RUMAH KHAYALAN
RUMAH KHAYALAN
“ Sini, mana tanganmu, biar Simbok obatin dengan pinisilin. Sudah Sholat Maghrib kan ? ” Kata simbok sambil menarik tanganku. Saat itu juga aku langsung menahan nafasku. Bau obat pinisilin yang akan Simbok oleskan di korengku sangat menyengat. Setiap kali aku mendengar nama pinisilin otomatis bau itu seolah tercium di hidungku.
“ Sudah Mbok, aku nggak tahan, baunya nggak enak, “ aku merajuk sambil menahan diri agar tidak muntah. Mulutku mengeluarkan bunyi seperti orang mau muntah. Mataku juga berair , karena menahan agar tidak betul- betul muntah.
“ Sebentar, belum rata, tunggu yang di sela jari belum kena, biar lekas kering, nggak malu apa punya koreng cangkrang begitu. Masa cantic -cantik tangannya banyak korengnya, bau pula.”
Mendengar Simbok ngomel begitu, aku sedih, tapi benar kata Simbok, aku malu, korengan. Lebih malu, koreng ini bau, karena bernanah. Simbok rajin mengeluarkan nanahnya dengan duri pohon jeruk, katanya biar tidak inveksi.
Sudah lebih dari dua bulan ini ,aku tersiksa dengan koreng yang disebut cangkrang. Koreng ini gatal luar biasa di mana dia berada. Mulanya timbul bintil-bintil kecil berair bening, lama -lama air bening itu berubah menjadi nanah. Saat itulah sakitnya luar biasa. Cekut-cekut rasanya. Baru berkurang sakitnya jika kurendam dalam air hangat, lalu ditusuk dengan duri lantas dikeluarkan nanahnya.
Cangkrang ini menular, karena mengeluarkan getah nanah, akhirnya muncul di mana saja, terus berpindah. Kadang tangan kanan sudah sembuh, akan muncul di bagian yang lain, misalnya tangan kiri . Lebih tersiksa lagi jika muncul dan tumbuh di sela jari, karena akan mempengaruhi gerakan jari. Jari jemari akan menjadi kaku , nyaris seperti robot, karena tidak bisa menggenggam sempurna.
“ Jangan lupa, setiap mandi pakai sabun asepso, terus besok pagi Simbok mandikan kamu dengan daun Sridia, biar semua kuman di tubuhmu mabok.” Kata simbok diakhiri dengan ketawa, mungkin Simbok sendiri merasa lucu, mendengar kata mabuk yang baru saja Simbok ucapkan. Aku pun ikut ketawa.
Pinisilin akhirnya sudah rata teroles pada korengku, selama itu aku tidak bisa melakukan aktifitas apapun, selain menjaga tangan dengan cara di angkat di depan dadaku, menyerupai orang sedang berdoa.
“ Mbok, ntar aku disuapi ya, klo mau makan, susah nih tanganku begini, “
“ Ya, nanti disuapi, mau makan sekarang ?’”
“ Em..boleh, sudah lapar nih . “jawabku sambal meringis,menggoda Simbok yang sudah baik hati.
Sebelum Simbok meninggalkanku, aku bermohon lagi.
“ Mbok, besok aku masih nggak masuk sekolah dulu ya Mbok,”
“ Sudah dua hari nggak masuk sekolah, keseringan nggak masuk tidak baik, ntar banyak tertinggal pelajaran.” Sesaat Simbok diam menunggu jawabanku, tetapi belum sempat aku menjawab simbok bertanya lagi.
“ Mau tidak juara kelas?”
“ Aku malu Mbok, tanganku kaku begini, aku tidak bisa nulis, “
“ Nggak usah malu, bukankah banyak juga temanmu yang sama sepertimu, cangkrangen ?”
Betul kata Simbok, mungkin sedang musimnya, hampir semua temanku juga koregan. Bakteri koreng cangkrang merajalela menyerang siapa saja. Di rumah ini juga bukan hanya aku yang korengan, Mbak Rum yang setiap hari tidur bersamaku akhirnya korengan juga. Bedanya korengku lebih parah dari koreng Mbak Rum.
Begitulah hari-hariku selama korengan. Pinisilin yang tidak kusukai tak kuhiraukan lagi. Demi sembuh aku lakukan pengobatan apapun. Bapane rajin membawaku ke Puskesmas, jika pinisilin sudah habis. Dalam kondisi korengan aku tetap bersekolah. Masalah tangan sulit untuk menulis, Ibu dan Bapak guruku di SD, memaklumiku.
Koreng -koreng ini menyerang anak -anak kampung sepertiku sebenarnya sebagai hal yang lumrah. Mainan kami adalah tanah. Sebelum korengan, aku dan teman-temanku mengisi liburan sekolah dengan mainan tanah. Tanah pekarangan di rumah tetangga yang luas dan gembur, mudah kami bentuk apa saja. Kami membentuknya menjadi bangunan rumah, lalu kami petak-petak menyerupai maket . Waktu itu kami tidak menyadari, bahwa apa yang kami lakukan sudah menyerupai arsitektur bangunan.
