Teti Taryani

Guru Bahasa Indonesia SMKN 1 Kota Tasikmalaya yang terus belajar dan belajar menulis. Berusaha menulis dengan hati dan berharap agar tulisannya bermanfaat....

Selengkapnya
Navigasi Web
Tak Bisa Tidak

Tak Bisa Tidak

“Wah, kebetulan ada Dina di sini. Boleh minta waktunya sebentar?”

Kujawab dengan senyum dan anggukan.

“Ini, aku mau menerbitkan buku kumpulan puisi. Tolong dong, bikinkan pengantarnya. Biar pas, gitu!”

Mbak Rika terlihat begitu antusias.

“Wah, bagaimana bisa bikin pengantar, isi bukunya juga saya enggak tahu,” jawabku. Aku berharap Mbak Rika mengerti kalau aku menolak dengan halus.

“Ya… pengantarnya bersifat umum aja gitu! Pokoknya sedikit promo yang keren tentang puisi-puisiku,” lanjutnya semakin antusias.

“Iya, tapi setidaknya aku harus tahu sebagian puisi unggulannya,” jawabku sambil ketar-ketir.

“Oh, gitu, ya! Ini nih, puisiku Duka di Danau Kelimutu, Bisik Gerimis, Serpihan Mutiara, dan apa ya…? Oh, ya, Senarai Pilu di Ujung Senja yang jadi puisi unggulanku. Kukirimkan filenya, ya? Tapi jangan kasih lihat siapa-siapa. ‘Kan baru mau terbit.”

Jemarinya lincah memilih puisi yang akan dikirimkan padaku. Bunyi gawai mengingatkanku tentang puisi-puisinya yang sudah masuk.

“Makasih, ya. Kutunggu besok pengantarnya.”

Tanpa menunggu jawabanku, Mbak Rika berlalu dari hadapanku. Dia belum mendengar kesanggupanku. Dia juga tak bertanya apakah aku bisa memenuhi permintaannya ataukah tidak. Namun, kepergiannya adalah terjemahan bebas dari kata ‘kudu bisa dan kudu selesai sesuai permintaanku’.

Aku menarik napas panjang. Kutekuni lagi laptopku. Tentu dengan konsentrasi yang sedikit berkurang.

Belum lewat lima menit bahkan belum kuketik kalimat yang akan kutuangkan dalam layar laptop, tetiba suara jerit bahagia seorang wanita menabrak pendengaranku. Kupikir dia mendapat undian berhadiah yang tak disangka-sangka.

“Aiih… kamu di sini rupanya, Din! Dicari-cari ke semua ruang kumpul, ternyata mojok di ruang baca. Perpustakaan sepi, ya? Kok betah, sih? Apa enggak horor?” tanya Nesti dengan mata membulat.

“Ya, enggaklah! Kadang-kadang aku butuh sepi untuk mengerjakan tugasku,” jawabku jujur.

“Wah, sampe segitunya! Jangan-jangan kedatanganku ngeganggu konsentrasi, nih!” lanjutnya.

Aku tersenyum sambil menghentikan gerak jemariku yang tengah asyik bercengkrama dengan huruf-huruf. Kupaksa menulis beberapa kata kunci agar nanti bisa kulanjutkan jika suasana memungkinkan. Kujeda sambil mengingat-ingat ide yang tadi hendak kutumpahkan pada rangkaian kata dan kalimat. Kupandangi Nesti yang tengah membuka lembar-lembar kertas dalam map hijau yang dibawanya.

“Ini, nih, aku sedang penelitian tentang penerapan administrasi di lapas. Bantuin dong bikin kuesionernya, Din,” pintanya sambil menyerahkan dua tiga lembar kertas berisi kalimat-kalimat yang berbingkai tabel.

Kutautkan sebentar kelopak mataku. Kupejam mata sambil kutekan kelopaknya. Hanya bicara dengan hati sendiri. Duh, apalagi ini, ya?

“Bagaimana bisa bikin kuesioner kalau aku enggak tahu administrasi macam mana yang dipakai di lapas itu. Benar-benar enggak kegambar dalam kepalaku itu mah, Nes.”

