RAPORKU
RAPORKU
Pagi yang indah. Cuaca cerah, udara pun sejuk, pastinya berlimpahan oksigen gratis. Geliat pagi sudah terasakan. Kesibukan sudah dimulai. Seperti sibuknya aku bersiap pergi di hari Sabtu ke sekolah. Hari ini pembagian rapor kenaikan siswa, jadi tidak libur.
Suasana sekolah sudah mulai ramai, padahal baru pukul 06.00 wib. Aku buka helmku, sebelum turun dari motorku. Seperti biasa, para siswa menyalamiku.
" Hai, Ely, kamu cantik sekali hari ini, ibu hampir tak mengenalimu. "
Yang ditegur hanya tersenyum malu. Ely dan teman-temannya siswa kelas tujuh datang dengan baju bebas tidak berseragam, membuat pangling yang melihatnya. Begitulah jika seragam ditanggalkan mereka jadi beda. Seperti para mahasiswa.
" Selamat Pagi Bu, " beberapa siswa terus menyapa bergantian. Bisa bersalaman dan mendapat sambutan hangat para siswa sesuatu yang sangat menyenangkan. Hal seperti ini berulang setiap hari di sekolah.
" Bu Ami, jangan lupa dokumentasikan kegiatan bazar kita ya," kataku mengingatkan salah seorang guru wali kelas yang kutemui di Lobby.
" Baik Bu, saya sudah minta tolong dua siswa OSIS mendokumentasikan kegiatan kita hari ini." jawabnya
" Siapa penanggungjawab Band, kok alat Band belum didisplay, nanti kesiangan, "
" Saya sudah melihat Kristo di Studio mungkin sebentar lagi Bu. "
" Ok, terimakasih Bu Ami. "
Aku segera berlalu dari lobby menuju ke ruanganku. Kuletakkan tas, jaket, dan juga kunci motorku.
Sejenak kubercermin mematut diri. "Hari ini orang tua siswa datang mengambil raport, sebaiknya aku menyambutnya di lobby" pikirku.
Melintasi ruang guru, aku mengabsen para wali kelas. Aku bersyukur wali kelas sudah datang semua. Mereka sebentar lagi akan masuk ke ruang kelas masing-masing. Di sanalah mereka menunggu tamunya mengambil raport.
Bazar makanan dan juga hasil prakarya para siswa sudah tertata di meja sesuai jatah mereka masing masing. Masing - masing stand mempromokan dagangannya. Beberapa siswa sudah aktif ke sana, ke mari ,menjajakan kue - kue bahkan berbagai macam nasi dan roti ke semua orang yang datang. Aku menikmati pemandangan ini dengan penuh rasa syukur dan bahagia.
"Ibu,... Ayo Bu.. beli...! "
Teriak Alisa si ketua OSIS.
" Boleh, setiap meja, ibu akan pilih satu jenis makanan, biar adil, jadi semua ibu beli, minimal satu jenis makanan . "
" Hore...! " teriak anak- anak kompak.
Maka aku pun berkeliling, mulai dari meja paling ujung, di sini aku temukan makanan kesukaanku. Lupis gula merah bertabur kelapa, akupun mengambil dan membayarnya. Pada meja kedua, aku tertarik dengan bubur sumsum, dan pada meja - meja berikutnya, aku sudah mengumpulkan mie goreng, sosis bakar, otak-otak dan sebagainya. Aku merasa, semua meja stan sudah kukunjungi, sudah adil karena sudah membeli setiap meja bazar milik semua kelompok.
" Bu, makanan ini saya bawa ke mana Bu, tanya Tari siswa yang menjadi asistenku, membawakan makanan - makanan yang kupilih.
" Tolong, Tari letakkan di meja Ibu, semuanya. Terimakasih ya Nak, " jawabku.
Tari berlari meninggalkanku melesat penuh keceriaan , aku melihatnya sambil geleng kepala. Tiba-tiba, ada yang mencolek lenganku.
" Bu, saya mau memberi Ibu bonus minuman, " kata Alfian, satu siswaku dengan gaya mempesona.
" Oh ya, nanti rugi, ngasih bonus kepada Ibu, " jawabku sambil menerima satu gelas jus jambu.
" Tenang Bu, untuk Ibu, apa si yang tidak kuberi, " jawabnya dengan mimik lucu. Teman - teman yang mengelilingnya jadi tertawa riang.
