Teti Taryani

Guru Bahasa Indonesia SMKN 1 Kota Tasikmalaya yang terus belajar dan belajar menulis. Berusaha menulis dengan hati dan berharap agar tulisannya bermanfaat....

Selengkapnya
Navigasi Web
Terbakar Aib

Terbakar Aib

“Apa? Yang benar aja Yum. Masa Bapak berani terang-terangan di depan umum?”

Amarah Bu Win terpancar pada bara api yang membakar bola matanya. Asapnya membumbung hingga melampaui gundukan awan kelabu. Gelap pertanda hujan yang bakal segera turun sedikit memudar karena asap panas yang naik dengan segera.

Yuyum melangkah mundur. Pembantu muda itu masih trauma dengan cengkeraman tangan juragan istri gegara tak percaya dengan berita yang dibawanya. Kuku tajamnya serasa masuk dan menusuk pundaknya.

“Coba bilang lagi yang jelas, siapa wanita manja yang jalan sama Bapak itu?”

Bu Win menatap garang. Suaranya agak menggeram serupa harimau lapar yang hendak menerkam mangsa. Sementara Yuyum tak tentu rasa. Tubuhnya gemetar lantaran takut salah bicara lagi. Karena kabar berita yang dibawanya itu, Bu Win marah membabi-buta. Bagaimana kemarahan berikutnya jika semakin diperjelas dengan deskripsi yang harus disampaikannya?

“Duh, aingah… kenapa atuh ini mulut teh bet segala diomongkan. Jadi we, kasus!” gerutu Yuyum. Tentu hanya berani berucap di dalam hati.

Entah bagaimana caranya menghentikan kemurkaan juragan istri. Yuyum berharap datang keajaiban yang bakal mampu menghentikan kemarahan Bu Win.

“Apa kamu tuli? Bilang yang bener, gimana kelakuan Bapak sama wanita yang kamu ceritakan itu?”

Suara Bu Win semakin menggelegar sementara nyali Yuyum makin menciut.

“I… iya… itu, Bu. Tadi … tadi kata orang, Bapak bawa wanita cantik yang … yang terlihat manja. Terus masuk Saung Ranggeum. Mereka makan lalu berangkat lagi. Katanya sih, ke Ciwiru.”

Ploong… lega rasa hati Yuyum setelah menyampaikan semua hal yang diketahuinya berdasar kabar berita dari beberapa orang.

“Katanya teh kata siapa, hah? Akan kutanya biar jelas, siapa yang bawa kabar itu!” teriak Bu Win.

“Aduh, maaf, Bu. Banyak yang bilang begitu, kok. Bukan hanya Kang Uja, Ceu Marni juga sama bilang begitu,” Yuyum makin ketakutan.

Waduh! Bagaimana nanti kalau Kang Uja dan Ceu Marni dipanggil Bu Win? Bisa berabe! Okelah, Kang Uja mah mungkin bisa bersikap sabar. Tapi Ceu Marni? Waduh, perempuan itu sama emosionalnya, sama cerewetnya, sama kuatnya dengan Bu Win.

Yuyum bergidik ngeri membayangkan dua banteng betina marah yang tengah berhadapan. Dari lubang hidungnya yang mengembang, keluar asap putih dan bunyi dengkus pertanda siap bertarung. Banteng di kiri kanan maju lalu saling beradu kepala. Yuyum kena tanduknya setelah menempatkan diri sebagai matador dengan kain merah yang dikibas-kibas.

“Adduuh!” Yuyum memegang kepalanya. Denyut halu dan rasa sakit diseruduk banteng terasa nyata karena imajinasinya yang terlalu mendalam.

Di tengah ruang tamu yang membara itu Bu Win dan Yuyum tersentak mendengar derum mobil berhenti di halaman. Terlihat Pak Hadi keluar dari mobil diikuti seorang wanita cantik menuju pintu masuk. Yuyum segera beranjak ke dapur. Kesempatan baik untuk menghindari perang yang bakal pecah di ruangan itu.

Pak Hadi masuk rumah sambil menyodorkan tahu sumedang dalam keranjang besar yang ditentengnya.

“Apa ini?” cibir Bu Win sambil mengintip isi keranjang. Dilemparnya dengan kasar hingga terguling dan isinya berhamburan di meja tamu, juga di lantai.