Banyak hal yang bisa aku lakukan dengan teman -temanku saat itu. Kami saling menganggap rumah kami masing -masing paling bagus dan mewah. Khayalan kami berkembang liar.
“ Sus, rumahmu masa garasinya luas banget, sama ruang tamu tidak seimbang,” kata Umbuk sambil menunjuk bagian garasi rumahku yang luasnya dua kali ruang tamunya.
Sambil tertawa aku jelaskan kepadanya.
“ Iya lah Mbuk, mobilku ada tiga, jadi butuh garasi yang luas. “
“ Tiga, banyak amat, kenapa tiga, rata-rata orang punya mobil satu saja, kan mahal harga mobil Sus. “ katanya lagi, dengan nada heran.
Yati yang sedang Asyik memperindah rumahnya dengan pepohonan ikut menimpali, dan ikut melihat rumahku.
“ Hehe… aku tahu, tiga mobil itu, satu punya Sus, satu punyamu Umbuk, satu untuk aku, ya kan Sus…? “ tanya Yati sambil terkekeh - kekeh. Maka kami pun sontak tertawa geli.
“ Hai-hai, Yati salah, mobilku harus minimal tiga, satu punyaku, satu punya suamiku, satunya punya anakku. “ jawabku dengan nada bangga.
“ Oh….iya juga si…klo gitu aku juga ikut punya mobil tiga ah.” Sahut Umbuk tidak mau kalah denganku.
“ Mbuk…garasimu kan cuma cukup untuk satu mobil, mana muat menampung tiga mobil ?”
“ Gampang…aku mau bikin dua rumah lagi, masing-masing rumah kubikin garasi yang cukup untuk satu mobil saja, gampang to ?”
“ Hahahahaha…” kami bertiga terpingkal-pingkal menanggapi kritisnya khayalan Umbuk.
Kami tak peduli kotornya tangan kami , begitu waktunya pulang, kami mungkin juga lupa karena cuci tangan bukan prioritas. Jika sudah lapar , begitu sampai rumah apa pun bisa kami makan.
Biasanya jika beberapa hari kami sudah mainan tanah untuk membuat rumah, lantas kami bosan, maka permainan yang berbeda kami temukan. Seperti masak-memasak.
“ Ini Mbuk berasku, aku bawa dua gelas, cukup kan ? “
“ Cukup Sus, kita kan hanya bertiga. “jawab Umbuk sambal menata tungku di pekarangan belakang rumahku yang sangat rimbun penuh pepohonan . Yati, sedang menyiangi kangkung, cabe, bawang merah, bawang putih yang dia bawa dari rumahnya.
Begitu tungku yang terbuat dari batu bata yang ditata membentuk leter U itu selesai, maka kayu bakar pun disiapkan. Dengan sedikit minyak tanah ,api menyala membakar kayu bakar tersebut. Kuali disiapkan untuk menanak nasi yang kami sebut dengan Nasi liwet. Beberapa saat kemudian semua nasi dan sayur kangkung pun siap terhidang. Beralas daun pisang, kami tuangkan nasi dan sayur di sana. Tanpa cuci tangan kami bersantap dengan riang.
“ Kangkungnya keasinan, siapa tadi yang ngasih garam?” tanyaku sambal menyecap-kecap sayur kangkung rasa garam itu.
“ Bukankah kamu Sus, yang ngasih garamnya ?” tanya Yati
“ Oh…yaya..aku yang ngasih garam ya..? kok aku lupa ya..?”
Aku tertawa malu, diikuti oleh tawa Yati dan Umbuk.
“ Sudah, biar keasinan, enak juga, suapannya banyakin nasinya. “ usul Umbuk.
Maka nasi dan sayur itupun dapat kami habiskan.
Usai sudah permaianan hari itu, maka kami terus berpikir untuk melakukan permainan yang berbeda lagi. Satu demi satu ide disampaikan .
“ Aku maunya besok main bonekaan. Kita bikin dari kain perca. Kainnya minta Lik Kustimah. Gimana ? “ tanya Yati.
“ Setuju…..”jawabku dan Umbuk serentak
Maka hari-hariku berwarna warni, setiap hari kami ciptakan permainan baru bertiga hingga liburan pun usai. Menghardikan kenangan ini rasa bahagiaku muncul kembali. Kangen masa kanak-kanak yang sarat dengan kelucuan, kekonyolan dan kesederhanaan. Satu yang membuatku sedih, sahabat kecilku Yati sudah berpulang. Tak mungkin kujumpai lagi dia sekarang. Doa tulus untuknya selalu kupanjatkan. Semoga syurga tempatmu kembali sobatku. Aamiin
SABTU, 7 DESEMBER 2019
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar