Tanty Wahyuni

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Yatim Piatu

 

Jujur...ini bukan tulisan saya. Cerpen ini dibuat oleh seorang siswa SMP yang mendapatkan tugas membuat cerpen.

Ceritanya sudah ditentukan yaitu seorang anak yatim.piatu yang berjiea pantang menyerah. Dan suatu saat adiknya memintanya untuk diberikan hadiah ulang tahun.

Berikut cerpennya.Selamat membaca!

Jangan Menyerah

Hidup di salah satu kota besar cukuplah sulit bagiku. Terlebih lagi adikku sedang sakit-sakitan sekarang. Sudah cukup ayah dan ibu meninggal dalam kejadian yang sama -- aku tidak mau membahasnya, terlalu menyakitkan untukku. Sebenarnya bisa saja aku dan adikku tinggal bersama bibi, tapi kenangan di rumah ayah dan ibu terlalu banyak.

 Ayahku dulunya seorang dosen di salah satu universitas swasta, sementara ibuku membuka toko roti di halaman rumah kami. Penghasilan mereka berdua bisa dibilang lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga ini.

 Bisa saja aku memanfaatkan warisan ayah dan ibuku, namun aku tahu suatu saat harta warisan itu akan habis. Lagipula jika memanfaatkan bagian harta warisanku saja pasti akan habis, memakai harta warisan adikku juga bukan hakku.

 Enam bulan setelah kepergian kedua orang tuaku, kondisi adikku semakin memburuk. Sickle cell disease -- Anemia sel sabit -- yang ada di dalam dirinya membuatnya keluar-masuk rumah sakit untuk mengonsumsi obat secara teratur. Paman yang mengantar adikku berobat mengatakan jika umurnya cukup ia akan menjalani operasi transplasi sumsum tulang belakang.

 Hal itu membuat paman membeli mobil ayah untuk menambah uang perawatan adikku. Aku juga sempat beberapa kali berpikir untuk meneruskan usaha ibuku. Tapi berbagai macam kesibukan di sekolah mengekangku. Apalagi dengan jabatanku sebagai sekretaris dalam organisasi Islam di sekolah.

 "Cuy," seseorang menepuk kencang punggungku, "assalamualaikum. 'Pakabar nih?"

 Aku hanya tersenyum dengan kelakuan temanku ini. "Waalaikumussalam, laper nih, mau jajanin ane ga 'Syah?"

 "Apa nih? Alhamdulillah mumpung ane dapet uang lebih nih, hehe," jawab temanku itu seraya cengengesan. Aisyah, ketua keputrian Rohis. Aku mengenalnya ketika diriku mulai aktif di organisasi ini sekitar kelas delapan awal. Mungkin pada awalnya aku mengira Aisyah adalah anak yang kalem, namun rupanya aku salah besar. Aisyah itu.. Yah, begini lah adanya. Justru ia terlalu aktif dan begitu jahil. Sampai-sampai aku bertanya-tanya mengapa aku bisa tahan dengannya.

 "Gorengan boleh."

 "Sip, sip!"

 Aisyah menggandengku menuju tempat penjual gorengan. Kelihatannya ia justru membeli bakwan kesukaannya lengkap dengan sambal kacang. Selanjutnya ia memesan tahu isi di platik bening yang lain. Ia menyerahkan gorengan tahu isi kepadaku.

 "Syukron 'Syah," ucapku seraya menerima bungkusan tahu isi itu.

 Aisyah mengangguk menjawabnya. "Yok, afwan."

 Kami berdua melangkah menuju kursi terdekat untuk menghabiskan gorengan sambil sesekali berlontar cerita.

 "Mau sholat dhuha 'ga?" tanyanya dengan mulut penuh dengan gorengan.

 Aku mengangguk menyetujui seraya menelan kunyahan terakhir tahu isiku.

