Bisakah Pengawas Menjadi Guru Kembali
Akhir-akhir ini seringkali terdengar bahkan sehari hari, kita lihat kurangnya tenaga pendidik di segala jenjang pendidikan, juga banyak orang yang tidak berminatnya guru menjadi kepala sekolah. Di lain sisi membludaknya peminat menjadi pengawas SD pengawas pai, atau bidang studi SD, SMP dan SMA, serta hubungannya dengan kontribusi mereka terhadap peningkatan kualitas pendidikan.
Terlepas dari hal tersebut, pengawas baik terlibat langsung atau tidak, belum menemukan adanya indikator peningkatan kualitas pendidikan dan kinerja pengawas. Hal ini salah satunya karena sebagian pengawas hanya menyampaikan informasi dari atasan kepada para guru atau menjembatani pejabat level pengambil kebijakan kepada guru sebagai pelaksana kebijakan!
Pada salah satu fungsi ini, maka peran sebagai penyampai informasi tentu sudah ketinggalan jaman, karena begitu cepatnya laju informasi, karena kini memang kita berada pada abag informasi dan telekomunikasi, dus peran fungsi mereka menjadi gugur karenanya.Ketika pembicaraan berkembang menjadi fungsi pengawasan, maka tugas pokok dan fungsi pengawas pun sudah mulai tidak memiliki civil efect.
Pada suatu saat kepala sekolah pernah menyatakan, kalau pengawas yang datang berijasah sarjana akan diberi uang saku 50 ribu, jika s2 akan diberi uang saku 100 ribu...(tentu ini kalimat-kalimat humor), meskipun humor yang mulai merendahkan kualitas pengawas. Hal ini muncul karena para kepala sekolah dan guru meragukan kapasitas pengawas! Banyak guru dan kepala sekolah berijasah S2, sementara pengawas hanya S1 atau S2 (ekstension).
Sebagai pengawas yang seharusnya menjadi pembina profesional (bidang studi), ternyata kemampuan mereka tidak lebih baik dibanding guru, baik di lihat dari track record karier maupun kemampuan akademik selama mereka menjadi guru. Di lihat kapasitas sebagai tangan poanjang untuk mengawasi kinerja sekolah atau kepala sekolah (pengawas satuan pendidikan), mereka belum pernah menjadi kepala sekolah, sehingga kua teknik managemen pengelolaan sekolah mereka tentu ditertawakan oleh kepala sekolah yang telah bertahun-tahun menjadi kepala sekolah!
Pada akhirnya para pengawas hanyalah para syafar yang berkelana dari satu sekolah ke sekolah lain, ngobrol sambil mengobral janji atau bersendau gurai tentang politik atau apapun yang penting telah berkunjung ke sekolah dengan berbekal sppd dan uang sangu dari kepala sekolah (uang siswa), sungguh ironis kalau tidak dapat dibilang memalukan sebagai seorang yang memiliki posisi agent pembaharu yang tidak memiliki stempel tetapi memilkiki kekuatan berbicara...tanpa kuasa eksekutor!
Marilah kita mencoba melakukan survei ke SD, SMP, SLA, seberapa manfaat pengawas hadir ke sekolah? Apakah mereka memiliki nilai tambah terhadap peningkatan kualitas pendidikan? Apakah mereka telah melakukan pembinaan profesional terhadap para guru? Bila mereka ke sekolah, apakah mereka membina para guru? Memberi solusi permasalahan yang dihadapi guru? Membina kepala sekolah (pengawasa institusi)? Apakah mereka menerima dana tambahan (uang trnspot) yang nota bene dobel (karena sudah membawa sppd)? Lebih parahg lagi, dalam sehari mendapat uang transpot dari berapa sekolah?
Billa sudah demikian, apakah mereka juga tidak dapat kita kategorikan koruptor? Oh tidak, kan ia berada di pihak pasif! Tapi kenapa ke sekolah yang tidak memberi uang transpor, akan sangat jarang di tengok, sementera yang suka memberi uang sangu, sering ditengok? Hal-hal inilah yang membuat kredibilitas mereka menjadi rendah dan menerjunkan mereka dari posisi terhormat menjadi posisi pengemis hina tersembunyi (datang bukan mengawasi, membina, menyelesaikan masalah, tetapi topeng untuk mengesahkan sppd dan mengharapkan uang transpot dari si empunya rumah).
