Susmiyati

Profil Kepala SMP Yadika 8 Bekasi...

Selengkapnya
Navigasi Web

PERAHU GENDON

PERAHU GENDON

Orang sekampungku menyebutnya Gendon. Sebenarnya gendon itu nama ulat kelapa, ulat yang sangat menjijikan. Aku pernah melihatnya. Sungguh aku geli dan takut luar biasa. Mas Marso yang jahil itu sangat senang melihat aku ketakutan. Baginya semakin aku takut, semakin menyenangkan. Tapi Gendon yang kumaksud adalah Gendon nama orang.

Setiap hari Gendon melakukan aktifitas di atas perahu yang sangat sederhana. Perahu yang terbuat dari kayu atau tepatnya papan yang cukup tebal yang direkatkan dengan paku. Perahu tanpa polesan apapun. Tidak berwarna, karena tanpa cat. Tanpa ornamen apapun seperti bendera warna-warni atau sekedar atap sederhana. Sungguh perahu Gendon, adalah perahu apa adanya. Di tengah perahu ada batang kayu menyilang. Itulah tempat duduk penumpang. Karena kecilnya perahu itu, hanya cukup membawa muatan, antara empat sampai lima orang dewasa.

Perahu tersebut sangat membantu masyarakat yang akan menyeberang dari kampung yang terbelah oleh sungai yang disebut Kali Tajum. Kami menyebutnya Kampung Tunjung Lor dan Kampung Tunjung Kidul. Karena satunya terletak di utara dan selatan. Sesekali saat musim hujan Kali Tajum meluap, maka banjir pun terjadi. Tetapi banjirnya Kali Tajum hanya menyapu dan menggenangi ladang penduduk yang letaknya sangat dekat kali. Seperti ladang milik Bapane dan Simbok, sering terkena dampak banjir. Akhirnya Bapane gagal panen terong, atau cabe atau jagung dan kacang. Saat itu terjadi, kami hanya memandangnya dengan kesedihan. Terpaksa setelah banjir surut, kami panen tanaman tersebut apa adanya. Walau belum saatnya dipanen. Seperti cabe muda, atau putren yaitu jagung muda. Bagi kami apapun adanya, tetap masih bisa dimanfaatkan. Cabe muda dan putren itu masih bisa ditumis untuk lauk makan.

Mas Gendon mengayuh perahu tersebut dengan batang bambu, tarif atau bayarannya suka rela. Bahkan tidak jarang Gendon hanya menerima upah ucapan terima kasih atau senyum saja. Berpuluh tahun tak kulihat lagi Gendon dengan perahunya. Semua hanya kenangan bagiku. Semoga masih ada generasi Gendon yang mengabdikan diri sebagai penolong bagi warga yang membutuhkan bantuan menyeberangi Kali Tajum itu.

" Mas Gendon aku nyebrang ya !" teriakku, sambil melambaikan tanganku bersama dua sahabat kecilku.

" Memang kita mau kemana Sus, " tanya umbuk bingung, karena tiba-tiba aku memanggil Mas Gendon. Padahal kedatangan kami ke kali sore itu , berniat untuk mandi saja.

" Kita cuma mau naik bolak balik mbuk, ntar aku yang bayarin. Aku punya duit selawe, " kataku dengan senyuman bahagia .

Sore itu kami bertiga menaiki perahu Gendon bolak balik. Di atas perahu kuceburkan tanganku,maka airnya muncrat menyebar cantik. Sesekali kami teriak, saat ada benda atau kotoran ikut melintas. Begitulah betapa riangnya kami, bahagia luar biasa. Sayangnya kami tidak bisa lama-lama di perahu, karena kali Tajum hanya kali kecil. Jarak yang tidak lebar, membuat penyeberanganpun membutuhkan waktu yang singkat sekali .

" ih... Jorok ya!" kata Yati waktu melihat kotoran yang mengapung ,sambil menutup matanya.

Betapa menyesalnya aku, saat mataku menangkap pemandangan menjijikan itu.

Dengan menenteng sendal jepit, kami bertiga turun. Mas Gendon sabar menunggu penumpangnya turun satu- persatu. Begitu kami bertiga turun, kuberikan uang yang kupunya kepada Mas Gendon. Apa yang terjadi?

" Gak usah bayar Sus, nggak setiap hari kamu naik perahu ini. " katanya dengan tatapan yang tulus dan senyuman iklasnya.

Mulutku melongo, kulihat umbuk dan Yati, mereka lebih melongo. Maka kami bertiga mengucapkan terima kasih. Begitulah Gendon, sangat baik, dia tahu kami hanya bocah kecil yang hanya ingin bersenang- senang sesaat dengan perahunya.

Perahu sudah ditunggu penumpang yang lain. Kali ini yang akan naik adalah orang dewasa yang berkepentingan menuju Kampung Tunjung Lor. Mungkin mau pulang atau mungkin memang ada keperluan ke kampung itu. Begitulah hatiku menerka-nerka. Kami bertiga memperhatikan perahu Gendon membawa para penumpang menyeberang ke seberang sana dengan takjub. Takjub pada perahu yang perlahan melaju sekaligus takjub pada si supir perahunya.

" Kita jadi mandi tidak? " tanyaku kepada Umbuk dan Yati.

" Kamu, mau mandi nggak ?" Umbuk balik bertanya padaku.

Aku menggelengkan kepala, karena aku takut dengan air kali. Aku takut terseret arusnya, sementara aku tidak bisa berenang. Satu lagi yang kutakutkan, aku takut dengan kotoran hewan dan manusia yang hilir mudik di sana.

" Jadi, kamu mau nonton saja, seperti biasa, sus? " tanya Yati.

" Aku jagain barang bawaanmu, anduk ini, dan baju gantimu. "

Tanpa banyak bicara kedua temanku membuka pakaian luar, menyisakan pakaian dalam... Lalu... Byuuuuur.

Aku bertepuk kegirangan, sambil menyemangati mereka yang pintar berenang. Hingga sore pun semakin gelap.

Kami berkemas pulang setelah puas bermain sore ini. Semua puas, apalagi semakin sore semakin banyak anak-anak datang berenang. Suara mereka riuh, ingin saling unjuk kebolehan, terjun dari tebing yang tinggi, kemudian menyelam, dan muncul di depan teman yang lain. Begitulah, bergantian anak -anak itu naik ke tebing kali. Tak tersirat rasa takut di hati mereka, dan memang terbukti mereka bisa terjun mulus, menyelam dan timbul lagi. Aku puas sebagai penonton, juga puas sudah naik perahu Gendon.

"Mbok... Aku lapar !"

Rumah sepi, tanpa sahutan. Kudapati nasi dan peyek ada di meja. Alhamdulillah.

VNI 3

16 NOV 2019

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post