Teti Taryani

Guru Bahasa Indonesia SMKN 1 Kota Tasikmalaya yang terus belajar dan belajar menulis. Berusaha menulis dengan hati dan berharap agar tulisannya bermanfaat....

Selengkapnya
Navigasi Web
Mata Bening Emilia (2-Tamat)

Mata Bening Emilia (2-Tamat)

Kesibukan dan tugas tambahan menyebabkan aku lupa waktu. Sepertinya dua puluh empat jam dalam sehari benar-benar tak bersisa untuk hal lainnya. Aku baru sadar saat kulihat kalender, ternyata sudah lebih dari tiga minggu sejak Emil tidak masuk sekolah. Dalam kurun waktu itu, aku belum sekali pun berjumpa dengannya.

Saat mendapat giliran mengajar di kelasnya, kupercepat langkah untuk menjumpai anak itu. Kulihat dia sedang menikmati bekal sarapannya. Kuperhatikan lekat-lekat. Hei, ke mana wajah cerianya? Mengapa wajahnya ditekuk dan gerakannya terlihat tidak bersemangat? Aku tidak bisa melihat bola matanya yang sangat kurindukan.

“Assalamualaikum,” sapaku saat masuk kelas.

Siswa yang sedang menikmati sarapan segera menutup bekalnya.

“Walaikumsalam,” jawab anak-anak serempak.

“O, ya, kalau ada yang masih sarapan, silakan dilanjut. Habiskan dulu sarapannya sementara saya akan menyiapkan bahan ajar,” ujarku sambil tersenyum.

Emil menatap ke arahku. Kupuaskan menatap matanya yang selama ini kurindu. Mata bening itu terlihat sendu. Ah, aku jadi penasaran dibuatnya.

“Emil sudah sehat? Syukurlah kalau sudah bisa masuk sekolah. Jangan lupa jaga kondisi ya?”

“Iya, Bu. Makasih,” jawabnya lirih. Aku bersumpah, suaranya menyiratkan kesedihan yang sangat mendalam.

Kuselesaikan tugasku melaksanakan pembelajaran di kelas. Satu yang masih mengganjal di hati, tentang matanya yang sendu. Tentang hilangnya kerlip bintang pada bola matanya. Aku harus mencari jawabnya segera.

Kusodorkan kroket hangat kesukaannya. Ya, aku tahu makanan kesukaannya sebagaimana pada anakku sendiri. Emil hanya menyentuhnya tanpa segera memakannya.

“Kenapa, Sayang? Ada yang mau disampaikan sama ibu?”

Kupeluk bahunya dari arah samping. Aku merasakan getaran halus.

“Tak apa. Menangislah biar terasa lega.”

Kupeluk anak itu dengan sepenuh sayang. Air matanya membasahi dadaku. Akhirnya keluar juga suaranya meski terputus-putus.

“Bunda sama ayah nyuruh milih, Emil mau ikut siapa. Emil enggak mau milih karena sayang dua-duanya, Bu. Tapi Emil harus ikut ayah, adek ikut bunda. Emil bingung, Bu. Emil juga enggak mau pisah sama adek.”

Tangisnya kembali pecah. Kali ini pertahananku jebol. Kami menangis sambil berpelukan.

Ya Rabb, mengapa di usia muda Emil harus banyak menelan pil pahit? Jika memang ini jalan yang harus dilaluinya, kuatkanlah gadis ini. Beri dia kesabaran. Beri dia kelapangan hati untuk menerimanya. Dalam diam, aku tak henti berdialog dengan-Nya.

“Emil enggak mau milih, Bu. Emil mau keduanya….”

Ucapannya semakin mencabik-cabik perasaan. Aku harus bagaimana?

“Dengar, Sayang. Ikut ayah atau bunda, sama bagusnya. Kamu tetap mendapat cinta keduanya. Kalau ingin ketemu bunda, Emil bisa vicall atau datang ke tempat bunda. Kamu tetap bisa main sama adek setiap akhir pekan. Bagaimana?”

Kutatap wajahnya yang basah. Gelengan kepalanya menandakan kalau dia menolak saranku. Meski belum beroleh titik temu, Emil terlihat agak tenang saat kuantar pulang bersama senja yang semakin menua.

Sejak itu, Emil jarang masuk. Selain alasan sakit, izin, bahkan alpa selalu mengisi data kehadirannya. Berbagai upaya komunikasi kami lakukan agar Emil kembali ke kelas. Semua langkah seperti membentur batu karang. Emil tenggelam dalam kepedihan dan keputusasaan.

Sebelum kelulusan, kabar terakhir dari bundanya memaksa kami mengantar Emil ke tempat peristirahatan terakhirnya. Dia pulang meletakkan beban yang tak sanggup dipikulnya. Satu pesannya, dia ingin berbaring di samping Ryan. Dia ingin membangun impian masa kecilnya yang jauh dari beban dan tekanan.

Entah ini senja yang keberapa. Aku tak henti memandang padu padan warna yang menguar dalam semburat jingga. Harapanku hanya satu, dalam lukisan senja aku bisa melihat kembali tatap Emil yang ceria. Aku butuh senyumnya, juga rindu kerlip bintangnya.

“Ayo, masuk, Bu. Hari sudah gelap. Relakan dia sebagaimana dulu Ibu merelakan Ryan. Kasihan Arum yang butuh perhatian kita. Jangan sampai Ibu rindu pada yang tiada, tapi abai pada yang masih memerlukan kasih sayang,” bujuk suamiku dengan lembut.

Aku tak membantah. Kuikuti langkahnya memasuki ruang keluarga.

“Taraaa… ayo icip-icip, Bu. Ini masakan perdana Arum. Pastiii enak!”

Nakdisku menyodorkan sepiring kroket telur. Baru kusadari, di matanya kulihat kerlip bintang milik Emil. Juga ketulusan sikap sebagaimana Ryan dulu.

**

Tasikmalaya, 24022022

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Enin memang pintar merangakai kata hingga mengaduk rasa pembacanya. Semoga sehat dan bahagia selalu Teh Enin. Barakallah.

24 Feb
Balas

Duh sedihnya kehilangan.... Keren eniin... Barokalloh...

25 Feb
Balas

Ah Enin pandai nian mengobrak-abrik emosi pembaca. Kisah yang sungguh kereeeen. Barokallah Nin bageur..

25 Feb
Balas

Bikin baper bacanya bucan, salam sukses

24 Feb
Balas

Aduh...betlinang air mata oma bc crt keren ini Enin. Sht sllu Nin.

24 Feb
Balas

Sedih banget Enin. Luar biasa kemampuan Enin mengolak kata hingga pembaca turut merasakan kesedihan.

24 Feb
Balas



search

New Post