Teti Taryani

Guru Bahasa Indonesia SMKN 1 Kota Tasikmalaya yang terus belajar dan belajar menulis. Berusaha menulis dengan hati dan berharap agar tulisannya bermanfaat....

Selengkapnya
Navigasi Web
Cinta Tiada Batas

Cinta Tiada Batas

Baru dua jam Bima menempuh perjalanan menuju Tasikmalaya kampung halamannya, tetiba motor yang dikendarainya menampakkan tanda-tanda tak sedap. Saat bergerak di tanjakan ketiga wilayah Puncak Bogor, tenaga motornya seakan menguap begitu saja. Derum halus bunyi motornya, berubah drastis serupa geram terpaksa hingga menimbulkan suara jegoh-jegoh sebagaimana suara batuk kering.

Tanpa memberi harapan lagi, motor keluaran pabrik Jepang yang terkenal itu pun berhenti tak berdaya. Pengendaranya turun dan mencoba membangunkan kembali kendaraan miliknya. Distarter jelas tak bisa. Mesin tetap tak bereaksi meski tombol start ditekan berulang-ulang.

Dicobanya dengan starter manual. Mulanya Bima mengandalkan kaki kanan, motor tetap tak bereaksi. Tugas berikutnya digantikan oleh kaki kiri. Motor distrarter haben nagen. Usahanya hanya menampakkan hasil pada bertambahnya jumlah bulir keringat yang membasahi punggungnya.

Berada di ketinggian jalan selepas menanjak tadi, mata bening lelaki muda itu menyapu pandang pada bangunan di pinggir jalan. Harapan mendapatkan bengkel motor terkabul tak harus menunggu lama. Ternyata tempat yang diharapkannya itu terletak di bagian turunan jalan yang tadi ditempuhnya. Maka dia pun menaiki motornya dan membawanya meluncur pada jalan menurun.

“Permisi, A. Motor saya mogok di tanjakan. Saya mau minta tolong buat memperbaikinya,” ujar Bima dengan sopan setelah memarkirkan motornya.

“Oh, mangga, A. Silakan duduk. Saya lihat dulu motornya,” jawab pemilik bengkel tak kalah sopan.

Di samping bengkel itu terdapat warung sederhana. Sambil menunggu hasil diagnosis Aa Bengkel, Bima memesan mi rebus bakal sarapannya.

“Wah, ini mah parah, A. Olinya kering. Mesinnya gak bisa bekerja.”

Singkat dan padat hasil simpulannya. Namun cukup membuat Bima berpikir keras.

“Jadi, bagaimana, A?” tanya Bima.

“Ya, harus turun mesin dulu. Bisa seharian ngerjakannya,” jawabnya yakin.

“Oh, begitu,” jawab Bima. “Saya sampaikan dulu pada orang tua saya.”

“Silakan, A!”

Maka Bima mengambil jalan cepat. Konsultasi dengan orang tuanya. Lalu diambil keputusan cerdas. Motor dititipkan di bengkel untuk diperbaiki. Sementara Bima pulang ke Tasikmalaya naik bus umum.

Selesai menelepon orang tuanya, Bima membuka dompetnya.

“A, ongkos bus umum ke Tasik boleh enggak ya, enam puluh ribu?” tanyanya pada pemilik bengkel.

“Enggak tau ya, A. Saya enggak tahu ongkos bis umum,” jawabnya sambil garuk-garuk tak gatal.

“Oh, ya, kalau begitu saya mau titip dulu motor ini di sini. Tolong diperbaiki. Ongkosnya nanti dikirim dari Tasik,” kata Bima setelah mendapat instruksi dari ayahnya.

“Iya, A. Mangga,” jawab Aa Bengkel.

“Oh, ya, ini saya bayar dulu mi rebusnya, Teh,” kata Bima sambil mengasongkan uang pada istrinya yang menjual mi rebus.

“Enggak usah, A. Jangan bayar dulu. Nanti saja bayarnya kalau Aa ngambil motor. Bisi uangnya mau dipakai untuk ongkos bus.”

“Wah, makasih ya, A. Kalau motor sudah selesai, tolong dikabari,” ujar Bima sedikit terbata-bata.

Di saat diri tak berdaya. Manakala tertimpa sesuatu di tempat yang jauh dari orang tua atau saudara, pertolongan yang muncul di saat yang tepat membuatnya terharu dan sangat bersyukur.

Maka Bima pun melanjutkan perjalanan ke Tasikmalaya dengan menumpang bus umum.

“Mau ke mana, Mas?”

Mamang Kondektur menepuk pundak Bima yang tengah terkantuk-kantuk.

Diliriknya orang yang menepuk pundaknya. Oo… rupanya kondektur bus yang akan menagih ongkos.

“Berapa ongkos ke Tasik, Mas?” tanya Bima.

“Sembilan puluh ribu,” jawabnya sambil menyobek nota tiker bus.

“Waduh, saya cuma punya segini.”

Bima memperlihatkan uangnya yang hanya delapan puluh ribu rupiah.

“Lima ribu lagilah, A,” pinta Sang Kondektur.

“Bentar. Saya cari dulu.”

Bima membuka dompetnya. Syukurlah masih ada dua lembar dua ribuan dan dua koin seribuan.

“Ini, Mas.” Bima menyodorkan uangnya hingga bersisa seribu rupiah.

Tanpa berkata lagi, Mamang Kondektur mengganti uang dengan tiket bus.

Rasa syukur kembali terpancar di hatinya. Bima masih bisa bayar ongkos tiket dan sisa koinnya digunakan untuk masuk WC umum saat bus berhenti.

Lelaki muda itu tetap bersyukur meski tak bersisa uang sepeser pun. Dia tiba dengan selamat di kampung halaman. Disambut hangat di tempat kelahirannya. Satu lagi dia yakin, saat membutuhkan, selalu ada pertolongan sebagai bukti cinta-Nya yang tak terbatas.

Tasikmalaya, 15022022

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi

15 Feb
Balas

Selalu bersyukur disaat kepepet sekalipun... Essip enin.. Barokalloh

16 Feb
Balas

Amiiinn...sesuai amal baiknya ya Enin. Keren.

15 Feb
Balas

Bima yg selalu bersyukur... salam sukses

15 Feb
Balas

mantap keren cadas... cerita keren menewen, penuh makna...Satu lagi dia yakin, saat membutuhkan, selalu ada pertolongan sebagai bukti cinta-Nya yang tak terbatas... salam literasi sehat sukses selalu Enin bersama keluarga tercinta

15 Feb
Balas



search

New Post