 Kami berpindah tempat lagi menuju masjid sekolah. Kuletakkan sepatuku dengan rapi -- sementara Aisyah hanya perlu melemparkan sepatunya sembarangan -- di rak sepatu. Kami berdua mulai melepas kaus kaki dan memasuki tempat wudhu. Kugulung kemeja putihku dan menyalakan keran air. Aku mulai mencuci tanganku seraya mengucapkan niat wudhu. Air wudhu yang dingin namun menenangkan itu mulai membasahi bagian tubuhku.

 Kuhabiskan satu menit untuk wudhu. Berharap wudhuku itu sempurna. Wudhu memang selalu menenangkan hati di kala perasaan gundah gulana ini datang. Aku melafalkan doa sesudah wudhu. Kuturunkan lengan kemejaku. Ketika aku sedang menikmati udara sejuk tempat wudhu yang sepi ini, Aisyah tiba-tiba menarik lenganku dengan paksa dan membawaku ke lantai dua masjid sekolah. Sekali lagi, aku hanya bisa tersenyum dengan tabiat temanku yang satu ini.

 Masjid sekolah memang terbagi menjadi dua lantai, lantai pertama untuk ikhwan, dan lantai kedua untuk akhwat. Marbot masjid kami juga sangat pengertian, beliau hanya akan menaiki ke lantai dua pagi-pagi sekali dan sore harinya saat sekolah akan tutup.

 Sesampainya kami berdua di lantai atas, Aisyah langsung melepas cengkeraman tangannya dan berlari menghambur untuk mengambil rok mukena. Kurasa Aisyah tidak perlu mengenakan atasan mukena itu, karena khimar Aisyah sendiri juga panjang. Pada awalnya aku menyangka Aisyah salafi, namun kurasa tidak, ia sering membahas politik negeri ini denganku. Dia selalu membahas hal itu dengan berapi-api. Katanya, ia sangat membenci pemerintahan sekarang. Tak jarang juga ia mengatakan pemimpin sekarang adalah pemimpin yang lalim. Namun pada akhirnya, ketika ia mulai memaki-maki aku akan berusaha menenangkannya. Yah, kita tidak bisa langsung mengatakan hal itu kalau kita belum mengetahuinya kan? Lagi pula kita tidak bisa berprasangka buruk seperti itu.

 Aku mengambil satu set mukena dari lemari. Kukenakan mukena itu dan berjalan mendekati Aisyah. Ia sudah sholat duluan, dasar.

 Aku mengucapkan niat. Aku memulai takbiratul ikhram, memulai sholat dhuha. Berusaha khusyuk di tengah gundah gulana ini.

 "Masya allah, Fai, ente kenapa?" tanya Aisyah seraya mengusap punggungku dengan lembut. "Faiha, ada apa, Fai?"

 Sebelumnya, ketika aku selesai berdoa air mataku mengalir deras bagaikan air terjun. Lantas hatiku yang dipenuhi kesesakan seakan memintaku untuk meluapkan emosinya. Aku yang bingung harus berbuat apa langsung meyambar bahu lebar Aisyah.

 Aku menggeleng tegas.

 Aisyah masih mengusap punggungku. "Istighfar, Fai, istighfar."

 Aku mengangguk dan mulai beristighfar sambil sesegukan. Ketika kurasakan hatiku yang mulai tenang aku mengangkat wajahku.

 "Udah?" tanyanya dengan nada yang membuatku kesal. Itulah Aisyah, bisa saja membuatku tertawa.

 Aku mengangguk seraya tertawa. Aku mengembuskan napasku kuat-kuat, bersiap untuk bercerita.

 "Jadi gini, Syah. Ente tau kan penyakit adik ane?"

 Aisyah mengangguk. Ia sudah serIng menemaniku ke rumah sakit menjenguk adikku.

 "Penyakitnya semakin menjadi, Syah!" raungku tak tahan. "Ane ga tau harus ngapain, Syah! Ane pusing, ane pusing! Obat ga mempan, terapi ga mempan. Uang operasi mahal, Syah! Mahal!"

 "Faiha, istighfar!" teriak Aisyah pada akhirnya setelah diam membeku. Kemudian pandangan matanya melunak, Aisyah yang semula seolah tak sabar dengan perubahan emosiku kini telah mengontrol dirinya sendiri, bahkan diriku. "Istighfar."

 Aku mengangguk dan kembali beristighfar.

 "Jangan menyerah, jangan menyerah." Sial, anak ini justru melantunkan nada lagu Jangan Menyerah milik D'Masiv.

 Masih dalam pelukannya, aku menepuk bahunya pelan. "Masjid, jangan nyanyi," kemudian aku tertawa.

 Aisyah mendorong bahuku. Lalu tiba-tiba saja ia menamparku pipiku kencang, membuat diriku berteriak tertahan. "Woah," ujarnya terpukau, "biasanya yang kutampar begitu langsung kesakitan, lho. Seperti yang kutahu, Faiha orang yang kuat. Terima tamparan aja kuat, apalagi nanggung beban hidup, hehe."

 Aku tersenyum getir atas kelakuannya seraya mengusap pipiku yang memerah karena tamparannya.

 "Tau ga sih, kan depan rumah ente ada toko roti tu. Kenapa ga coba lanjut jualan aja?" tanyanya.

 Aku sudah memikirkan itu dari zaman baheula.

 "Tapi ane ga sanggup lanjutin, Syah."

 "Pasti sanggup kok. Ente tuh masih lebih beruntung dari pada anak-anak yang ga seberuntung ente," interupsinya berbelit, "tuh kan, belibet. Ya intinya ente pasti sanggup, Fai. Kalo ga kan masih ada ane." Kemudian dia memasang mata yang berbinar-binar ditambahkan dengan kedua tangannya yang memegang pipinya.

 Aku menampar pipinya. "Geli."

 Kami berdua kembali dari masjid. Kelas kami terpisah.

 Aku melemparkan bokongku pada kursi kayu yang keras ini. Kuletakkan kepalaku pada meja. Mungkin aku memang harus meneruskan usaha ibuku. Sore nanti sepulang sekolah aku harus mengumpulkan uang untuk membeli bahan-bahan. Aku sudah terbiasa membuat roti sendiri karena ibu mengajariku dari kecil, jadi aku hanya perlu membeli bahan yang tepat. Menjual roti-roti buatanku di sekolah sambil berkeliling mungkin hal yang tepat, karena aku akan pulang dari sekolah pada sore hari, tentunya aku tidak bisa menjual rotiku di rumah.

 "Assalamualaikum," salamku ketika sampai di rumah sepulang sekolahnya. Aku mengetuk pintu rumah tak sabar. "Fatih, tolong buka pintunya. Assalamualaikum!"

 Aneh, tidak biasanya adikku tidak menjawab slalamku.

 "Fatih? Assalamualaikum!" teriakku gemas.

 Kukeluarkan kunci rumah yang selama tiga bulan bersarang di saku tasku di bagian terdalam. Ku masukkan kunci itu ke lubang kunci di pintu lalu kuputar. Aku membuka pintu dengan mendobraknya karena tak sabar.  

 "Fatih, kamu kok ga jawab salamnya Kakak, sih?" tanyaku seraya mencari-cari keberadaan tombol lampu yang terpasang di samping pintu.

 Jam 5 sore. Hari itu mendung.

 Hari semakin gelap. Guyuran hujan membsahi pekarangan rumahku. Petir menyambar dengan ganas. Kutemukan adikku di sofa ruang tamu dengan keadaan mengerikan. Ia tak sadarkan diri. Kulitnya kekuningan dengan mata tertutup rapat. Aku berlari menghambur memeriksa keadaan adikku. Ujung kaki dan tangannya membengkak tak wajar. Suhu tubuhnya meningkat drastis bahkan hingga menembus seragam sekolahnya.

 Aku menepuk-nepuk wajahnya dalam rangka membangunkannya walaupun kutahu hasilnya nihil. Lantas aku merogoh ponsel murahan dari dalam sakuku dan menekan nomor telepon pamanku.

