Merawat Cinta Pasutri
Pernikahan adalah ibadah terlama dan terpanjang dalam rentang umur manusia. Diakui, memang ada pernikahan tidak lama. Tapi itu kasusistik dan fenomenologis.
Pernikahan menjadi wahana merawat cinta yang dilegalisasi Islam. Cinta ibarat tanaman, setelah ditanam perlu dirawat. Jika tidak maka rumput-rumput liar dan gulma membuat tanaman jadi kerdil bahkan mati. Begitu pula cinta. Ketika menikah secara sah, berarti pasutri sudah menanam cinta dalam naungan Ridha Ilahi dalam pernikahan. Artinya ketika pernikahan terjadi, maka amanah terbesar masing-masing pasangan adalah merawat cintanya. Agar keberkahan menjadi pencarian yang mesti diikhtiarkan. Intinya kurang lebih begitu.
Ketika pasutri merawat cinta. Berarti pasutri tidak saja merawat cinta untuk mereka berdua, tetapi secara langsung menjelaskan kepada anak-anak dan generasi tentang keteladanan pernikahan barokah. Lebih dikenal dengan pernikahan sakinah mawaddah warahmah.
Pasutri menikah tidak lantas otomatis bisa merawat cinta. Apalagi tidak ada visi, misi dalam membangun keluarga sakinah mawaddah warahmah. Hingga sulit diminimalisir kesalahan-kesalahan. Memang wajar ada kesalahan atau kekeliruan, karena pasutri juga manusia. Namun jika terus berulang, maka ada yang salah dari pasutri tersebut.
Permasalahan dalam pernikahan biasanya disebabkan kurang ilmu dan iman. Kurang skill, dan tidak mau belajar. Akibatnya muncul aneka permasalahan berkepanjangan. Bahkan sampai ke anak dan cucu. Secara psikologis semua kesalahan yang pernah disaksikan anak akan terekam di alam ketidaksadaran. Hingga tanpa disadari anak atau cucu akan mengulang kesalahan yang sama.
Kurang ilmu dan iman antara pasutri lebih banyak memicu permasalahan. Terjadi komunikasi gagal. Hubungan intim kurang bergairah. Ekonomi morat-marit. Saling menegakkan ego. Saling mencari Kambing hitam. Bahkan saling menyalahkan antara pasutri. Kadang menyerempet ke persoalan lain yang tidak ada kaitan sama sekali dengan masalah yang sedang terjadi.
Kita lihat saja fakta di lapangan. Terjadi banyak kontradiksi keadaan. Semakin maju teknologi, semakin tinggi tingkat pendidikan, dan semakin bagus secara ekonomi, idealnya makin bagus kualitas pernikahan. Namun kenyataannya justru pernikahan makin memburuk. Angka perceraian, baik cerai talak atau cerai gugat meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan pada tahun 2019, muncul setengah juta janda baru di Indonesia.
Kita mungkin banyak menyalahkan zaman. Sebab semakin hari tantangan zaman semakin kompleks. Tapi pernahkah kita rujuk hasil penelitian. Munculnya masalah pernikahan justru disebabkan oleh masalah internal. Suami istri mengalami krisis pemahaman tentang tentang hakikat pernikahan. Pasutri belum duduk pemahamamannya tentang pernikahan, bahwa pernikahan adalah ibadah.
Ketika paham hakikat pernikahan adalah ibadah, maka pasutri akan mencari semua solusi dari sumber ibadah itu sendiri. Yaitu Islam. Ibarat pepatah Minang "jikok sasek di ujung jalan kambali ka pangka jalan." (Jika sesat di ujung jalan, maka kembali ke pangkal jalan), artinya kembali ke pedoman Islam itu sendiri, yaitu al-Qur'an dan Hadits. Pemahaman ini akan membantu pasutri memncari solusi bagaimana Rasulullah menyelesaikan masalah keluarga. Punya pedoman dan arah, dan tahu persis bagaimana solusi ketika terjadi persoalan. Persoalan pernikahan adalah ujian keimanan, dan cobaan untuk menghapus dosa.
Bagi istri, ujian utama dalam pernikahan adalah melaksanakan perintah Allah untuk taat pada suami. Ujian bagi suami adalah godaan syahwat. Para suami yang shaleh, tak sedikit yang menjalin interaksi mesra dengan wanita-wanita yang bukan istrinya, alias selingkuh. Selingkuh bukan disebabkan oleh pendidikan dan ketidakmampuan pasangan menolak godaan. Melainkan disebabkan oleh kurangnya iman dan ilmu pasutri tentang hakikat pernikahan. Sehingga menyelesaikan masalah dengan emosi. Bukan pakai iman dan ilmu.
Belum lagi tantangan hidup secara eksternal keluarga. Adanya penetrasi budaya asing ke dalam keluarga-keluarga kita. Misalnya budaya Barat yang cenderung kapitalistik materialistik bahkan hedonistik. Hingga tanpa sadar menyeret pasutri pada perasaan negatif. Merasa pernikahan kurang membahagiakan. Standar hidup materialistik membuat pasutri merasa hidup dan pernikahanya kurang bahagia. Suami stress memenuhi keinginan istri karena standar hidup istrinya, tetangga sebelah. Sedangkan istri merasa tidak bahagia dengan penghasilan suami yang pas-pasan, hanya cukup untuk makan. Sehingga tidak bisa membeli apa yang dibeli tetangga.
(Bersambung)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar