Tantrie Leonita

Tantrie Leonita, S.S., M.Li lahir dan dibesarkan di kota tercinta Ibukota DKI Jakarta. Terdampar di Jember merupakan salah satu wujud nyata kecintaann...

Selengkapnya
Navigasi Web

Racauan Malam Itu (2)

Oleh: Tantrileo

#Tagur ke-345 (365)

….

“Terima kasih ya, Nis. Ini sudah yang kedua kali sandal jepitku raib entah kemana. Aku sendiri ndak paham mengapa sandal-sandal jepit di bagian sisi blok kita saja yang kehilangan? Tetapi blok lainnya tidak?” Naura terus mengoceh sambil menganalisis berbagai kemungkinan.

“Itu tandanya si pencuri memang mengidolakan santri-santri muslimah di blok bagian kita mungkin, hehe..,” ujar Naura meledek sembari tertawa.

“Ah, kamu itu bisa aja mencairkan suasana, Nau.” Dewinta menimpali meski tidak ikut rapat santri dan pengurus.

Semakin hari sandal jepit milik santri-santri di bangsal Edelweis bertambah yang kehilangan. Santri pun mulai resah. Akhirnya mereka berdiskusi untuk mencari cara agar secepatnya mengetahui pencurinya. Santri muslimah pun sepakat untuk memperketat jadwal piket malam hari. Selain demi keamanan untuk jangka waktu yang panjang, pun menghilangkan rasa penasaran mereka yang membuat resah. Para santri bersepakat membagi tugas piket jaga di malam hari di area dalam bangsal Edelweis.

Malam pertama di ponpes putri bangsal Edelweis, petugas piket bersiap siaga untuk berjaga hingga subuh tiba. Piket pertama mulai pukul 20.30 sampai 01.30 malam kemudian piket kedua pukul 01.30 s.d. 04.30 WIB. Hari pertama tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Begitu halnya dengan hari ke-2, hari ke-3, hingga memasuki hari ke-8. Tampak suasana aman dan tidak ada peristiwa kehilangan sandal jepit seperti sebelumnya. Petugas piket pun mulai lelah dan ingin segera menghentikan tugas piket yang mereka agendakan bersama. Terlebih beberapa tugas pribadi dan agenda yang telah terjadwal pun akhirnya terbengkalai karena tertunda dengan fokus pada permasalahan sandal jepit ini.

Tepat di hari ke-9 piket tetap berjalan. Ais, Izza, dan Naya kebagian piket di shift kedua bertugas. Kebetulan mereka bertiga memang bersahabat sejak masuk di pondok pesantren putri ini. Meski tidak memiliki kemiripan pada wajah secara autentik tetapi sebagian besar sifat mereka nyaris sama. Salah satu kesamaannya, sama-sama memiliki sifat penakut dan mudah panik. Wah, bisa dibayangkan, ya, kalau mereka piket dan ada sesuatu yang mencurigakan nantinya, hihihi…

Semula mereka berkumpul di ruang tunggu bangsal Edelweis, sambil sesekali berkeliling di daerah sekitar bangsal. Setelah itu pindah ke tempat lainnya, yang mana titik-titik yang sudah ditentukan sesuai dengan kesepakatan bersama. Tidak terasa dua jam berlalu, bersyukurnya tidak ada terjadi sesuatu. Ais sudah menguap berkali-kali hingga mengeluarkan airmata–bahkan sempat beberapa kali kesirep sembari duduk di samping teman-temannya.

Izza dan Naya berulang kali menggoda ulah sahabatnya itu, karena sebenarnya kedua nya pun sangat mengantuk. Namun, mereka berusaha menahan rasa kantuk itu dengan saling setoran doa dan juzz Al-quran. Selain itu, mereka juga menyiapkan papan catur dan monopoli untuk menemani heningnya temaram malam dengan menusuknya ricauan angin yang kian merejang.

Di saat mereka asyik dengan papan caturnya, tiba-tiba di pojokan kamar mandi terdengar suara yang mengagetkan.

“Brak!”

Spontan keduanya terperenjat dan saling berpelukan erat sembari membisikkan sesuatu di telinga sahabatnya, “kamu dengar suara itukan, Nay?” tanya Izza bergidik kencang, “Iy, iy, iya, aku mendengarnya, hii, apa kita harus melihatnya?” pekik Naya.

