Teti Taryani

Guru Bahasa Indonesia SMKN 1 Kota Tasikmalaya yang terus belajar dan belajar menulis. Berusaha menulis dengan hati dan berharap agar tulisannya bermanfaat....

Selengkapnya
Navigasi Web
Jalan Terjal (6)

Jalan Terjal (6)

Beruntung Kang Abung yang kami undang untuk menjadi pembawa acara segera mengambil alih situasi.

“Semangat pagi hadirin yang berbahagia. Sungguh suatu kehormatan dan kebahagiaan bersua dengan teman masa kecil, sahabat di saat mengenakan seragam putih merah, eh, apakah memang warna seragamnya sudah putih merah?”

Kang Abung tertawa disambut riuh tawa kami. Saat SD, kami mengenakan pakaian seragam putih putih, putih hijau, dan pramuka. Kami belum masuk dalam generasi seragam putih merah.

Selanjutnya, acara berlangsung khidmat ketika kedua guru kami menyampaikan sambutan dan bercerita tentang kenangan yang masih diingatnya. Selain beliau, dua guru kami tidak bisa hadir dan yang lainnya telah tiada.

Mendengar penuturan keduanya, kami tersenyum teringat kenakalan dan kisah-kisah lucu ala anak-anak. Kami juga menangis mengenang guru-guru kami yang telah tiada.

Tentri menyampaikan sambutan sebagai tuan rumah. Abduh mewakili kelas menyampaikan ucapan terima kasih kepada pasangan Tentri dan Ronald. Karena merekalah kami beroleh kesempatan untuk menjalin silaturahmi bersama teman masa kecil.

Acara terus berlanjut. Hiburan spontan bergantian dengan alunan suara emas penyanyi yang khusus diundang untuk menyemarakkan acara.

Kucari dengan pandanganku keberadaan Nella dan Nesya. Kami para orang tua duduk bersama di deretan kursi sebelah kanan. Sedangkan anak-anak duduk di sayap kiri. Sengaja mereka duduk bersama di tempat khusus agar saling berkenalan dan bisa menjalin silaturahmi.

Kuhampiri keduanya yang tengah berbincang dengan seorang pemuda. Mata tuaku masih jelas melihat betapa tampannya pemuda itu.

“Assalamualaikum, Pak, Bu,” sapanya sambil membungkuk lalu menyalami dengan santun.

“Waalaikumsalam. Sebentar, sepertinya saya baru bertemu dengan Aa. Putranya siapa, ya?” tanyaku.

“Saya Faris, mau menjemput Mamah Anis, Bu,” jawabnya dengan senyum. “Tadi mobilnya saya pakai karena ada keperluan. Jadi sekarang saya jemput. Ternyata acaranya belum selesai.”

“Oh, putranya Mamah Anis. Nah, ini keduanya nakdis saya. Nella dan Nesya. Eh, kalian sudah saling kenal?” tanyaku.

“Sudah,” jawab ketiganya serempak.

Tawa kami bersahutan karena jawaban serempak yang terdengar kompak.

“Eh, Arum, kayaknya asyik ya, kalau kita besanan!”

Kudengar sebuah bisikan mendarat di telingaku. Anis muncul tiba-tiba mengagetkanku dari belakang. Tangannya memegang pundakku.

“Ssst… anak sekarang mah bisa tersinggung kalau orang tua maen ngejodohkan. Maunya dipercaya, dikasih waktu dan kesempatan buat cari mandiri. Aku enggak mau disalahkan kalau ada apa-apa,” jawabku sambil mengajak Anis melangkah mundur. Suaraku pun kurendahkan agar anak-anak kami tak mendengarnya.

“Iya, sih. Tapi mereka harus paham bahan pertimbangannya, yang disebut bobot, bibit, bebet,” lanjut Anis.

“Aku enggak gitu. Lihat agamanya dulu, terus kesantunan, baru bibit dan bebet.”

Anis mengangguk-angguk, lalu bertanya.

“Lha bobotnya gimana?”

“Yang penting bobot istri enggak bikin repot suami kalau sewaktu-waktu minta gendong,” jawabku sekenanya.

Anis tertawa hingga mengundang Yanto, suaminya, datang mendekat.

**

Masih bersambung, Man-teman…

Tasikmalaya, 8-3-2022

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerita Enin selalu keren, ditunggu lanjutannya.

09 Mar
Balas

Keren Bunda Teti. Heheeh lucu juga yaa...yang penting bobot isteri nda buat suami kewalaahan saat minta gendong heheeh.Salam sehat dan bahagia selalu

09 Mar
Balas

Jadi tertawa ketika sampai di pembicaraan bobot...bagus alur ceritanya Bunda. Sukses selalu

09 Mar
Balas

Ada cerber baru Nin, maaf baru baca. Benar tuh Nin,, yg pertama agamanya dulu. Kalau agamanya sudah baik, tentu diikuti yg lainnya.

09 Mar
Balas

Betul sekali yang utama dalam mencari jodoh anak dilihat agamanya dulu bagus tidak ibadahnya, selanjutnya terserah anda hehe lanjut Enin

09 Mar
Balas

Hahaha...oma mah wanita berbobot Enin. Kerenn bgt crt nya. Dtggu ya Nin lanjutannya...

10 Mar
Balas



search

New Post