Aku begitu bahagia sebagaimana yang dirasakan umat muslim sedunia. Hari kemenangan telah di depan mata. Berharap kami sekeluarga dan seluruh muslim sedunia memperoleh kemenangan dengan bersuka ria dan menemui Ramadhan di tahun berikutnya. 

Malam seribu bulan pun diraih dengan penuh keluh kesah yang beradu dengan harap membara.

       Pandemi melululantahkan segalanya? Ach, Ini hanya olah pikir manusia. Atau memang nyata adanya. Parasut benakku melayang, luruh air mata tak tertahan. Beronggok pertanyaan, dendam, penyesalan, menertawakan, meronta-ronta memenuhi awan suara hatiku. Tepat di malam 25 Ramadhan, kudengar masa kelammu mendekapmu. Kau diusir dari kontrakanmu karena tak pernah sepersen pun kaulunasi biaya kontraknya.  Masa pandemi yang kau salahkan? Aku mohon jangan lakukan! Semua ini bukan salah pandemi. Semua yang terjadi karena goresan kelam yang sering kau tayangkan saat kau mengalami hingar bingar kebahagiaan. Dan…, maaf jika aku terlalu mendiskriminasikan atau berlagak sok menjadi ustaza pilihan. Maaf. Karena semua yang kau alami karena seluruh langkah kata yang kau lontar dengan penuh kepongahan di masa sikam. Dan hal itu juga pernah kau lakukan padaku saat ku masih gelimpungan. 

Aku mohon, tetaplah bertahan demi sebuah kehidupan. Jangan menyalahkan pandemi atau keadaan. Berusahalah memperbaiki sebuah kesalahan karena langkah nafsu yang tak bisa kau kendalikan. Maafkanlah aku jika aku tak bisa memberikan bantuan.