Teti Taryani

Guru Bahasa Indonesia SMKN 1 Kota Tasikmalaya yang terus belajar dan belajar menulis. Berusaha menulis dengan hati dan berharap agar tulisannya bermanfaat....

Selengkapnya
Navigasi Web
Mata Bening Emilia (1)

Mata Bening Emilia (1)

Cerpen dua bagian

Kucari keberadaan anak itu. Biasanya dia duduk di baris kedua dari belakang. Sudah dua kali kuedarkan pandang. Sosoknya tetap tidak kulihat. Kualihkan pandang ke arah lain hingga menyapu seisi kelas. Ah, benar-benar tidak ada!

Melihat kelakuanku, beberapa siswa turut mengalihkan pandang mereka ke arah tempat yang menjadi sasaran penglihatanku. Demikian pula, saat kuedarkan pandang, mereka turut memutar kepala ke segala arah. Aku jadi tersenyum dibuatnya.

“Ibu nyari Emilia? Sakit, Bu, udah dua hari ini,” kata Diani tanpa kuminta.

Emilia gadis pintar. Dia cerdas dan smart. Keberadaannya di kelas selalu menghangatkan suasana. Bahkan dia dipercaya beberapa guru mata pelajaran untuk menjadi tutor sebaya.

“Iya, Bu, suratnya kemarin dari dokter. Katanyan kena positif Omicron,” lanjut Hanni.

“Oh, ya? Kalau begitu mari kita doakan bersama….” Kata-kataku terhenti karena ada siswa menyela.

“Tapi yang sakit bukan hanya Emil, Bu. Ada Handi, Wisnu, juga Dena. Nita dan Yuni udah tiga hari tidak masuk, juga karena sakit.” Garis bibir Muna menampakkan protes. Benar-benar lucu dan semakin bertambah manis saja melihat gadis itu merajuk.

Aku tersenyum mendengarnya. Tentu saja, gadis manis itu adalah teman dekatnya Wisnu. Kumaklumi kalau dia sedikit cemburu karena bisa jadi dikiranya aku mengabaikan siswa lain yang juga tidak masuk hari ini. Padahal aku baru hendak menanyakan siswa yang tidak hadir hari ini.

“Terima kasih atas informasi yang kalian berikan. Mari kita doakan bersama, agar semua siswa yang sakit diberi kekuatan dan kesabaran, juga segera mendapat kesembuhan. Siswa yang sehat semoga bisa selalu bersyukur dan terus menjaga diri atas kesehatan yang dikaruniakan Allah kepadanya.”

Kudoakan semua siswaku yang tengah sakit dengan sepenuh hati. Especially buat Emilia.

Kulanjutkan hari itu dengan memberi latihan penggunaan unsur kebahasaan dengan teknik diskusi dan presentasi. Anak-anak terlihat sangat antusias. Mereka bersemangat menyampaikan kalimat dan teks yang dibuatnya. Semua tanggapan diterima dengan gelak tawa. Di antara kelas yang kuampu, kelas ini termasuk kelas paling ceria.

Entah mengapa, aku sendiri berasa hampa. Tanpa kehadiran Emil, sepertinya aku kehilangan beberapa persen semangat yang biasa kupelihara saat berhadapan dengan siswa. Tatapan dari bola mata Emil adalah suntikan power yang yang menjadi dopping alami saat aku berhadapan dengan siswa. Gelora semangat berbalut cinta kutumpahkan untuk mereka. Lebay, memang! Tapi itulah kenyataannya.

Aku masih ingat saat masih usia TK, Emil bersahabat dengan Ryan anakku. Ke mana-mana mereka selalu ingin satu grup, satu mobil, bahkan satu jenis permainan. Emil suka memaksa ikut permainan anak lelaki jika melihat Ryan ada dalam kelompok itu. Begitu juga Ryan. Dia tidak keberatan main boneka barbie jika Emil tak punya teman bermain. Mereka selalu asyik.

