SYAFRUDDIN, S.Pd,MM

Syafruddin, S.Pd, MM., lahir pada tanggal 8 April 1970 di Rao Kab...

Selengkapnya
Navigasi Web
PAGI MENGEJAR MATAHARI TERBIT, SORE MENGEJAR MATAHARI TERBENAM
FOTO BY SYAFRUDDIN

PAGI MENGEJAR MATAHARI TERBIT, SORE MENGEJAR MATAHARI TERBENAM

“Ternyata saya tidak salah lihat, memang bapak kiranya”, kata seorang kenalan. Kiranya sudah setengah jam dia memperhatikan saya. Ketika saya tanya kenapa dia sampai lupa. Dijawabnya dengan enteng, “Bapak keliatannya tambah kaliang.” Amboi. Kulit saya tambah hitam? Emang sudah hangus dari dulu, jawab saya dalam hati.

Sejak kecil saya memang dianugerahi Allah SWT kulit seperti kebanyakan umat di Indonesia. Cokoleik, coklat, sawo matang dalam bahasa manisnya, adalah kulit warisan nenek moyang yang turun dari Cina sebelah selatan (Yunan) yang melakukan gelombang migrasi kedua ke pesisir barat Sumatera sekitar 1500 SM yang lalu.

Salah satu dari mereka menetap di pedalaman Pasaman daerah Rao tepatnya. Di pinggir aliran Batang (sungai) Asik bermukim mereka. Itulah nenek moyang saya. Jadi ‘kelingnya’ saya bukan sekarang saja tapi sudah turun temurun.

Tapi entahlah. Mata orang kan lebih objektif melihat dari mata kita sendiri. Objektif karena bisa diukur secara akurat dengan parameternya. Kalau subjektif hanya melalui dugaan semata atau malah diperngaruhi oleh nilai-nilai yang melingkupinya. Kalau begitu, apakah saya memang bertambah keling, Berkulit gelap dan kusam?

Apakah penyebabnya? Bisa jadi pengaruh sinar matahari. Karena saya bertemu matahari itu agak panjang, yaitu sejak datangnya fajar kedua. Selang beberapa saat setelah fajar shadiq, barulah terbit matahari yang menandakan habisnya waktu shubuh. Jadi sesaat setelah fajar shadiq dan terbitnya matahari itulah saatnya kami bertemu. Pertemuan dengan matahari akan berakhir setelah matahari hilang ujung horizon ufuk barat.

Pagi hari ketika pergi ke sekolah saya berkendera menuju arah timur selama satu setengah jam, sedangkan sore hari saya berkendera pula ke arah barat untuk pulang ke rumah. Jadi selama kurang lebih tiga jam dalam sehari saya harus menikmati sinar matahari. Jadi pantas saja kulit gelap saya bertambah pekat. Hehe..

Di saat orang masih tidur pulas atau sebahagian lagi baru beringsut pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, saat itulah saya sudah berada di jalan raya, menyusuri jalan Lintas Sumatera. Berjalan menuju arah matahari terbit, dari tempat tinggal saya di pusat kota, menuju sekolah saya ke arah timur sepanjang 65 km.

Di sepanjang jalan banyak tersajikan realita kehidupan. Suatu pagi misalnya, saya terjebak macet di jalan raya di pinggang bukit. Di jalan berliku bagai gelungan ular piton itu, sejumlah kenderaan berhenti. Para sopir turun, masyarakat berhamburan datang melihat.

Ternyata sebuah mini bus pengangkut ayam potong jatuh ke jurang. Sejumlah ayam masih tertinggal di jalan, sebagian lagi sudah bergabung dengan sopirnya di dasar jurang. Sebagian lagi sudah ditenteng orang yang tidak bertanggungjawab. Dijarah.

Di jalan raya, peristiwa jatuh, tersenggol, tertabrak atau apa pun namanya, sudah hal biasa. Tapi menyaksikan sekelompok orang sengaja datang hanya untuk menjarah ayam potong dari korban kecelakaan itu luar biasa.

