Teti Taryani

Guru Bahasa Indonesia SMKN 1 Kota Tasikmalaya yang terus belajar dan belajar menulis. Berusaha menulis dengan hati dan berharap agar tulisannya bermanfaat....

Selengkapnya
Navigasi Web
Jalan Terjal (3)

Jalan Terjal (3)

Aku masuk SD Rahayu sebagai murid pindahan karena orang tuaku pindah rumah. Di kelasku ternyata bertahta seorang ‘raja’ kelas. Penobatannya dilakukan bukan karena prestasi akademik melainkan atas dominansi sikap dan kekayaan. Kemampuan menguasai anggota kelas ditunjukkan dengan memberi perintah ini-itu yang tak boleh dibantah oleh siswa lain. Mereka menurut saja kalau diperintah membelikan sesuatu, membawakan barang miliknya, siap dijadikan kambing hitam jika dia berbuat salah, hingga menuliskan catatan di buku ‘sang raja’.

Suatu hari, saat waktunya pulang, kami masih berada di dalam kelas karena tidak berani menembus derasnya hujan. Apalagi sebelumnya terdengar bunyi petir sabung-menyabung seperti hendak membelah angkasa. Kami diingatkan Bu Guru agar berzikir di dalam hati dan berdoa untuk keselamatan.

“Hesti, ayo kita pulang,” ajak Listy memecah keheningan kelas.

Hesti yang tengah mendekap tasnya menoleh pada si raja kelas lalu mengalihkan pandangnya ke luar.

“Tapi masih gerimis. Nanti bisa pilek dan sakit kepala,” jawab Hesti takut-takut.

Kulihat dari kaca jendela sekolah, hujan belum reda betul sebab masih menyisakan gerimis yang turun dengan cepat. Titik-titik air itu seperti berlomba-lomba turun dari langit.

“Jangan lupa bawakan tasku. Awas, jangan kena air hujan!” lanjutnya dengan tegas.

“Iya, iya.”

Hesti beranjak dari tempat duduknya dengan kepala menunduk. Aku tahu dia menyembunyikan mukanya yang merengut. Dikeluarkannya kantong kresek dari dalam tasnya lalu digunakan untuk membungkus tas milik Listy. Sementara tasnya sendiri tidak berkantong kresek. Padahal aku yakin, kresek bekalnya diperuntukkan buat pembungkus tasnya sendiri.

“Arum, hari ini bagian tugasmu mencari kresek untuk wadah sepatuku. Terus kamu yang bawakan! Awas, jangan sampai kena hujan!”

Aku menoleh ke arahnya. Kutatap matanya lalu beralih pada mulutnya yang begitu ringan menyampaikan perintah.

“Kenapa jadi tugasku? Aku juga punya tas dan sepatu yang harus kubawa. Kita sama-sama punya dua tangan, kenapa harus nyuruh orang lain?”

Aku kembali memeluk tasku yang tersimpan di meja.

Mendengar jawabanku, rupanya Listy murka. Matanya membulat dan menatap tajam. Rahangnya mengeras. Mukanya diangkat hingga dagunya yang panjang semakin mencuat ke depan.

“Heh, murid baru! Supaya kamu tahu, enggak ada yang berani menolak perintahku! Kalau menolak, kamu tanggung sendiri akibatnya!”

Semua teman menatapku. Mereka mendengar ancamannya yang ditujukan padaku. Bukannya mengingatkan, mereka malah ikut-ikutan mengangkat muka sebagaimana yang dilakukan Listy.

Ternyata, aku satu-satunya siswa di kelas yang menolak perintahnya. Bagaimana bisa aku harus repot membawakan sepatunya sementara dia berhepi ria melewati jalanan becek berlenggang kangkung? Oh, No! Big No! Aku bukan Hesti, teman yang supermanut kepadanya! Bukankah aku harus membawa barang-barangku, juga melindunginya dari hujan?

“Heh, murid lama! Supaya kamu tahu, kali ini ada yang menolak perintahmu. Karena aku bukan pesuruh. Kamu lupa ya, baru… saja Bu Ade bilang, sesama teman harus saling menghargai!” jawabku enteng.

Memang benar, baru saja guruku menjelaskan pentingnya sikap saling menghargai antarteman. Tetapi rupanya hal itu tidak membekas di pikiran Listy. Gaya ngebosnya mengalahkan pikirannya.

Setelah hari itu, perintah Listy kepadaku semakin gencar dan semakin sering dilakukan. Rupanya, peristiwa itu menjadi hari bersejarah bagiku dan bagi Listy.

Aku yang selalu peringkat satu, merasa lebih berprestasi daripada Listy sang raja kelas. Kutolak segala bentuk perintah yang merendahkanku. Sikapku berbeda dengan kawan-kawan yang lebih memilih cari aman daripada bermasalah dengan orang itu. Hal ini membuat si raja kelas memusuhiku. Semua teman sekelas pun ikut memusuhiku pula.

Karena itulah, sejak pertengahan kelas lima, aku benar-benar diasingkan di kelas, dimusuhi, dan dibully oleh sebagian besar teman sekelas, lima A. Teman-teman lain yang tak memusuhiku, tak pernah berani bertegur sapa denganku karena takut mendapat balasan dari si raja kelas.

Bersambung ya…

Tasikmalaya, 5-3-2022

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Barokallah karya yang keren, lanjutkan Ibu Teti Taryani

05 Mar
Balas

Terima kasih atas kunjungannya, Pak Haji.

06 Mar

Scrol dulu ah kebagian sebelumnya, yang pasti ceritanya keren.Maaf baru bisa skss kembali Enin.

05 Mar
Balas

Terima kasih selalu menyemangati enin, Adik!

06 Mar

Waduhh...ini dia. Si raja hutan..eh raja kls. Semoga ga terbawa sampai jd guru..eh kliru sampai tua misd nya...he he...Listy. keren bgt Nin crt nya

05 Mar
Balas

Iya, Oma. Si Raja Kelas, untunglah tak jadi guru. Bahaya! bisa menularkan aura negatif.

06 Mar

Keren ceritanya. Salam sehat dan sukses selalu.

05 Mar
Balas

Terima kasih supportnya, Bund.

06 Mar



search

New Post