Kutolak langsung permintaannya yang tak masuk akal itu. Maksudku, bukankah dia yang melakukan penelitian, tentu dia juga yang tahu hal-hal apa yang harus disampaikan dalam kuesionernya. Aku ‘kan sama sekali buta tentang lapas.

Semua jawaban itu hanya berseliweran dalam hatiku. Tak berani kuungkap isi pikiranku yang sebenarnya. Aku takut dia tersinggung.

“Tapi kamu ‘kan pinter nulis, Din. Pasti tahu deh, gimana baiknya bikin kalimat yang disampaikan agar bisa mengungkap penggunaan administrasi di lapas.”

Nesti masih maksa dengan keinginannya. Adduuh… apa dia tidak tahu ya, kalau memaksakan kehendak itu termasuk perbuatan tidak menyenangkan? Hhh…

“Tapi yang kutulis itu ‘kan sesuatu yang kupahami betul. Bukan dikira-kira. Untuk bikin cerpen berisi suasana sebuah café saja aku berangkat observasi ke sana. Beli makanan sambil mengamati sikon di tempat itu. Makannya pun pelan-pelan agar bisa meresapi keadaan dan tahu kebiasaan orang yang berkunjung ke sana.”

Kujawab dengan panjang lebar agar dia paham dengan kemampuanku yang terbatas.

“Gini ajalah, kamu coba dulu bikin kuesioner, terus kasihkan ke aku. Kalau pas dan oke, akan aku pakai. Kalau enggak, biar kuperbaiki sendiri. Udah, gitu aja. Makasih ya, Sahabat tercinta!”

Seperti Mbak Rika, Nesti pun pergi tanpa menunggu jawabanku. Sepertinya mereka yakin, aku bakal mampu mengerjakan tugas yang dibebankan pada pundakku.

Meskipun demikian, aku tetap bersyukur karena keduanya tak berlama-lama berbincang denganku. Kepergian mereka berarti keharusan bagiku untuk memenuhi permintaannya. Kutepis rasa tak nyaman yang mengganggu perasaanku. Dalam situasi aku butuh waktu untuk menuntaskan tugasku, justru mereka datang dengan paksaan maut tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk menolak.

Andaipun menolak, mereka tak pernah percaya kalau aku tidak bisa mengerjakannya. Mereka hanya tahu, kalau aku selalu siap membantu. Sayangnya mereka tak pernah tahu, kalau aku mengerjakannya sambil pontang-panting dan memerkosa waktu yang kumiliki.

Kupusatkan lagi perhatian pada laptop. Kusegerakan tugasku agar cepat selesai.

“Assalamualaikum.”

Kudengar seseorang mengucap salam. Kupastikan dia langsung masuk ke perpustakaan. Kujawab salamnya dalam hati. Biarlah, yang penting petugas perpustakaan sudah menjawab salamnya dengan suara nyaring.

“Teh, ada Bu Dina?” tanyanya pada Teh Santi, petugas perpustakaan.

“Ada, Bu. Itu di pojok baca,” jawabnya.

Aku tak mengalihkan pandang dari laptop. Kalimat yang kutulis ini membutuhkan sinergitas penuh antara jemari dan pikiran. Kubiarkan Gina berjalan menuju ke tempatku.

“Lagi sibuk, nih?” tanyanya sambil menarik kursi dan mendekatkannya pada tempat dudukku.

“Iya. Dikejar deadline,” bisikku dengan mata lurus ke layar laptop.

“Oh, tugas penelitian, ya? Wah, gimana, dong. Aku mau minta tolong, nih!” bisiknya sambil mendekatkan mukanya ke arahku.

“Emang ada apa?” tanyaku dengan segaris senyum tipis.

Jangan-jangan ini cobaan berikutnya, bisik hatiku.

“Anakku si sulung mau lamaran. Suamiku pengen menyampaikan sambutan silaturahmi. Jadi tolong bikinkan, ya? Katanya, buat pedoman saat lamaran. Gak usah panjang-panjang. Yang penting bagus buat menyambut keluarga laki-laki. ‘Kita kan hanya pertemuan dua keluarga.”

