnya. Dingin, jaket yang kukenakan masih terlalu tipis rupanya.

Mendung semakin menggelap. Laju motor kupacu. Karena masih pagi, jalanan masih sepi. Namun apa daya, akhirnya aku menyerah. Laju motor harus kuhentikan. Aku harus menepi karena buliran air hujan sudah makin deras.

Di tepi jalan di bawah pohon mangga kuberteduh sesaat. Mencari mantel yang biasa kulipat manis di dalam jok . Pencarianku sia -sia mantel itu tak kudapati di sana.

Hujan semakin menjadi jadi. Petir dan kilat bersahutan. Basah semakin basah.

" Bagaimana ini...?"

Mataku tertuju pada rumah pemilik pohon mangga ini. Tanpa ragu kuputuskan ikut berteduh di teras rumah itu. Sepi. Tak nampak kesibukan dari teras ini.

Belum kuucap salam, tersembul senyum manis dari balik pintu.

" Ibu kehujanan? " sapa seorang ibu yang nampak sebaya denganku.

" Assalamualaikum, saya numpang berteduh ya Bu, lupa membawa mantel."

" Waalaikum salam. Silakan Bu...masuk saja, minum teh hangat dulu. "

" Wah, terima kasih. Di teras ini sudah aman ,Bu. " jawabku sungkan. Tuan rumah yang baik, membuatku tidak enak hati.

Si Ibu menarik kursi, mempersilakanku duduk. Tentu dengan senang hati aku duduk di kursi yang teranyam dari rotan. Si Ibu berlalu meninggalkanku. Samar kudengar suara Si Ibu .

" Mala, ayo sudah jam 7.30 , siap - siap daring. Jangan lupa absen dulu. "

Yang disebut Mala, pasti anaknya, pikirku.

Tapi mengapa Mala tidak menyahut ya, aku jadi penasaran. Ah...kesempatan untuk bertanya tiba. Si Ibu muncul dengan cangkir di tangan. Diletakannya cangkir teh hangat itu di meja pas di depanku.

" Terimakasih Bu, jadi repot karena saya," kataku dengan wajah penuh rasa syukur.

" Mala kelas berapa Bu ? Maaf saya dengar Ibu tadi menyuruh Mala agar siap - siap daring. "

" Oh ...Mala, anak saya yang bungsu, sudah sekolah kelas 7 di SMP Yadika 8 Bu. "

Nyes....melongo aku menyimaknya.

" Masya Allah, jadi Mala siswa kami, di SMP Yadika 8 ?"Tanyaku spontan dan nyaring.

Sekarang tinggal Si Ibu yang melongo.Gantian saling melongo. Hiks

" Mala...keluar Nak, ini ada Ibu gurumu dari Yadika, Nak !" Teriak Si Ibu dengan semangat.

Kutunggu Mala dengan suka cita. Begitu sampai di ambang pintu, mataku dan matanya beradu.

" Sini Nak, ini Ibu guru, kasih salam Nak."

Mala melangkah ke arahku, tangannya terjulur memberi salam. Namun kutahan tanganku agar tak bersentuhan. Ah...ini.gara -gara Covid. Tidak bersalaman sempurna.

" Mala, saya guru di SMP Yadika 8, panggil saya Bu Mar ya, Bu Markonah. "

Mala mengangguk saja. Matanya yang bening ,indah mengerjap, wajahnya putih bersih, cantik. Keningnya sesaat berkerut.

" Heeeem Ibu Markonah.....Ibu kepala sekolah kan ? " tanyanya dengan nada tiang.

Kubuka maskerku, lalu aku mengiyakan dengan tertawa nyaring.

" Kapan saya bisa ke sekolah Bu ? "

Ah...pertanyaan yang sudah kuduga akan muncul untukku. Ini pertanyaan sulit. Aku harus hati-hati menjawab.

" Heeem tentu tidak lama lagi Mala, berdoa ya....covidnya pergi." Kuhela nafasku rasanya sesak ,sedih .

Mala kembali mengangguk. Rambutnya yang panjang sebahu dan berponi makin mempesona.

Hujan masih terus mengguyur. Mala berpamitan karena daring akan dimulai. Dia memberitahuku pagi ini belajar IPA melalui zoom. Seragam khas Yadika sudah dikenakannya dengan rapi.

Aku masih di sini, dengan segelas air teh hangat ditemani Ibu Mala. Mengobrol tentang apa saja. Hujan berhenti, matahari sudah nampak lagi, bahkan meninggi. Satu jam lebih aku di sini. Di rumah siswaku yang baru kukenali setelah empat bulan teraftar sebagai siswa baru.

Andai esok aku harus mutasi atau bahkan demosi, berarti tak kunali semua siswa baruku. Ada bulir kesedihan, namun kutahan, agar tidak jatuh mengharu.

" Bu, saya pamit. Hujan sudah berhenti. Terima kasih sudah menerima saya dengan baik. Sudah saling kenal, dan Insya Allah lain hari saya mampir kembali . Salam saya untuk ayah Mala. "

Ayah Mala sejak subuh sudah menuju kantornya di Jakarta. Begitu tadi Ibu Mala memberitahuku.

Ibu Mala memanggil Mala, namun kucegah, karena Mala masih kudengar asyik belajar .

Lambaian tangan Ibu Mala, mengantarku pergi. Terima kasih hujan, kau membawaku mampir di rumah orang tua siswa yang baru kukenali. Covid membawa banyak cerita , meskipun aneh ya.

14 Oktober 2020

Pukul.23.24 wib

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren cerpennya bucan, salam literasi

15 Oct
Balas

Alhamdulillah..trimakasih

09 Dec



search

New Post