Taromar Siregar,S.Pd

Guru di Salah satu Sekolah Dasar di Lingkungan Pemerintahan Kota Padangsidempuan...

Selengkapnya
Navigasi Web
'Umi' kaulah Wanita Terhebatku

'Umi' kaulah Wanita Terhebatku

Umi berubah, benar-benar berubah. Umi semakin pendiam dan lebih banyak menyendiri. Ia jarang sekali memelukku. Ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan merenung, tak lagi seceria dulu. Umi tidak pernah lagi menceritakan dongeng sebelum tidur kepada kami. Masakannya tak lagi seenak dulu, pun tak pandai lagi meredakan tangisku. Pernah aku berpura-pura merengek, tapi umi bergeming. Tatapannya kosong menatap ke arah pintu. Pernah juga aku bertengkar dengan Kakak, karena berebut gelas minum dan gelasnya pecah.

Kami diam mematung, mengira Ibu akan memarahi kami. Namun, ternyata Umi hanya menunduk mengumpulkan pecahan beling tanpa satu kata pun keluar dari mulutnya. Umi tak pernah lagi mengajakku pergi bersamanya. Menjelang sore, Ibu akan pergi entah kemana dan melarangku mengikutinya. Para tetangga pun merasa heran dengan sikap Ibu yang berubah

seketika. Umi tidak sakit, ia tetap bekerja seperti biasa, hanya sikapnyalah yang berubah. Umi memang pandai menyembunyikan kesedihannya, tapi aku bisa merasakan itu. Aku bisa melihat itu di mata Ibu, matanya menyimpan sebuah rahasia yang tak boleh kami ketahui.

Dari kabar yang tak sengaja kudengar, Abi

telah menikah lagi di kota. Tentu saja tanpa

sepengetahuan apalagi persetujuan Umi. Abi memilih wanita yang mungkin lebih menarik dari umi, yang telah melahirkan Empat orang putri dan tiga orang putra dari rahimnya. Ah, Umiku! Bagaimana mungkin kau menyembunyikan hal sebesar ini dari kami?

Mungkin Abi telah bahagia dengan keluarga barunya sampai lupa arah pulang. Mungkin Abi terlalu bahagia sampai lupa bahwa Umi setiap hari menatap ke arah pintu,

dengan penuh harapan Abi akan datang. mungkin Abi telah melalui hari-hari yang bahagia dengan istri barunya, tapi Umiku? Ia selalu gelisah dalam tidurnya, berharap akan ada kabar bahagia. Umi melalui hari-

hari yang sulit. Apalagi setelah kehilangan Kak Binar. Umi seperti kehilangan separuh hatinya. Aku ingat betul malam itu, Kak Binar demam tinggi dan kejang-kejang. Di luar hujan sangat deras, yang bisa kami lakukan hanya mengompres dahi Kakak dengan air hangat. Umi panik dan tak henti-hentinya menangis. Andai Abi ada bersama kami,

mungkin Abi bisa menerobos hujan dan membawa Kakak berobat, agar Kakak tidak akan pergi untuk selamanya. Secara fisik, umi tampak baik-baik saja, tapi aku tahu di dalam hatinya hancur. Ia berusaha tetap tegar demi ketiga putrinya.

Tak ada yang tahu persis kesedihan di hati umi. Ia memendamnya sendiri, dan kesedihan itu membunuhnya perlahan.

*****

Dua hal yang aku benci dalam hidup ini, senja dan dermaga. Mungkin inilah saatnya, aku menceritakan kepadamu kenapa aku membenci keduanya. Senja dan dermaga telah mencuri umi dariku. Menjelang senja, umi akan pergi dari rumah. Setiap hari. Pulang saat malam telah benar-benar

pekat. Suatu hari, aku pernah mengikuti umi diam-diam. Benar saja, umi pergi ke dermaga kayu, duduk sambil mencelupkan kakinya ke dalam air laut. Ia memandang matahari yang perlahan tenggelam. Andai saja bisa, ingin kuhapus senja dan kurobohkan dermaga ini. Agar umi tak lagi pergi ke tempat terkutuk ini. Meratapi Abi yang telah mengkhianatinya. Semenjak mengetahui ke mana umiku pergi, setiap hari aku mengikutinya diam-diam. Aku sudah bertekad selalu menemani umiku dalam setiap tangisnya, dalam setiap kesendiriannya. Aku harus

siaga di belakang Ibu. Aku takut umi akan melukai dirinya. Aku takut umi akan menenggelamkan dirinya di dermaga, tenggelam bersama senja. Langit tak sepenuhnya jingga. Umi membuang

tatapan hampa. Aku menatapnya iba, tapi tak hari menangis, air mataku tak bisa keluar. Bahkan saat Kak Binar pergi untuk selamanya, hanya aku saja

yang tidak menangis. Mungkinkah aku memang diciptakan tanpa memiliki air mata? Aku sudah tidak tahan lagi melihat umi seperti ini, aku harus bicara. Harus! Aku mencoba memberanikan diri mendekati

Umi.