“Kalau ‘hanya’, ya… bisa dibikin sendiri, dong! Cuma menyambut tamu aja kok. Itu mah biasa kita lakukan,” jawabku sedikit tak acuh.

“Please, deh, Dina. Aku minta tolong banget buat hari Jumat,” ucapnya sedikit memelas.

“Jumat? Sekarang Rabu. Berarti harus segera, dong!”

Kumiringkan badanku seraya memandang wajah Gina yang masih bergaya memelas.

Ya Allah, Gustiii…! Bisik hatiku dengan perasaan yang mulai tertekan.

“Ya, deh, kuusahakan. Sekarang biarkan aku ngerjakan ini dulu, ya?”

“Makasih ya, Din! Kamu emang sahabat terbaik!”

Digenggamnya tanganku yang masih kusimpan di atas keyboard laptop. Tampak deretan huruf tak menentu mengisi layar karena tekanan genggamannya.

Setelah Gina pergi, kukemas barang-barangku. Kumasukkan ke dalam tas. Percuma, sembunyi di pojok baca juga aku tetap tak bisa bekerja. Lebih baik aku pulang saja. Mudah-mudahan saja bisa kukerjakan di rumah.

Kudapati anakku tengah berselimut di kamarnya. Mukanya kemerah-merahan. Kuraba dahinya. Panas.

“Ma, besok Muti harus ngumpulin tugas artikel. Tapi badan rasanya panas dingin. Bantu bikinin ya, Ma. Soalnya itu tugas kelompok. Kalau besok enggak ngumpulin, habis deh Muti dimarahi temen-temen. Jangan lupa, temanya membangun remaja berkarakter.” Suaranya serak dan bergetar.

Segera kuambil obat kompres dan kuberi minum penurun panas. Kupandangi putri semata wayangku. Mataku mulai berkunang-kunang. Bayangan kata pengantar, kuesioner, sambutan penerima tamu, hingga artikel berseliweran mengelilingi kepalaku. Ditambah dengan penelitianku sendiri yang terbentur waktu.

Semuanya bergerak-gerak bersama dengan huruf-huruf yang beterbangan. Tanda baca berebut memasuki kepala melalui mataku. Beban di kepala begitu berat. Huruf dan kata menggumpal membentuk paku dan palu. Semua menancap tanpa ampun. Memagari dinding batok kepalaku.

Sejak itu aku berubah menjadi patung besi yang tetap bergeming meski tak henti dihantam waktu.

 

**

Tasikmalaya, 14-3-2022

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren cerpennya. Sukses sll bunda

15 Mar
Balas

Ulasan yang luar biasa keren

14 Mar
Balas

Cerpen Enin selalu menarik dengan ide cerita yang tak disangka. Kereen.Barakallah.

14 Mar
Balas

Dia terlalu baik hati pada orang tapi jahat pada dirinya sendiri.. Hehe.. Sebenarnya permintaan bantuan teman bisa ditolak dengan tegas. Jawab TIDAK maka urusan selesai.. Keren eniin... Barokalloh

15 Mar
Balas

Bagus sekali Bunda...semakin ke sini diksinya semakin luar biasa dalam mengungkapkan rasa.

14 Mar
Balas

Kebayang tuh paku-paku pada berseliweran, bergerak dan berterbangan bersama dengan huruf-huruf. Tinggal bobok cantik dulu ya. Hehehe

15 Mar
Balas

Mantap bucan, salam sukses

14 Mar
Balas

Y resiko orng cerdas di mintai tolong sana sini.. y agar lbh cerdas laa.

15 Mar
Balas

Sabar... Kekasih Alloh sll ulurkan tangan dingin tuk menolong..

15 Mar
Balas

Keren bunda.

14 Mar
Balas

mantap keren cadas...cerita keren menewen, 'tak bisa tidak' harus yang cetak jadi kuat,tegar, kokoh... salam literasi sehat sukses selalu Enin bersama keluarga tercinta

15 Mar
Balas



search

New Post