Teguh Hariawan

Guru fisika SMA, pecinta sejarah. Juga jadi Kepala Sekolah. Tinggal di kaki Gunung Welirang, Tretes Prigen Pasuruan. Hobi blusukan ke objek cagar budaya...

Selengkapnya
Navigasi Web
Mengintip Peninggalan “Masterpiece” Jawa Timur di Museum Nasional
Arca Wisnu Naik Garuda di Musnas (

Mengintip Peninggalan “Masterpiece” Jawa Timur di Museum Nasional

Museum Nasional, nama yang lama jadi incaran saya. Saya yakin, di tempat itu pastilah tersimpan koleksi-koleksi unggulan dari penjuru negeri. Maka, siang itu, di hari Sabtu, setelah penutupan workshop Fasilitas Kesenian yang diselenggarakan oleh Kemendikbud, saya bergegas check out dari Hotel Golden Boutiq.

Kereta Argo Lawu yang akan mengantar saya ke Solo (karena mau survei ke pengrajin Gamelan dan mbolang ke Museum Purba Sangiran) akan berangkat dari Gambir pukul 20.15. Masih 7 jam lagi. Untuk “menghabiskan waktu” saya pun pamit dengan teman sekamar. Rencanamya, keliling seputaran Jakarta Pusat sejenak. Segera panggil Grab.

Dua kali harus membatalkan pesanan karena driver tak berkutik lantaran terjebak macet di sekitaran jalan Gunung Sahari. Akhirnya, setelah order ketiga muncul juga minibus hitam di depan hotel. Saya segera meluncur menuju Museum Nasional. Sopirnya masih muda, kelahiran Jakarta. Tapi, bapak ibunya asli Jawa Tengah. Jadi seperti ketemu tetangga karena saling bersapa dalam bahasa Jawa.

Dipandu GPS, tak sampai 15 menit kemudian sampai di depan Museum Jakarta. Ongkosnya 17 ribu saja. Sebagai tanda pertemanan, uang kembalian yang tak seberapa saya suruh ambil saja, daripada disusuk-i.

Sambil menyeret koper besar, saya memasuki jalan aspal menuju pelataran museum yang bertaman asri. Ketemu Pak Satpam, lalu saya bertanya di mana pintu masuknya. Diarahkan ke Gedung Baru di sebelah Barat. Segera saya menuju ke arah yang ditunjukkan.

Tapi sebelumnya, tentu saja jeprat-jepret di icon Museum Nasional. Apalagi kalau bukan Patung Gajah di tengah taman air mancur. Karena ada gajah-nya, maka museum ini juga dikenal sebagai Museum Gajah!

Siang itu, suasana museum lumayan ramai. Sungguh menggembirakan melihat anak-anak muda yang siang itu mengeksplorasi sudut-sudut museum. Setelah bayar tiket 5 ribu rupiah dan menitipkan koper, saya melangkah menuju lantai 1.

Info dari petugas, gedung ini berlantai 4. Namun, hanya sampai lantai 3 yang dapat diakses. Sayup-sayup, di pojok lantai 1 museum, sekelompok pengrawit muda sedang memainkan gamelan. Artikel lengkap kunjungan museum akan ditulis tersendiri ya…

Sumbangan Jawa Timur

Museum Nasional mempunyai 7 jenis koleksi yakni: Arkeologi, Etnografi, Geografi, Keramik, Numismatik , Prasejarah, Sejarah, Tidak cukup 3 jam mengekplorasi seluruh koleksi. Maka saya pun fokus ke beberapa koleksi yang saya cari, yaitu tinggalan-tinggalan dari Jawa Timur. Saya yakin, pastilah Jawa Timur menyumbang koleksi-koleksi masterpiece-nya di museum ini.

Kita tahu, tidak semua peninggalan arkeologi, yang merupakan warisan budaya masa lalu berada di tempatnya. Kecuali candi-candi dan prasasti batu yang in situ (di tempat aslinya).

Banyak tinggalan lain berupa arca, prasasti logam, naskah-naskah kuno, keramik yang sudah berpindah dari tempat asalnya. Maka, saya susuri lantai-demi lantai Museum Nasional. Saya pelototi satu demi satu koleksi yang dipajang di sisi kanan dan kiri. Termasuk juga di tengah lorong. Akhirnya, baru di lantai 3 saya temukan koleksi sumbangan dari Jawa Timur.

Prasasti Mula Malurung

Parasasti Mula Malurung di Museum Nasional disimpan di sebuah lemari kaca. Di rak yang paling bawah. Sedikit agak menyulitkan saya saat memotretnya. Tamra (prasasti logam) ini terbuat dari lempengan tembaga. Ada 3 yang dipajang di sana, dari total 13 lempeng prasasti yang ditemukan tahun 1975 dan 2001 di Pasar Loak sekitaran Kediri. Kehadiran prasasti Mula Malurung sangatlah penting bagi rekonstruksi sejarah zaman klasik, terutama zaman kerajaan Singasari.