Sungguh vulga kata-kata ini, tetapi ini adalah simpulan dari kunjungan kerja dan mendapatkan masukan dari berbagai pihak tentang sosok pengawas yang mulai terkena abrasi hebat kalau tidak dapat dikatakan terkena tsunami hingga hancur lebur berantakan kinerja mereka para pengawas!
Kembalikan mereka menjadi guru atau kepala sekolah
Kita mengetahui para guru tidak berminat menjadi kepala sekolah (SD), maka kembalikan mereka para pengawas TK SD menjadi kepala sekolah dengan diberi stempel tambahan sebagai kepala sekolha koordinator yang menjembatani antara sekolah-sekolah dengan pimpinan pengambilk kebijakan. Di satu sisi tidak menurunkan wibawa mereka, di sisi lain mereka dapat mengisi lowongan kepala sekolah SD yang tidak ada peminatnya. Meskipun perlu melaksanakan permutasi kepoala sekolah untuk menempatkan para pengawas menjadi kepala sekolah inti, sehingga sisi idealisme mereka dapat dikembangkan secara langsung di sekolah dan segera dengan mudah dilakukan desiminasi ke kepala sekolah dan guru-guru sekitar.
Berdasar pengalamannya sebagai pembina (tanda petik),pengawas (yang tidak awas), problem solver (yang jarang memberi advis), tentu mereka masih memiliki idealisme untuk mengembangkan sekolah yang menjadi tanggung jawabnya di satu sisi. Sementara di sisi lain, tentu mereka memiliki harga diri agar tidak dilecehkan, karena terbiasa membina, maka mereka tentu akan mencoba menerapkan teori-teori yuang dulu mereka binakan kepada para guru dan kela sekolah!
Sementara itu, para pengawas bidang studi SLP dan SLA, jadikan mereka sebagai guru koordinator. Mengingai urgennya guru di sekolah dengan rasio guru murid yang diperkecil, maka jumlah pengawas yang sampai 60-70 pengawas setiap kabupaten, maka mereka adalah aset berharga untuk menjadi guru dengan tugas sampiran sebagai guru koordinator bidang studi. Mereka tentu akan bisa menjadi motor perkembangan pendidikan dibanding sebagai pengawas yang dilecehkan (ketika mereka berbicara dengan maksud membina, maka para guru hanya mengajaknya humor,atau mengeluarkan statemen yang bernuansa melecehkan para pengawas).
Yakinlah, bahwa para pengawas memiliki kualitas yang baik (faktanya mereka lolos tes seleksi), maka mereka memiliki potensi untuk menjadi leader, tetapi bukan sebagai leader yang dimasukkan ke dalam kotak terhormat dan dirangsang berbagai kerja administratif yang secara akademis justru menurunkan kualitas mereka...
Sebagai guru koordinator, mereka bisa mendinamisir para guru untuk berani menulis dan meneliti sebagai wahana pengembangan profersionalisme para guru. PMPTK telah menggulirkan dana yang besar kepada para pengawas untuk menempuh S2, nah bila mereka kembali meniadi guru, ia akan memiliki wibawa sebagai pendidik profesional dibanding hanya sebagai pengawas yang secara eksternal pun tidak mampu berbuat banyak dalam peningkatan kualitas pendidikan!
Indonesia memang memerlukan revolusi pendidikan, termasuk melakukan reposisi para pengawas yang secara faktual tidak kontribusi positif terhadap peningkatan kualitas. Mereka hanya mengandalkan legitimasi SK tanpa penambahakan amunisi pemicu dan pemacu peningkatan kualitas pendidikan yang menjadi tugas binaannya. Sebagai pembina profesional, kini posisi mereka sudah tidak memiliki nilai tawar, sebagai pengawas, guru sebenarnya tidak membutuhkan pengawas, yang dibutuhkan guru adalah kebebasan mengembangkan daya kreasinya.
Alasan mendasar lain adalah paradigma pendidikan telah bergeser dari “Quality Assurance” (penjaminan mutu) yang bersifat administratif top down bergeser ke “Quality Enhancement” atau peningkatan kualitas berbasis bottom up yang lebih kontekstual, faktual, dan sesuai kenyataan di lapangan!
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Analisis yang mantap. Inspiratif
terimaksih