Oleh: Tantrileo

#Tagur ke-349 (365)

Salman tidak pernah ingin menjadi seperti dirinya saat ini. Ia ingin melanjutkan kuliah ke jurusan teknik mesin dan membuktikan bila ia mampu menangani alat-alat otomotif. Namun, kedua orang tuanya lebih mengarahkan dirinya sama seperti mereka–menjadi seorang penulis maupun narasumber yang menggeluti dunia pendidikan atau praktisi pendidikan yang bisa memberikan banyak ilmu kepada orang lain.

Mama yang menjadi seorang tenaga pendidik di salah satu perguruan tinggi ternama di kota Surabaya sedangkan papa yang sudah melanglang buana di dunia jurnalis, penyair, sekaligus penulis yang telah banyak menerbitkan banyak buku fiksi best seller bahkan ada beberapa novel papa yang diangkat ke layar lebar untuk dinikmati.

Di sudut ruangan tempatku bekerja, kulihat foto-foto yang berjejer rapi pada dinding ruangan yang berwarna biru. Teringat salah satu foto, saat kami berlarian riang di pinggir pantai. Kala itu, usiaku masih 4 tahun. Tidak banyak hal yang kuingat, yang kutahu setelah itu semuanya panik. Petugas pantai berusaha menolong. Mama nangis tiada henti, papa pun tidak kuasa menahan diri memeluk erat tubuh kecil yang tidak berbeda dariku. pengunjung yang datang mengerumuni kami. Tubuh itu lemas tak berdaya. Langsung dilarikan dengan mobil putih dengan suara sirine saat itu. Dan, itulah kali terakhir aku melihat tubuh itu anak kecil – kakak kembarku yang selisih dua menit dariku.

“Aku tidak pernah ingin menjadi seperti mama dan papa. Aku benar-benar tidak ingin menjadi seperti diriku saat ini. Sebab, kesuksesan yang kuraih kerap dianggap ndompleng nama besar papa dan mama. Aku hanya anak yang tidak dapat berdiri di atas kakiku sendiri. Padahal tahu kah kau, Di? Untuk bisa menjadi seperti ini, aku berjuang dan banyak hal yang kukorbankan. Termasuk mematikan cita-citaku sejak kecil – sebagai seorang teknisi.”