Selama ini, sumber utama bahasan Singasari dan Majapahit adalah kitab Nagarakretagama dan Pararaton. Nagarakretagama ditulis di zaman Majapahit sedang Pararaton yang dibuat 200 tahun setelah kerajaan Majapahit runtuh. Tak pelak, ditemukannya prasasti Mula Malurung seakan merevisi sejarah Singasari, terutama yang berkaitan dengan silsilah raja-raja yang berkuasa saat itu. Sedikit berbeda dengan tulisan sejarah yang selama ini diketahui publik.

Prasasti berbahasa Jawa Kuno ini menyebutkan Sang Nararya Smining Rat (nama lain Wisnuwardhana), menganugerahkan tanah perdikan Desa Mula Malurung kepada Sang Pranaraja karena sangat setia kepada raja.

Bagian penting dari berita Prasasti Mula Malurung ada di lempeng ketiga dan ketujuh yang menyebutkan silsilah raja-raja Singhasari, termasuk raja-raja bawahannya. Tidak seperti cerita yang beredar selama ini, bahwa Ken Arok akan dikutuk dan diberangus oleh keris Empu Gandring sampai tujuh turunan karena telah membunuh sang empu yang telah membuat keris saktinya.

Prasasti Gajah Mada

Koleksi berharga lainnya dari Jawa Timur adalah Prasasti Gajah Mada. Dikenal pula sebagai Prasasti Singasari, karena ditemukan di Singosari, Malang. Prasasti batu berkode D.111 ini berhuruf Jawa Kuno.

Isinya tentang pelaksanaan pembangunan candi pendarmaan untuk mengenang orang besar di zaman Singasari atas perintah Gajah Mada. Begitu tingginya kedudukan Gajah Mada saat itu, walau bukan seorang raja, tapi mampu mewujudkan dan memerintahkan pendirian sebuah bangunan suci untuk mengenang leluhurnya.

Prasasti Gajah Mada bertarikh 1351 M. Saat itu, Jawa Timur di bawah kendali kerajaan Majapahit. Gajah Mada sedang dipuncak karirnya. Menjabat sebagai Mahapatih Majapahit yang sangat dekat dengan keluarga raja, terutama Prabu Hayam Wuruk.

Dari berbagai catatan sejarah, kebesaran Gajah Mada tidaklah muncul begitu saja, tetapi melalui proses panjang, sepanjang perjalanan kerajaan Majapahit itu sendiri. Tak heran, pada akhirnya, orang besar ini diberi kewenangan untuk membuat prasasti yang sekaligus juga mengukir namanya dirangkaian kalimat prasasti. Paling penting lagi, di prasasti ini hanya ditemukan ada nama Gajah Mada. Bukan Gaj Ahmada! Nah….

Arca Wisnu Di Atas Garuda

Arca sosok Wisnu naik Garuda yang dipajang di balik pilar Museum Nasional tampak begitu eksotik. Arca ini adalah replika dari arca yang sama yang tersimpan di Museum Majapahit Mojokerto.

Para sejarahwan menyatakan bahwa arca ini adalah perwujudan dari Raja Airlangga yang pernah berkuasa di Jawa Timur. Airlangga adalah penerus dari Mpu Sindok yang pada masa berikutnya menurunkan raja-raja di Panjalu dan Jenggala. Airlangga juga sangat dekat dengan raja di Bali, karena Airlangga adalah putra raja Bali yang menjadi raja di Jawa Timur.

Prasasti Kanjuruhan

Prasasti Kanjuruhan merupakan bukti material yang sangat berharga untuk menunjukkan tata kehidupan dan pemerintahan di Malang Jawa Timur di abad 7 Masehi. Isinya tentang Raja Gajayana yang memerintahkan pembuatan Arca Agastya dari batu hitam sebagai pengganti dari Arca Agastya yang pernah dibuat oleh nenek moyangnya dari kayu Cendana.

Dari prasasti inilah nama Kanjuruhan dan Gajayana sangat lazim digunakan untuk menamai jalan-jalan dan lembaga pendidikan tinggi di Malang.

Kecewa

Masih direnovasinya lantai 4 Museum Nasional, membuat saya sangat kecewa. Sungguh! Disanalah tersimpan salah satu arca terpenting yang pernah ada di Nusantara. Arca Pradnya Paramita, arca tercantik yang pernah ada.

Dibuat dengan pahatan-pahatan halus bercitarasa seni tinggi. Arca ini ditemukan di sekitar Candi Singosari Malang. Sempat melanglang dan menetap di Leiden, Belanda. Karena tingginya nilai historis arca ini bagi sejarah Indonesia, maka akhirnya pihak Belanda pun dipaksa untuk mengembalikannya ke Indonesia dan sekarang disimpan Museum Nasional.

Bahkan, saat arca ini harus kembali ke negaranya, para pegawai museum dan banyak warga Belanda yang menangisinya. Akhirnya, seorang mantan Dubes Kanada, Karl Drake yang sangat terinpirasi dan kagum dengan arca ini sampai menerbitkan sebuah buku khusus tentang “siapa” arca ini sebenarnya.

Nah, siang itu saya juga kecewa karena tidak bisa memotretnya secara langsung. Itu saja!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Tulisan yang informatif dan bermanfaat. Makasih Pak

16 Jan
Balas

terima kasih apresiasinya Pak.....salam

17 Jan



search

New Post