Apalagi tanpa rasa berdosa mereka datang dengan membonceng anaknya memunguti ayam seekor, dua, tiga ekor atau lebih. Mencuri itu berdosa, apa lagi memperkenalkan perbuatan mencuri kepada bocah yang masih suci dan lugu, itu sepuluh kali lipat dosanya.

Di pagi yang lain saya terjebak macet oleh iring-ringan mobil pribadi dan truk. Sebetulnya saya tidak masalah dengan antrian, tapi yang mengganggu adalah sekelompok pemalak yang mengutip uang dari tiap mobil yang lewat.

Kalau satu hari ada 2.000 mobil yang lewat dan setiap mobil diminta Rp.1.000,- maka satu hari saja sudah terkumpul uang dua juta rupiah. Kalau sebulan sudah Rp.60 juta, bila satu tahun jumlahnya hampir 1 milyar. Lama mereka memungut hampir 3 tahun. Jumlahkanlah sendiri berapa duitnya, hampir 3 milyar bukan? Nauzubillah.

Bila saya sudah berkenderaan setengah jam dari titik start saya di Muaro Sijunjung, ibu kota Kabuaten Sijunjung, maka matahari sudah menyembul dari balik horizon Sijunjung. Suhu udara menghangat hingga +22...+24°C, dengan titik embun: +22,24°C. Angin sedikit tenang bertiup dari selatan ke barat dengan kecepatan 0 - 4 km/jam. Hembusan angin pagi menyebabkan saya jadi terkantuk-kantuk.

Bila sudah siang suhu Sijunjung menghangat antara 24°C - 29°C. Suhu ini cukup panas seperti di tepi laut saja atau mungkin seperti di Gurun Kalahari di Afrika sana. Atau memang daerah Sijunjung ini berada di atas permukaan laut yang tertutup tanah tebal. Sebab beberapa titik sumur bor di Sijunjung rasanya asin persis air sumur di pinggir pantai. Jadi wajar suhu Sijunjung panas. Dibawahnya ternyata laut.

Tapi bukan ini yang mau saya ceritakan. Saya ini guru, jadi ingin bercerita tentang guru. Saya guru yang diberi pemerintah tugas tambahan sebagai kepala sekolah. Melalui sebuah keputusan Bupati saya mutasi ke sebuah kampung (nagari) bernama Sungai Lansek. Sebuah nagari elok yang berada dalam lipatan usus bukit barisan yang membentang hampir sepanjang pulau Sumatera.

Negeri ini berada di pinggir lintas tengah Sumatera. Topografi alamnya berbukit dan lembah. Sawah membentang luas dengan beberapa sungai kecil yang berkelok-kelok. Banyak bukit kecil bergelombang ditumbuhi rumput bak hamparan New Zealand. Mata pencaharian masyarakatnya bertani.

Di sinilah SMAN 10 Sijunjung berdiri pada tahun 2006 atas kebutuhan dan keinginan masyarakat. Di tahun awalnya berdiri, sekolah ini memiliki 74 siswa. Tapi siswa belajar nomaden, pindah dari suatu ke tempat lainnya. Semula dapat pinjaman di salah SD tapi karena sesuatu hal pindah ke sebuah gedung pertemuan di pasar Sungai Lansek dalam tahun itu juga. Kantor guru dan ruang belajar siswa dalam satu gedung yang sama. Di sebuah pasar.

Sekolah belum memiliki guru PNS apalagi staf TU. Kepala sekolahnya saja masih dijabat oleh kepala sekolah terdekat. Jadi semuanya darurat. Tapi yang penting belajar.

Barulah pada tahun 2007 dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Sijunjung gedung belajar yang baru. Terdiri atas tiga ruang belajar dan satu kantor. Tahun berikutnya jumlah kelas bertambah dan guru PNS pun mulai datang. Siswa juga bertambah. Sekolah sudah berjalan sebagaaimana sekolah lainnya.

