Teti Taryani

Guru Bahasa Indonesia SMKN 1 Kota Tasikmalaya yang terus belajar dan belajar menulis. Berusaha menulis dengan hati dan berharap agar tulisannya bermanfaat....

Selengkapnya
Navigasi Web
Mie Ayam Si Kasep

Mie Ayam Si Kasep

Rasa lelah membebat seluruh tubuh. Satu-satu langkah kupaksa menapaki trotoar. Bising kendaraan serupa irama pelengkap dalam perjalanan yang tengah kulakoni. Panas yang mengigit bergantian menusuk telapak kaki. Tujuanku adalah pohon ketapang yang melebarkan teduh melalui daun-daunnya yang mulai menguning.

Tak kuhiraukan ulat-ulat hitam yang tengah bergerak di batangnya. Aku hanya ingin duduk bersandar dan menghindar dari panas yang menyengat. Angin kering berbaur dengan aroma knalpot kendaraan. Dengan senang hati kunikmati tanpa ragu.

Keringat yang berlelehan di seluruh permukaan tubuh sedikit-demi sedikit mengering dan menguap. Kuletakkan sekarung kecil bekas wadah air mineral yang kudapat hari ini. Kelopak mataku menutup mengakhiri petualanganku hari ini.

Aku tak menyadari perubahan alam. Tahu-tahu rasa dingin membungkus tubuhku. Baju kering yang tadi terpanggang Mentari, kini basah kuyup tertimpa guyuran hujan yang amat deras. Kutengadahkan muka menatap langit. Panas menghilang entah ke mana. Tempias hujan menguasai alam.

“Eh, lu, dikira gak bakal bangun. Asik banget tidur diguyur hujan.”

Seorang anak berbaju kumal menunjuk ke arahku sambil tertawa mengejek. Diikuti oleh dua orang lainnya yang memegang gitar berukuran kecil. Tawa mereka semakin melebar, memperlihatkan gigi berkarang dan bau asap rokok.

“Dasar bangke!” teriak anak bertopi hitam sambil mengacungkan jari tengah.

Aku hanya diam. Tak berani menanggapi meski hatiku panas melihat sikap mereka. Berdasarkan pengalaman, aku memilih diam daripada meladeni mereka.

Dua hari lalu, gara-gara tak terima gurauan sekelompok anak jalanan yang menyebutku laki melambai, aku dipukuli sampai babak belur. Sandalku lenyap. Begitu juga baju dan celana jins lepas dari tubuhku. Saat siuman, kudapati tubuhku tergeletak di pinggir jalan hanya mengenakan celana dalam.

Masih beruntung, tas punggung berisi pakaian kusembunyikan di sebuah keranda kayu yang terletak di surau yang sepi tanpa jemaah. Bangunan tua berbilik bambu itu menjadi tempat yang aman saat aku ingin merebahkan diri. Letaknya yang bersisian dengan sungai memberi kemudahan bagiku untuk membersihkan diri dan membuang hajat.

Setelah hujan reda, aku kembali menuju tempat tinggalku. Tertatih-tatih aku menuju ke sana sambil meringis menahan sakit. Bekas pukulan anak-anak berandalan masih menyisakan rasa sakit.

Tanpa lampu penerang aku telentang membaringkan badan. Awalnya rasa takut membuat tubuhku menggigil, namun seminggu kemudian, aku jadi terbiasa. Sebelum kantuk menyerang, aku sering menatap langit dari jendela surau yang terbuka.

Sebenarnya, hampir setiap malam aku teringat kedua orang tuaku. Apa mereka mencariku? Apakah mereka merindukanku? Entahlah. Sepertinya tidak. Mereka terlalu sibuk bertengkar dan saling menuduh. Ayah menjadikan tubuhku sebagai pelampiasan kemarahannya. Ibu juga mengata-ngataiku dengan kasar. Maka kuputuskan untuk keluar dari rumah. Hidup terlunta-lunta menghindari sakit hati dan sakit badan. Tak terasa sesuatu yang basah keluar dari sudut mataku.

Kubalikkan badanku agar miring ke kanan. Biasanya, kalau tidur seperti ini, aku mudah terlelap. Tak pernah diganggu mimpi buruk. Tapi kalau tidur terlentang atau miring ke kiri, aku sering gelisah hingga terbangun dua atau tiga kali dalam semalam. Kubuang bayangan wajah keduanya. Sebab hanya menorehkan luka yang kian bernanah.

Sebelum sinar pagi membayang, kudengar seseorang bergumam di sampingku. Aku terperanjat lalu bangun dan duduk bersandar ke bagian pojok. Seorang lelaki tengah duduk dalam posisi tahiyat akhir. Setelah menyelesaikan salatnya, dia menatapku lalu mengajak bersalaman.

“Saya Sudir, perantau yang sedang belajar usaha mandiri. Saya lihat Adek udah seminggu lebih tinggal di surau. Apa Adek masih punya orang tua? Atau minggat dari rumah?” tanyanya ramah.

Beroleh keramahan dan perhatian dalam kondisi jauh dari sanak saudara membuat hatiku tersentuh. Ingin menjawab malah suara isak yang keluar.

“Adek minggat dari rumah?” tanyanya sekali lagi.

Kuanggukkan kepala sebagai jawaban.

“Adek mau pulang?” lanjutnya.

Cepat-cepat kugelengkan kepala. Sungguh, sesulit apa pun hidup yang harus kujalani, aku tidak mau pulang.

“Gimana ceritanya sampai di sini? Punya kartu pengenal, enggak?”

Kukeluarkan kartu pelajar SD yang masih tersimpan dalam tas milikku. Bang Sudir mencari celah cahaya agar bisa membaca kartu identitasku.

Karena takut dipulangkan, segera kuceritakan kisah hidupku yang sering mendapat pukulan dari ayah dan umpatan dari ibu. Kusampaikan dengan singkat karena aku tak pandai bercerita.

“Bener nih, Didin enggak mau pulang?” tanyanya seperti hendak menguji ketetapan hatiku.

“Bener, Bang,” jawabku segera.

“Abang juga pernah merasai hidup terlunta-lunta. Daripada enggak jelas mau ke mana, bagaimana kalau ikut abang? Di sini abang jualan mi ayam. Kalau mau, Didin bisa bantu-bantu nyuci wadah. Gimana?”

Seperti mendapat durian runtuh, aku langsung menjawab dengan antusias.

“Mau, Bang, Mau! Makasih Abang ngasih kerjaan buat saya.”

Rasanya ingin terus menciumi tangan Bang Sudir. Tapi dia menyuruhku segera menunaikan kewajiban. Aku segera menuju ke samping surau. Kuambil air wudu sambil kulangitkan rasa syukur. Tuhan telah mengutus Bang Sudir untuk membantu membuka jalan hidupku. Kutunaikan salat yang beberapa kali sempat kuabaikan.

Lima tahun setelah itu, Bang Sudir telah mendapat jodoh. Sesekali dia pulang kampung menyambangi istrinya. Aku tak ragu menggantikan Bang Sudir melayani pembeli jika dia tidak berada di tempat. Para pelanggan memberiku julukan Si Kasep. Bahkan sebuah perusahaan rokok memberi spanduk untuk warung kami dengan nama Mie Ayam Si Kasep. Foto Bang Sudir dan fotoku mengisi bagian spanduk itu. Kami seperti kakak adik karena terlihat sangat mirip. Sama-sama bercambang dan berkumis tipis.

Pelanggan kami dari berbagai kalangan serta dari berbagai arah tujuan. Tidak sedikit pengguna jalan yang menuju arah Jakarta berhenti untuk menikmati Mie Ayam Si Kasep. Warung kami semakin laris. Dari tahun ke tahun, rezeki makin bertambah hingga mampu memiliki warung yang representatif. Kami terkenal. Pelanggan kami pun kian meluas.

Seperti siang itu, pengunjung ramai sekali. Maklum, banyak yang memanfaatkan acara kumpul-kumpul untuk munggahan. Sebuah tradisi makan bersama sebelum Ramadan tiba. Kelompok pesepeda, pejalan kaki, pengguna kendaraan roda empat, memenuhi meja kursi yang disediakan.

Sekelompok remaja baru selesai menikmati mi ayam. Sepertinya anak-anak SMP. Gayanya kekinian dan suaranya riuh. Mereka berfoto menikmati tempat yang tersedia. Ya, Bang Sudir menata dua pojok ruangan hingga menjadi tempat keren untuk berfoto.