Tidak banyak anak-anak lain yang bersedia menjadi teman Emil. Mungkin, bagi anak TK, mata Emil menjadi hal yang tidak biasa. Mereka lebih memilih teman yang tidak punya ‘keanehan’. Selain itu sesekali emosinya sering memuncak, membuat anak-anak lain ketakutan. Entah karena di usia dua tahun dia sudah memiliki adik, sehingga banyak hal yang terabaikan oleh ayah bundanya. Stabilitas emosinya pun sepertinya kurang terbimbing.

Karena itulah, aktivitas Emil yang tenggelam dalam gawai pun, jadi kurang terkontrol. Hal ini menjadi penyebab utama matanya rusak gegara radiasi layar gawai. Mata kirinya berselaput putih dan retinanya tak mampu berfungsi dengan baik. Gadis cantik itu hidup dengan sebelah matanya.

Suatu hari, Bundanya Emil bercerita padaku.

“Bun, nanti kalau Emil udah gede, boleh enggak nikah sama Ryan?” tanya Emil pada bundanya.

“Boleh. Tapi itu nantiiii… kalau Emil sama Ryan udah sekolah tinggi, udah kerja banyak duit. Baru menikah. Cuma, sekarang Emil jangan mikirin nikah. Berteman aja ya? Lagian, berteman kan harus sama banyak orang. Jangan sama Ryan aja,” kata Bunda Emil pada putrinya.

“Iya, aku juga berteman sama Meita, sama Icha,” jawab putrinya. “Tapi aku pengen Ryan tetap ikutan. Enggak boleh ke mana-mana.”

Aku tertawa mendengar cerita Bunda Emil.

Ryan kecil mendapat pelajaran berharga dari sahabat cantiknya. Karena itulah dia membatasi diri dari layar gawai. Tanpa harus susah-susah mengingatkan akan bahaya layar gawai, Ryan sudah paham berkat kondisi mata yang diderita Emil.

Dia juga selalu merasa prihatin dengan mata Emil. Hampir setiap hari anakku membicarakan rasa simpatinya pada kondisi penglihatan sahabatnya. Berkali-kali dia mengatakan ingin memberikan matanya buat sahabatnya itu. Aku dan suamiku benar-benar trenyuh dengan empati yang ditunjukkan oleh anakku.

Qadarullah. Ryanku yang tampan dan selalu semangat harus menyerah pada leukemia yang hinggap di tubuhnya. Dia kembali pada Sang Pencipta menjelang masuk SD. Setelah kupikirkan matang-matang, mata Ryan kami berikan pada Emil. Karena itulah, aku selalu bisa melihat tatap mata anakku pada gadis itu.

Aku menghela napas yang terasa berat. Dua minggu masih begitu lama. Tak sabar rasa hati ini untuk berjumpa kembali dengan anak itu. Aku hanya ingin berjumpa dengan binar matanya yang penuh kerlip bintang.

**

Bersambung ya, Man-teman!

Tasikmalaya, 23022022

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Asyik dan renyah. Suka, Enin cantik. Salam dan bahagia.

24 Feb
Balas

Masya Allah Teh Enin memang tidak.pernah kehabisan ide yang disajikan dalam bentuk cerita yang apik dan menarik.

24 Feb
Balas

Duh.. Sedihnya... Emil segera sembuh ya... Binar mata ryan dirindu ibu guru.... Keren enin cantik semoga sukses selalu

24 Feb
Balas

the best Ibu

24 Feb
Balas

Mata itu masih bisa kutatap...wow sekali Bunda..membayangkan tokoh yang luar biasa. Saluuut

23 Feb
Balas

Kisah yang menarik bunda. Salam sehat dan sukses bunda.

23 Feb
Balas

Selalu hadir dengan ide cerita yang fresh n keren. Barokallah Nin.

23 Feb
Balas

Cerpen menarik enin ditunggu kelanjutannya

03 Mar
Balas

Aduh...sedih & bahagia campur aduk jd 1 Enin. Kutunggu lanjutannya yaaa...sht sllu

24 Feb
Balas

Keren cerpennya. Ditunggu lanjutannya Bun. Salam sehat dan sukses selalu.

03 Mar
Balas



search

New Post