" Terima kasih Alfian, semoga jualanmu ludes, laris manis ya. "
Alfian mengiyakan saja kata - kataku, sambil tertawa bahagia. Hari ini sungguh keceriaan ada di setiap wajah siswaku.
Irama musik Band sudah terdengar riuh, walau sesekali masih tersendat karena masih ada gangguan atau troble. Aku memfoto dan memberi beberapa pesan agar mereka tertib dalam bermusik.
Setelah semua kuanggap aman, aku menuju pintu utama lobby sekolah untuk menyalami para tamu yang sudah mulai berdatangan. Dengan beberapa orang tua siswa yang sudah kukenal kami ngobrol walau sekedar basa – basi, tetapi dengan mereka yang belum kukenal atau lupa, aku tak segan bertanya kepada mereka, siapa nama anaknya.
Kulihat, seorang Ibu berjalan ke arahku.
" Selamat pagi Bu, apakah Ibu kepala sekolah? "
" Selamat pagi, betul Bu, saya kepala sekolah, ada yang bisa saya bantu Bu ?"
" Saya bunda Selfia , saya senang Bu, akhirnya saya bisa ke sekolah setelah dua tahun Selfia sekolah di sini. "
" Oh... Selfia..., jadi ini Ibunda Selfia. Senang sekali saya bertemu Ibu. Saya sering sekali menanyakan kepada Selfia, mengapa rapornya tidak diambil. Setiap kali dia dapat piala, selalu tertunda penyerahannya karena tidak ada pendampingnya. " kataku antusias, semangat dan menggebu gebu.
" Maaf, kami bukannya tidak mau ke sekolah, atau mengabaikan, tetapi kami harus memilih yang terpenting Bu. Setiap hari kami jualan sayur di pasar. Jika kami ambil raport, berarti kami dalam sehari tidak berjualan. Hari ini, tepaksa banget , saya tunda jualannya. Baru ke pasar sepulang dari sini Bu. "
" Oh, baik Bu, kami paham. " aku cukup menanggapi singkat saja apa yang Bunda Selfia sampaikan. Lalu kutunjukan kepada Beliau arah menuju kelas Selfia.
Penjelasan Ibu Selfia tadi tentang alasan tidak bisa ke sekolah , pas menohok ulu hatiku. Tiba-tiba mataku berkabut. Ada air mata di sana. Air mata karena Simbok.
Bukankah Simbok juga seperti Bunda Selfia. Tidak pernah mau datang ke sekolah anak-anaknya saat ada undangan pengambilan rapor.
Hingga pada suatu hari aku sempat bicarakan hal ini kepada Simbok.
" Mbok, Ibu Kepala Sekolahku tadi agak kesal sama Mbak Rum dan aku. "
" Kenapa? " tanya simbok
" Ibu kepala sekolah ingin Simbok langsung yang menerima piala, tabanas dan sertipikat juaraku, bukan Mbak Rum. Karena ini piala NEM mbok, Nilai Ebtanas Murni kelulusanku dari SMP. " jawabku dengan suara yang sedikit meninggi.
" Oh itu, Simbok kalau datang tadi ke sekolahmu, berarti Simbok tidak jualan sirih. Njur piye, Simbok gak punya duit untuk makan kamu hari ini. " jawab simbok datar dengan Pandangan mata hampa.
" Bagi Simbok, semua anak Simbok memang harus pinter, jadi kalau juara ya, itu kewajiban, lumrah. Lah... Wong Simbok sudah susah payah menyekolahkan, kalau tidak pintar ya kebangetan. "
Kalimat yang seperti ini yang selalu kami dengar. Jadi bagi Simbok juara di sekolah itu harus. Baginya bukan sesuatu yang perlu diapresiasi berlebihan.
Seiring waktu aku memahami prinsip Simbok, dan prinsip tersebut dengan sendirinya memotivasiku untuk menjadi yang terbaik, walau tidak selamanya bisa menjadi yang terbaik .
Selalu saja Simbokku ini juara dalam segala hal. Diam, tanpa banyak mendikte tapi tepat sasaran.
"Mbok... Aku jadi kangen. "
Bekasi, 05 Agustus 2019
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Saya sudah baca serial si mbok Sebaiknya di jadikan buku bun Pasti seru
Baik Bu.. Insya Allah