 Aku bicara tak karuan saat itu. Napasku terengah layaknya terkena penyakit asma. Keringatku mengucur deras layaknya hujan di luar. Degupan jantungku mengalahkan suara petir yang memekakkan telinga.

 Aku menangis saat itu, mengharapkan adanya pertolongan.

 Aku menangis saat itu, seraya mengucap takbir.

 Aku menangis saat itu, saat tubuh adikku diperiksa di ruang UGD.

 Aku dibiarkan menunggu di luar. Aku tidak tega melihatnya. Hingga pada akhirnya paman memutuskan agar Fatih diinapkan. Aku menyetujuinya. Aku tidak bisa menjaganya selama aku sekolah. Setidaknya dengan ini adikku bisa mendapat perawatan yang lebih baik.

 Tiga jam setelahnya, Fatih membuka matanya. Tatapannya nanar. Tubuhnya sungguh ringkih. Bahkan ketika ia mengangkat tangannya untuk menyambut pelukanku, ia kesulitan untuk melakukannya. Sudah cukup aku merasakan penderitaan ini.

 Aku keluar bangsal inap adikku. Paman menemui saat aku mencari makanan di kantin rumah sakit itu. Kemudian ia membelikanku secangkir teh hangat dan seporsi roti croissant keju.

 "Gimana sekolahmu, Faiha?" tanyanya membuka percakapan.

 Aku mengangguk. "Alhamdulillah lancar, Paman."

 "Ada kebutuhan yang perlu Paman..,"

 Aku memotong, "aku sudah bilang, Paman ga perlu repot-repot. Faiha juga masih lebih dari cukup, kok. Lagi pula kalaupun kurang Faiha tinggal tanya Fatih mengenai hak hartanya."

 "Tapi Paman boleh to the point, ga?" tanyanya tiba-tiba.

 Aku mengangkat wajahku.

 "Jadi gini, Fai," bukanya dengan gelisah. "Sudah enam bulan Fatih bolak-balik rumah sakit, bolak-balik minum obat. Paman saranin agar Fatih jalanin operasi."

 "Transplantasi sumsum tulang belakang itu?" tanyaku memotong.

 Paman mengangguk.

 "Memangnya usia Fatih cukup?" tanyaku.

 "Beberapa bulan lagi umur Fatih delapan tahun, bukan? Usianya lebih dari cukup." Jawabnya. "Tapi kamu tahu biaya operasinya, Fai?"

 Aku menggeleng. "Memang berapa sih? Dua juta? Tiga juta? Insya allah kalau segitu masih ada, Paman." Tanyaku polos.

 Aku benar-benar polos saat itu.

 Paman tertawa getir. "Kurang lebih 1,5 miliyar, Fai."

 "Hah?" responku kaku.

 Hari itu masih hujan. Badai. Petir menyambar lagi membuat seluruh manusia di kantIn rumah sakit terlunjak terkejut. Tapi tidak untukku. Aku sudah terlalu kaget untuk mendengar angka itu. Dari mana uang itu bisa kudapatkan?

 Aku menggeleng frustasi. "Uangnya dari mana?"

 "Paman usahakan bantu, kok," jawabnya seraya menepuk pundakku.

 Aku mengangguk lemas. Aku butuh bantuan. "Terimakasih, Paman."

 Keesokan paginya aku memutuskan untuk izin masuk sekolah. Aku kembali dari rumah ke rumah sakit untuk membawa pakaian. Aku juga akan menginap di sini beberapa hari ke depan. Aku sudah terbiasa dengan keadaan ini. Sangat sudah terbiasa. Sanak saudara datang menjenguk. Nenek dari ayah menemaniku menginap.

 Paman yang kemarin mangantar memintaku untuk bicara dengannya di luar ruang rawat adikku.

 "100 juta sudah terkumpul, Fai," bukanya to the point. "Lewat penggalangan dana jadi lebih cepat. Paman juga sedang berusaha share ke media sosial."

