sutini sarwono

Guru SDN LIMPUNG 03, Kabupaten Batang, Jawa Tengah Hanya ingin melakukan apa saja yang baik dan benar....

Selengkapnya
Navigasi Web
WAJAN WARISAN

WAJAN WARISAN

WAJAN WARISAN

Penampilannya seram. Hitam kelam. Bukan karena aku tak pernah membersihkannya. Itu wajan warisan. Bukan dari emakku. Bukan pula dari nenek moyangku. Lalu dari siapa?

Wajan ini mengingatkanku pada seseorang. Lebih tepatnya dua orang. Mereka sepasang suami istri, yang sudah berusia lanjut. Aku memanggilnya Pakde dan Bude Somo. Apakah mereka keluargaku. Setahuku sih bukan. Mungkin famili jauh, yang tidak ada hubungan darah.

Aku tak tahu pasti umur wajan ini. Yang jelas sejak aku sudah melihatnya sebelum tahun 1990. Artinya 30 tahun lebih kan umurnya? Lebih tua dari usia pernikahanku.

Ukurannya kecil. Biasanya kumanfaatkan untuk menghangatkan sayur atau lauk yang tersisa. Mengapa aku tak membuangnya saja? Karena bagiku wajan itu menyimpan banyak kenangan.

Pakde dan Bude Somo adalah sepasang manula. Yang runtang - runtung ke mana saja selalu berdua. Seperti mimi dan mintuna. Ketika aku mengenal mereka, aku masih duduk di bangku SMP. Sedang keduanya sudah berusia 60 atau 70 an. Kebetulan keduanya tidak punya putera.

Yang kuingat betul tentang wajan ini adalah ketika Bude Somo memakainya untuk memasak di atas tungku. Dengan api yang menyelimuti hampir seluruh bagian wajan kecil ini. Inilah sebabnya wajan ini menghitam sampai sekarang.

Bude Somo sering memasak mihun bersantan. Aku seringsekali diminta ikut menikmatinya. Uniknya Bude Somo punya kebiasaan mengunyah lengkuas. Lengkuas digeprek dengan ukuran lumayan besar. Disuwirnya mirip daging ayam.

"Enak ndhuk, kaya iwak pitik." ( Enak, seperti daging ayam.) Kata Bude Somo sambil tertawa. Beliau tidak bergurau. Bude Somo betul - betul menyukai lengkuas yang telah dimasak itu.

Sekali pernah aku menurutinya untuk mencoba

"Bbbuuah....!!!", jeritku kebingungan merumuskan rasa lengkuas itu. Di mana enaknya?

Pakde dan Bude Somo tinggal di samping rumah. Aku tak tahu betul bagaimana ceritanya. Yang kupahami, Bapak menolong mereka. Memberi sedkit tempat di pekarangan. Sekedar memberi tempat tinggal.

Bapakku memang begitu. Dulu satu keluarga pemulung ditolongnya pula. Diizinkan membangun gubuk untuk tempat tinggal mereka. Belakangan baru aku mengerti. Belasan tahun setelahnya, di tempat itu bisa didirikan rumah lumayan megah dizamannya. Tentu dengan izin Allah. Tanah yang digunakan untuk menolong sesama, manfaatnya ke diri pelakunya juga.

Itulah kenanganku dengan wajan warisan ini.

Kapan kubuang?

Mungkin nanti, tiga puluh tahun lagi.

Tantangan ke – 40

#TantanganGurusiana

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ealahhhhhhh.....wajan Ireng warisan.Mantap tak mau wajan putih wajan Ireng bisa jadi tulisan

04 Apr
Balas

Xi xi xiNgesuk panci po bukWwk

04 Apr

Jiiian wajan ireng jadi tulisan yang aduhai, besok aku mau nulis lumpang hehehe....

04 Apr
Balas

Panci, emberHe he

04 Apr

Masya Allah ide gilanya dari wajan ireng. Jadi tulidan keren menewen. Sukses, sehat dan bahagia selalu bersama keluarga tercinta bu. Barokallah.

04 Apr
Balas

He he

04 Apr

Keren lhoh tulisannya, dari wajan kosong bisa jadi ramuan tulisan penuh motivasi, kayak makanan enak di masak di wajan.

04 Apr
Balas



search

New Post