Teti Taryani

Guru Bahasa Indonesia SMKN 1 Kota Tasikmalaya yang terus belajar dan belajar menulis. Berusaha menulis dengan hati dan berharap agar tulisannya bermanfaat....

Selengkapnya
Navigasi Web

Jalan Terjal (2)

Baru empat keluarga yang datang dari dua puluh satu keluarga yang diundang saat aku tiba di lokasi. Keluarga Herdan dengan istri dan dua putranya. Anis dengan suaminya. Dardan bersama dua putranya. Hamidah datang sendiri karena suaminya telah berpulang dan putrinya enggan diajak menghadiri acara resmi.

Kusalami semuanya dengan rasa kangen. Ya, baru kali ini aku bertemu lagi dengan teman-teman kecilku dulu. Hanya Anis yang sering bertemu karena bekerja di perusahaan yang menjadi rekanan perusahaanku. Mereka tampil dengan postur yang beragam. Yang jelas, semuanya telah bertambah usia lebih dari tiga puluh tahun sejak lulus SD dulu.

Tentri menyambut kami dengan hangat. Senyum lebarnya melengkapi pesona kecantikannya. Tubuh langsingnya berbalut gaun hitam berhias manik-manik yang gemerlap. Bersama suaminya, dia menempatkan kami di ruang pertemuan yang disetting dengan megah. Kami merasa tersanjung dengan reuni yang luar biasa ini.

“Hai, Arum! Kamu awet muda banget, sih? Perutmu gak muncul padahal berapa kali melahirkan, nih?” sambutnya riang sambil memelukku.

“Wah, masa iya! Tentu tidak lebih awet muda dari Mbak Tentri. Apalagi aku mah sempat empat kali melahirkan,” jawabku tak kalah riang.

“Oh, ya, ini Apihnya Nella dan Nesya. Nah, ini dia dua nakdisku. Ayo salim sama Tante Tentri,” ujarku pada kedua anakku.

“Bahagia ya, Rum. Punya nakdis cantik-cantik,” katanya seraya menerima ciuman tangan kedua anakku.

Aku hanya tersenyum menanggapinya.

Suamiku bersalaman dengan singkat. Dia terlibat ramah tamah dengan Ronald suami Tentri. Baru kali ini aku berjumpa dengan suaminya. Ternyata benar sebagaimana informasi dari teman-teman, usianya jauh lebih muda dari Tentri. Setelah bercerai dengan suami pertamanya, Tentri mendapat jodoh lelaki tampan yang terpaut usia delapan tahun lebih muda. Perceraiannya kami ketahui dari grup WA. Mereka berpisah baik-baik karena suaminya menginginkan keturunan. Sementara Tentri masih belum mendapat momongan hingga kini.

Malam itu ruang pertemuan Hotel Grand White Pearl memang khusus disediakan untuk acara reuni. Tentri menyediakan layanan buffet atau selfservice. Di sisi utara agak ke tengah, seluruh hidangan telah ditata dan diatur di atas meja hidang. Para tamu diperbolehkan memilih sendiri makanan sesuai selera dan porsi yang diinginkan.

Pada sisi lain, disediakan pula French service. Salah satu jenis layanan istimewa. Semua menu akan dihidangkan, dimasak, pengaturan porsi, dan disajikan di depan tamunya langsung. Layanan ini disajikan dengan menggunakan Gueridon Table.

Selain itu, tempat duduk di ruangan ini ditata dengan gaya Banquet. Ruangan didesign glamor dan berkelas. Model ini menghadirkan suasana reuni yang santai, karena menggunakan meja berbentuk lingkaran dengan beberapa kursi. Satu atau dua keluarga bisa ditampung di meja ini.

Kami benar-benar menikmati layanan mewah dan berkelas. Agan dan kedua anakku terlihat enjoy mencicipi aneka hidangan yang beberapa diantaranya belum pernah ditemui di rumah atau di rumah makan. Malam istimewa ini meski bisa merusak jadwal diet, aku bisa memaafkan diriku sebab suasana seperti ini sangat jarang kami temui.

Kutemui Bu Ade dan Bu Yani, guruku yang bisa hadir. Kubantu mengambilkan hidangan untuk keduanya.

“Arum, kamu udah ketemu Tentri?” tanya Bu Ade.

“Sudah, Bu.”

“Ibu masih ingat. Kalian bersahabat sejak kecil dan tak terpisahkan. Terus melanjutkan ke SMP yang sama juga, kan?” lanjutnya.

“Benar, Bu. Setelah SMP baru berpisah. Kami tak duduk sebangku lagi karena SMA-nya berbeda dan kuliahnya di kota yang beda juga.”

“Ibu masih ingat Tentri yang selalu ingin punya barang yang sama denganmu. Sedangkan kamu ingin berbeda. Tentri suka memaksa kamu memakai alat-alat sekolah warna hitam sedangkan kamu suka warna hijau. Masih ingat?” ujarnya sambil tertawa.

“Tentu saya ingat, Bu. Itu makanya kami sering bertikai karena saya tak suka warna gelap,” jawabku ikut tertawa.

“Tak apa aku suka warna gelap, yang penting rezekiku berkilau gemerlap.”

Tetiba saja Tentri menimpali. Aku tidak mengetahui kedatangannya. Tahu-tahu suaranya ada di antara kami.

“Nah, betul itu!” Bu Ade mengacungkan jempolnya.

Selesai dengan obrolan ringan, dengan takzim, Tentri meminta izin pada guru kami. Dia mengajakku naik panggung untuk memberi sambutan mengenang kejadian masa kecil.

Tetiba Listy menghadang langkah kami. Dia berdiri sambil memegangi gaunnya yang menyapu lantai. Tampilannya benar-benar glamor. Salah satu teman masa kecil yang hobi memerintah.

“Halo dua sahabat kontras,” ujarnya sambil cipika-cipiki lalu memeluk Tentri.

Selesai itu, Listy menyodorkan tangannya dan mengajakku bersalaman. Sikapnya kaku dan hambar. Tanpa cipika-cipiki juga tanpa pelukan.

Untunglah aku paham betul. Mana mungkinlah dia cipika-cipiki denganku. Justru bakal terasa aneh kalau itu terjadi. Meski aku berusaha bersikap biasa, rasanya masih tetap terhalang dinding.

Sungguh tidak mudah meleburkan kisah masa lalu yang pernah terjadi di antara kami.

**

Bersambung ya…

Tasikmalaya, 4-3-2022

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerita Enin selalu keren. Barakallah.

05 Mar
Balas

Waah Listy masih terbawa suasana masa lalu sepertinya lanjut enin

05 Mar
Balas

Waduhh...kisah lalu apa ya di antara mereka? Mungkinkah mereka rival? Tggu bsk ya...he he...dtggu Enin

05 Mar
Balas



search

New Post