 Aku mengangguk. "Alhamdulillah." Itu pasti uang Paman sendiri.

 "Paman akan bayar cicilannya mulai sekarang. Kamu ga perlu pikirkan ini. Masalah ini biar keluarga besar kita yang mengurusnya. Ini masih amanah kita semua. Kamu fokus sekolah saja, SMP itu singkat."

 Aku kembali mengangguk. "Terimakasih."

 "Ini, Fai!" Aisyah menyerahkan sebungkus amplop lebar nan tebal minggu depannya. "Ini uang yang teman-teman kumpulin buat adek ente, Fai. Mungkin ga seberapa sih, tapi tolong diterima ya."

 Aku menerimanya dengan ragu. "Dari mana kalian tahu?"

 "Ayolah, media sosial itu luas."

 Aku mengangguk. "Terimakasih."

 Lima bulan setelah mengumpulkan sumbangan dari mana-mana, bahkan sampai ke lembaga kemanusiaan, uang yang dikumpulkan akhirnya cukup untuk melakukan operasi. Operasi sumsum tulang belakang itu akan dilaksanakan dua minggu mendatang.

 Semua uang warisan sudah digunakan untuk menambah biaya operasi. Aku bertahan hidup dari sisa uang tersebut, kujadikan modal usaha melanjutkan toko roti ibuku untuk menghidupiku. Bisa saja aku meminta uang ke kerabatku, namun aku tidak mau merepotkan mereka.

 Aku melangkahkan kakiku ke dalam ruang perawatan adikku. Kondisinya tidak lebih baik darI sebelumnya. Aku duduk di tepi pembaringan adikku.

 "Doakan Fatih, kak."

 Aku mengangguk seraya mengusap punggung tangannya.

 "Oiya, kak."

 "Ada apa?"

 Ia menatapku dengan tatapan matanya yang nanar, lantas tersenyum malu. "Tepat setelah operasi itu ulang tahunnya Fatih kan? Fatih tahu kalau keluarga kita memang ga pernah merayakan ulang tahun. Tapi setidaknya, ibu pernah buatin Fatih kue bolu. Fatih kepingin sekali merasakan bolu itu lagi. Fatih tahu kakak bisa masak kue yang enak, karena kue bolu yang ibu buat saat itu ada campur tangan kakak juga."

 Aku tersenyum. "Jadi Fatih mau kakak buatin kue bolu?"

 "Iya!" jawabnya penuh semangat.

 "Insya allah kakak buatkan," ucapku. "Tapi Fatih harus janji sama kakak."

 Sial, air mataku mengalir tidak karuan. Napasku terus menderu.

 "Fatih harus janji, Fatih harus janji Fatih kuat buat operasi nanti," kataku sesegukan, "soalnya semua orang juga mau Fatih sembuh. Jadi Fatih harus kuat."

 "Kakak," panggilnya seraya mengusap air mataku yang berlinang dengan tangannya yang dipasang selang infus, "kakak ga perlu nangis. Fatih pasti kuat kok, Fatih pasti kuat. Kakak makanya harus doain Fatih. Fatih juga mau sembuh."

 Aku mengangguk kemudian menurunkan tangannya dari wajahku. "Fatih janji, ya?"

 "Insya allah, kak. Omong-omong kue bolunya kutunggu ya kak."

 Aku tertawa getir. "Ya."

 Satu minggu berjalan dengan begitu cepat. Aku meminta bantuan Aisyah untuk mencari bahan-bahan kue bolu yang tepat. Setelah bereksperimen kurang lebih dua hari, akhirnya aku dapat membuat rasa kue bolu yang mirip dengan yang ibu buat saat itu.

 Waktu terus berjalan cepat hingga hari operasi Fatih pun tiba.

 "Janji ya kak, kue bolunya!"

 Aku mengangguk. "Tapi kamu harus recovery dulu sebelum makan kuenya."

 "Pasti rikafe -- apalah itu, pasti cepat kok! Fatih kan kuat."