Bedanya, sekolah lain berlari sekencang mungkin sedang sekolah ini berjalan bak siput. Lemot. Letoi. Kadang kayak pak tua. Sering encok. Melaju bagus di bidang ekstrakurikuler tapi sakit pinggang pada hasil UN. Bangunan sekolah tetangga baru dapat bantuan pusat, sedangkan kita punya masih gedung itu-itu saja plus mobiler reotnya.

Tapi sekolah ini punya potensi hebat. Ketika saya indentifikasi masalahnya memakai matriks SWOT. Terlihatlah bahwa kekuatan sekolah ini terletak pada guru. Gurunya muda, energik. Baru tamat kuliah. Masih single. Punya idealisme. Tapi dalam matriks SWOT ini, itulah satu-satunya kekuatan. Selebihnya matriks tidak seimbang. Banyak kelemahan. Bejibun tantangan. Oh..ya, satu lagi peluang yang menjadi kekuatan adalah peranan dari para tokoh-tokoh masyarakatnya. Kombinasi guru dan tokoh masyarakat menjadi pemicu semangat.

Ketika pindah ke sini istri saya sempat berkomentar. “Sekolah ini akan bisa jadi sekolah hebat”, katanya dengan mimik serius. Dalam pikiran saya, orang ini serius atau becanda. Kemudian dia melanjutkan, “Saya ikhlas bapak dipindahkan ke sekolah ini.” Masih dalam hati saya berkata, siapkah engkau kutinggal berhari-hari? Aku bisa jadi Bang Toyip. Jarang pulang. Sekali pulang bawa sekopor cucian kotor.

Tahukah dikau sayang bahwa sekolah baru suami mu ini atapnya sudah ada yang bocor. Lantainya masih saja semen cor. Halaman kotor. Sekolah belum bubar sudah datang sapi congor. Makan rumput segar yang tumbuh komplek sekolah yang pastilah kalah dari sekolah calon praja di Jati Nangor.

Tahun pertama penuh tantangan. Kita harus berpacu memenuhi delapan standar. Fokus sasarannya pada standar yang relatif mudah mencapainya karena rentang kendalinya ada pada kepala sekolah yaitu standar isi, standar proses, standar penilaian.

Untuk mendukung pencapaian tiga standar ini justru harus memenuhi kebutuhan akan sarana dan pembiayaan. Kebutuhan sarana sekolah yang memadai dan dukungan daya yang cukup membuat saya mesti bekerja ekstra keras. Maka guru-guru yang muda-muda diajak buat program sekolah, merancang pencapaian tahap demi tahap sembari mengajak ketua komite berkomitmen untuk membenahi sekolah.

Nah begitulah cerita kalau sudah melewati hari siang sampai datang seruan azan ashar. Tiap hari ada inovasi. Tiap sebentar ada diskusi. Secara berkala ada supervisi. Wali kelas sibuk ngurus siswa nakal, juga membantu siswa lain yang pingin ngecet lokal. Wakil humas sering bikin surat undangan tokoh dan para dermawan. Wakil kuruikulum sibuk membahas standar isi dengan TPK-nya. Saya tentu lebih sibuk dari mereka.

Setelah Shalat Ashar, evaluasi kegiatan hari itu. Buat catatan pencapaian. Terakhir hidupkan mesin mobil. Setelah mesin panas maka mobil keluar pekarangan sekolah meluncur di aspal jalan lintas Sumatera. Tujuannya pulang. Mengejar matahari terbenam.***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sebuah pengabdian yang luar biasa. Semoga Allah memberikan yang terbaik

27 Feb
Balas

Aamiin... Terimakasih Bu Maimarni. Ada seseorang yang luar biasa pemberi semangat. Hehehe

28 Feb



search

New Post