Keduanya menggelengkan kepala kencang. Kembali berpelukan erat sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan mereka.

Tanpa mereka sadari, Ais terbangun pula mendengar suara kencang yang terdengar dari arah pojok kamar mandi. Meski semula ketakutan tetapi melihat tingkah kedua temannya, gelak tawanya justru tidak bisa ditahan. Seolah lupa bila dirinya pun sama-sama penakut persis seperti kedua sahabatnya itu.

“Za, Nay, ayo kita lihat sama-sama suara apa yang kita dengar tadi?” ucapnya perlahan.

Kaget mendengar suara Ais yang ternyata sudah terbangun, Izza dan Naya pun langsung melepas pelukan mereka.

“Aku dan Nay sungguh kaget dengan suara kencang tadi, Ais. Kita berdua ketakutan!” Ucap Izza.

“Iya, aku pun takut. Tapi kita semua harus ke sana sekarang untuk memastikan suara apa itu.”

Mereka bertiga saling memandang seolah menguatkan diri untuk memberanikan beranjak ke tempat yang dituju.

Bismillahirrahmannirrahiim, ayo kita lihat,” ujar Naya sambil berdiri mengajak temannya.

“Tunggu, kita harus bawa sesuatu yang bisa melindungi kita,” Ais bergerak cepat mengambil sapu ijuk dan batu yang cukup besar. Dengan ragu-ragu mereka melangkahkan kaki ke arah suara yang mengagetkan mereka bertiga. Santri lainnya, tidak ada tanda-tanda keluar kamar, mungkin mereka terlelap dengan heningnya malam dan dinginnya angin kencang disertai rintikan hujan.

Kaki mereka semakin pelan ketika mendekati pojokan kamar mandi yang dimaksud. Kamar mandi yang terletak di posisi paling pojok dekat tempat berjemur ini memang jarang bahkan tidak pernah digunakan oleh para santri, karena air kerannya sering macet.

Naya sempat berhenti dan menarik lengan Ais, sembari menggelengkan kepala memberi kode tidak perlu melanjutkan niat mereka memastikan arah suara tadi. Padahal, jarak mereka kurang tiga meter lagi menuju pojokan yang dimaksud. Ais dan Izza mengelus lembut punggung Naya agar tetap tenang dan menuntaskan tugas mereka.

“Kresek, sek, kresek.”

Naya yang mendengar itu langsung berjongkok dan ketakutan tidak mau melanjutkan langkahnya.

Akhirnya, Izza dan Ais membiarkan Naya, mereka berdua tetap mendekati suara itu. Tampak mulut keduanya komat kamit dengan bacaan ayat Alquran dan zikir yang mereka ingat saat itu. Ketika kurang selangkah, keduanya mendongakkan kepala melihat sesuatu di balik gundukan batu-batu yang berjejer rapi di sana. Tak percaya dengan yang dilihatnya, mereka berulang kali mengucek mata mereka yang sebenarnya tidak terasa gatal. Tak disengaja, Izza berteriak cukup kencang, “Argh!”

Lalu keduanya tertawa sambil berlompat kegirangan sambil mengucapkan, “Alhamdulillah, Alhamdulillah, syukron ya rabb!”

Beberapa santri yang kamarnya tidak jauh dari letak ketiga sahabat itu, mendengar teriakan dan tawa mereka membuat santri-santri tersebut penasaran dan ingin mengetahui yang terjadi.

Sesampainya di sana pun, mereka ikut tertawa. Mereka merasa lega akhirnya mengetahui misteri hilangnya sandal jepit di bangsal Edelweis selama ini. Ternyata, sandal jepit santri-santri yang hilang itu pencurinya ialah ayam betina kesayangan putri kiai – pemilik pondok pesantren yang terbesar di kota Anjani ini. Sebelum peristiwa hilangnya beberapa sandal jepit, berita kehilangan ayam betina kiai sudah tersebar di seluruh pondok pesantren putra dan putri. Namun, memang belum ditemukan hingga saat ini. Ternyata ayam betina itu tersasar dan bingung arah pulang, sehingga mengambil sandal jepit dikumpulkan di pojokan kamar mandi untuk menjadi gundukan tempatnya beristirahat.

TAMAT

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post