 Aku kembali mengangguk.

 "Kak," Fatih tersenyum kepadaku, "Fatih sayaaaang bangeeet sama kakak."

 Aku mengacak rambutnya seraya tertawa. "Kakak juga."

 Fatih akhirnya masuk ke dalam ruang operasi. Semua kerabatku hadir di sini menyemangati. Aku meluruskan kakiku di ruang tunggu kemudian melirik jam arloji di tanganku. Aku menghela napasku dan mulai menunduk, berdoa yang terbaik untuknya. Semoga Allah memudahkan operasinya, agar Fatih bisa kembali ke aktivitas normalnya.

 Istri paman meraih kepalaku dan menyediakan pundaknya. Aku memejamkan mataku. Akankah berjalan lancar? Ataukah justru gagal? Apa yang akan kulakukan jika operasi itu gagal? Akankah aku menyalahkan seseorang? Atau justru menyalahkan diriku sendiri?

 Semua pertanyaan itu akhirnya terjawab. Ketika dokter bedah itu memberikan pernyataan atas hasil operasi adikku, ia mengatakan maaf untuk membuka kalimatnya. "Kami sudah berusaha keras," kata-kata itu terucap dari bibirnya.

 "Kau hanya perlu mengatakan bahwa oerasinya gagal," bisikku menahan geram.

 Kurasa dokter itu mendengarku, karena ia tersenyum dan berbicara langsung denganku, "qodarullah, ya. Mungkin ini jalan terbaik dariNya."

 Aku mengangguk. Yah, lagi pula tidak ada yang bisa menjamin operasi itu akan berhasil.

 Aku membungkuk dalam kepada dokter itu. "Terimakasih atas kerja kerasnya."

 Air mataku mengalir deras saat itu. Napasku satu-dua. Meskipun aku sudah memersiapkan diriku dari segala kemungkinan buruk, tetap saja aku tidak siap akan hal ini.

 Ia melanggar janji kita. Adikku itu melanggar janji. Mulai dari sekarang aku harus belajar mengikhlaskan. Aku juga akan mengikhlaskan janji itu. Dan juga adikku. Segala usaha kerasku yang terkesan sia-sia. Tidak, tidak ada hal yang sia-sia. Aku yakin ini jalan terbaik dari Allah, aku yakin sekali.

 Mungkin aku harus lebih kuat. Atau saja aku yang terlalu sombong dan yakin adikku bisa sembuh. Seharusnya aku tidak bersikap seperti itu.

 Keeseokan harinya adikku dikebumikan. Aku tidak masuk ke sekolah untuk kesekian kalinya. Seluruh kerabat datang, tidak hanya saudara dan orangtua ayah dan ibu, namun seluruh keluarga besarku datang. Teman-teman juga, mereka datang selepas dzuhur, sebagian dari mereka ikut men-sholati adikku.

 Aisyah menepuk punggungku kencang saat kami semua kembali dari pemakaman. Aku hanya bisa tersenyum dengan tabiat temanku yang satu ini. Sebuah senyum mengerikan menghiasi wajahku. Aku hanya bisa berkata dengan nada lirih yang kupaksakan bercanda, "sakit woy. Tapi makasih."

 Kue bolu yang kusiapkan sehari sebelum operasi Fatih, kini akan kubagikan untuk para tamu saja. Kurasa Fatih juga tidak akan keberatan.

 Aisyah Nahra Fahira

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

   

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerita yang luar biasa, bikin saya nangis, luar biasa

30 Nov
Balas

Terimakasih pak

01 Dec

Wowwww cerita dahsyat bun. Mengaduk aduk rasaku. Betulkah ini tulisam siswi bunda, luar biasa bund. Salam utk sang penulis hebat itu yah bund. Sukses selalu dan barakallah

30 Nov
Balas

Betul bu itu tulisan siswi saya.Terimakasih atas doanya.Insyaallah akan saya sampaikan salamnya.

01 Dec



search

New Post