1. Ia disebut harapan, diantara fitnah dan musuh, yang memungkinkan kebahagiaan abadi bagi ayah ibu atau hanya penderitaan dan kesakitan.

2. Sabar dan ikhlas, kata para guru bagai selimut tebal bagi jiwa murni sang anak. Pada mulanya mereka penuh fitrah, tangan tangan lingkungan dan zaman menjamahnya sedemikian rupa, apakah itu seharga dengan kealpaan ayah-bunda dalam mencermati tumbuh-kembangnya dan menikmati warna laku kesehariannya?

3. Kita menyangka telah menunaikan semua: padahal kita masih berhutang pada anak, hutang waktu, keakraban, pelukan, pujian, tawa dan cerita, atau janji janji kecil yang belum tertunaikan.

4. Anak akan selamanya jadi anak, selama ikatan ayah-bunda semurni hari lahirnya kali pertama, saat tangis haru, senyum, dan lelah bercampur dalam menyambutnya ke dunia.

5. Kata orang, anak akan menjadi anak dari zamannya, tapi kita ingin: anak anak kita dapat mewarnai zaman dengan nilai kehanifan, misi ishlah para Nabi atau khalifah pemakmur bumi yang selaras dengan cita rabbani.

6. Kehidupan kita yang kompleks, perkara dunia yang bising dan menjenuhkan mungkin mengisi isi kepalanya, tapi potongan Kalam Suci dan Sabda Nabawi biarlah membelah celah di jalan hidupnya demi perbaikan kemanusiaan dan bentuk ketaatan.

7. Kita mungkin menyangka bisa memberi semua, atau bahkan menyangka lemah tak berguna, padahal ia hanya titipan belaka dari Sang Pemelihara Utama. PadaNya kita meminta jaminan terbaik bagi anak anak kita.

Catatan:

Untuk silmi, Aisyi, Aghna, Sabiq, Ziyad dan Avicenna. Terkhusus, Ibu mereka, Eva Nur Is.