“Umi, sedang apa di sini?” Aku duduk perlahan di sampingnya, ikut mencelupkan kaki ke dalam air. Umi menoleh sekilas, tersenyum tipis. Senyum yang sangat aku rindukan. Umi kemudian membuang pandangannya jauh, sangat jauh.

“Umi, aku ingat dulu saat aku kecil, belum

lancar berjalan, hanya bisa merangkak saja, Umi sering bercerita padaku tentang banyak hal selain dongeng pengantar tidur. Meski Ibu menganggap aku tidak mengerti, tapi saat itu aku merekam setiap perkataan Umi.” Ia sedikit terkejut, menoleh padaku kemudian

melempar kembali pandangannya.

“Ada satu nasihat yang sampai saat ini aku

ingat. Dulu, Umi sering mengucapkannya sambil mengusap kepalaku. Nak, jika kelak kau sudah besar nanti, jika kelak kau telah mencintai seseorang, cintailah ia karena agamanya, karena ketaatannya, karena kecintaannya kepada Sang Pencipta, karena lelaki yang taat tidak akan tega menyakiti hatimu. Dulu, Umi juga sering bilang kalimat itu berulang-ulang ke Kak Cahaya, saat tahu ada lelaki yang mengirim surat kepadanya. He-he-he.” Aku sengaja tertawa untuk mencairkan suasana. Kali ini aku melihat Umi menunduk,

memandangi kaki kami yang sempurna terendam air, satu titik air mata jatuh perlahan. Ia masih tetap diam.“Umi, kami sudah tahu kalau Ayah telah menikah lagi, meski Ibu tak berani mengatakannya. Aku, Kak Cahaya, dan Kak Mentari menangis di kamar ketika mendengar kabar itu. Kami bertiga telah berjanji, meski Ayah tak bersama kami lagi, kami wajib menjaga Umi. Kami wajib membahagiakan Umi. Kami wajib mempertahankan senyuman Ibu.” Ia mengusap pipinya yang telah basah.

“Umi, ada hal di dunia ini, yang memang

ditakdirkan untuk tidak kita miliki. Ada juga yang ditakdirkan untuk kita miliki sementara, semata untuk memberikan pelajaran berharga. Semua sudah menjadi ketetapan-Nya. Besar kecilnya masalah yang menimpa kita, Tuhan pasti punya rencana terbaik dibalik itu. Bukankah kata Umi, Tuhan Maha Baik?”Ia menoleh, menatap mataku dalam, perlahan mengusap pipiku. Aku memejamkan mata, meresapi sentuhan tangannya yang benar-benar aku menangis. Entah kenapa, semenjak melihat umi setiap rindukan.“Nak, apakah Umi terlalu lama meninggalkan kalian? Hingga Ibu tidak sadar kau telah tumbuh sedewasa ini, pemikiranmu tumbuh sebijak ini?” Ia kembali menunduk.

“Umi, menangislah di depanku. Tak mengapa, sesakit apa pun penderitaan yang umi rasakan, bagilah denganku. Ceritakanlah padaku.” Ia menatapku nanar, air mata itu semakin deras tak terbendung.“Menangislah Mi, menangislah dengan suara pilu sekali pun, keluarkanlah segala sesak di hati Umi. Aku berjanji akan menjadi tempat terbaik untuk menampung sebanyak apa pun air matamu, Bu.” Kemudian tangisnya pecah, ia menangis sejadi-jadinya. Aku memeluknya sangat erat. Menikmati irama tangisnya yang terdengar pilu. Sampai malam bertamu, bulan bundar sempurna bergantung di langit, Umi belum juga menyelesaikan tangisnya.Umi yang selalu berpura-pura kuat di depan kami, menyimpan segala kepedihannya sendiri, akhirnya memuntahkan segala sesak di dadanya. Hari ini aku bangga pada diriku, aku telah berhasil membuat umi menangis di depanku. Aku telah berhasil meyakinkan Umi bahwa perempuan tak sepenuhnya mesti tegar. Ada saat perempuan bisa menumpahkan segala kekecewaannya lewat air mata. Perempuan menangis bukan karena ia lemah, tapi menandakan betapa tegarnya dia. Perlahan isaknya semakin mereda, kecil kemudian tak terdengar. Di bawah rembulan yang sempurna, ia memegang tanganku erat.

“Nak, berjanjilah untuk tetap kuat, tak peduli sesulit apa pun kehidupan, tetaplah menjadi kuat. Kau tetap harus berkilau seperti namamu.”“Dan Umi harus tetap bersinar seperti nama Ibu.” Aku membalasnya.

***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Yang berkunjung ke @bundasalsa wajib difollow. Pak Regar sudah saya follow. Semangat berkarya.

23 Sep
Balas

Thanks ya bu..

02 Mar

Ummi, semoga tetap bersinar

21 Sep
Balas

Aamiin

02 Mar



search

New Post