Aku yang bertugas di bagian kasir menerima pembayaran dari mereka.

“Aa, meja tujuh, jadi berapa?” tanya gadis bermata bening.

“Iya, dek. Mm… dengan kerupuk dan jus, ya? Semuanya tiga ratus dua puluh.”

Aku beradu tatap saat gadis itu menyerahkan uang. Sudah tak terhitung berapa kali aku bertatapan dengan pelanggan. Entah mengapa, kali ini bola matanya langsung menghujam pusat debar di dalam dada. Aku sedikit terpana karena bening matanya.

“Makasih ya, Aa.”

“Mm… nomor HP yang di sini punya siapa, ya?” tanya teman gadis itu sambil mengacungkan kartu nama. Bang Sudir memang menyediakan kartu nama untuk menjemput pelanggan. Aku tersenyum melayani pertanyaannya.

“Oh, itu punya kakak saya, pemilik warung ini. Tapi dia sudah menikah. Kalau mau, nomor saya aja yang di-save. Mau enggak?”

Sikap konyolku keluar dengan sendirinya.

“Wah, mau, A, mau!” jawabnya berjingkrak kegirangan. “Cuma, jangan kegeeran! Aku mah udah punya gebetan!” bisiknya disusul suara tawa.

Setelah kuberi secarik kertas dengan nomor HP-ku, dia berbalik menatap temannya.

“Tuuuh… ‘kan! Makanya jangan malu-malu. Nih, nomernya!” katanya sambil menyerahkan kertas pada gadis yang tadi menjadi juru bayar.

Kulempar si juru bayar dengan senyum dan anggukan. Pipinya berganti sewarna tomat yang ranum.

Warung kami tutup pukul sepuluh malam. Itu pun kadang-kadang masih ada pembeli yang memaksa menerobos masuk. Saat tutup itu, sebenarnya di dalam warung masih bergerombol pembeli yang mengantre. Kasihan juga kalau sampai tidak dilayani.

Kupandangi layar gawai yang berkelip. Anisa si juru bayar itu resmi menjadi kekasihku. Dua tahun sudah kami saling memahami dan menautkan hati. Namun, apa hendak dikata. Aku tidak ingin melanjutkan hubungan yang sudah mengikat ini.

Entah kali keberapa Anisa mengajakku untuk bertemu. Air matanya yang membanjir tak akan mengubah keputusanku. Saat terakhir dia datang menikmati mi ayam dengan orang tuanya, aku putuskan untuk mundur dengan tegas. Aku tidak akan luluh meski tangis Anisa begitu menyayat.

Tidak kujawab sepatah kata pun saat ibunya datang dan meminta penjelasan atas keputusan sepihak yang menyebabkan anaknya sedih berkepanjangan. Kutatap matanya. Aku tersenyum pahit menyadari wanita itu tidak mengenaliku.

Biarlah dia tahu, bagaimana rasanya tak mendapat jawaban atas sesuatu yang sangat ingin diketahui. Sebagaimana aku dulu tak mendapat jawaban atas pertanyaan, mengapa ayah ibu menjadikanku sebagai kambing hitam pada setiap pertengkarannya?

Wanita itu, mamanya Anisa, adalah ibuku yang dulu tak pernah memintaku pulang saat aku pergi dari rumah. Pesan yang masuk melalui gawaiku hanyalah caci maki yang tak berkesudahan.

“Kamu itu lelaki macam apa, hah? Susah payah mengejar Nisa, sudah di tangan malah dilepas begitu saja. Apa sih, maumu yang sebenarnya?” Bang Sudir turut menyudutkanku.

“Dia gadis baik-baik, jelas ayah ibunya, masa depan cerah. Terus, kamu mau nyari wanita kayak apa?” lanjutnya masih berapi-api.

"Aku hanya ingin menjadi bagian dari Mie Ayam Si Kasep saja, Bang. Hal-hal lain mah tidak penting!" jawabku tak acuh.

Bang Sudir menatapku dengan geram. Dia tidak tahu, Anisa adikku. Dia putri ibuku dari Pak Sarto, suaminya yang baru. Lelaki yang dulu menjadi pangkal pertengkaran dengan ayahku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ulasan yang luar biasa

16 Mar
Balas



search

New Post