“Tahu sumedang, Bu. Itu tadi oleh-oleh dari….”

Ucapan Pak Hadi tak sampai tuntas karena melihat gelagat tak sedap dari istrinya. Lagipula ucapannya segera disela sang istri yang tengah dikuasai amarah.

“Bagus, ya! Makin tua makin tak tahu diri! Kamu makan enak di Saung Ranggeum. Istrimu harus puas dengan tahu sialan itu!”

Dada Bu Win turun naik. Napasnya memburu.

Belum sempat menjawab, Pak Hadi dan Bu Win mendengar seseorang mengucap salam.

“Assalamualaikum….”

Suara merdu itu berasal dari balik pintu masuk yang masih terbuka. Sebuah wajah ayu melongok ke dalam dengan senyum nan menawan. Matanya yang ikut tersenyum tetiba berubah membesar melihat tahu berceceran di lantai.

“Ah, maaf. Maaf. Apakah saya mengganggu Bapak dan Ibu?” Si Cantik menarik kembali kepalanya yang sudah telanjur masuk. Sepertinya dia mafhum di tempat itu tengah terjadi kekacauan berbau amarah.

Pak Hadi yang masih terheran-heran dengan sikap istrinya terlihat gelagapan. Dia bingung hingga tidak menjawab salam dari wanita yang baru datang itu.

“Sssh…. Sudah dulu, Bu. Malu, ada tamu!” Suara Pak Hadi menyerupai desis yang tak begitu jelas.

“Ooo… jadi itu, ya, sundel bolong yang kamu bawa-bawa ke rumah makan terus dijak jalan-jalan ke sana kemari!”

Mata Bu Win hampir terlonjak saking marahnya. Tangan kanan yang tadi menempel di pinggang kini bergerak menunjuk-nunjuk muka Pak Hadi.

“Ya, ampun Buu…! Kubilang sudah dulu! Brenti marahnya biar bisa kujelaskan!”

Suara Pak Hadi masih mendesis dengan telunjuk menyilang di bibir. Wajahnya menyiratkan kebingungan yang luar biasa. Bingung dengan sikap istrinya, juga bingung menghadapi tamunya. Sementara Bu Win masih berkutat dengan kemarahannya.

Pak Hadi menyeret langkahnya menuju pintu. Disapanya wanita itu dengan keramahan yang mengenaskan.

“Maaf, Neng, maaf! Mari masuk…. Duh, saya juga tidak mengerti mengapa jadi begini,” ucapnya pelan.

Sejenak kemudian lelaki paruh baya itu berjongkok dan mengambil satu per satu tahu yang terserak lalu menyimpan begitu saja di meja.

“Kamu! Ngapain deket-deket suami orang! Lihat baik-baik! Dia itu udah tua! Bahkan cucunya juga udah tiga!” tuduhnya pada wanita cantik yang masih berdiri. Napasnya kian tersengal.

“Iya, Bu. Pak Hadi sama tuanya dengan ayah saya, Lukman Wijaya. Cucunya pun empat. Ayah menitipkan saya pada Pak Hadi karena keduanya bersahabat sejak kecil. Saya mendapat tugas menjadi tenaga penyuluh lapangan di sini, di Kecamatan Ciwiru.”

Tutur kata wanita cantik itu demikian tenang. Tak ada keraguan sedikit pun meski sikap Bu Win seperti hendak menelannya bulat-bulat.

Bu Win serasa mendapat pukulan palu godam berton-ton beratnya. Bagi seorang wanita, tidak ada aib yang lebih besar daripada didera rasa malu. Selain salah tuduh, dia mencemburui wanita cantik putri dari sahabat suaminya.

Dulu, saat suaminya terjerat penyalahgunaan dana bantuan rakyat, hanya Pak Lukman yang peduli dan membangkitkan lagi semangat hidupnya. Dialah yang memberi modal usaha hingga keluarganya mampu menata kembali hidupnya.

“Aaaarrrghhh…!”

Tetiba kerongkongan Bu Win rasa terbakar.

Tasikmalaya, 09022022

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren sekali, Enin Suka dengan judul dan cara Enin bercerita. Mantap dah.

10 Feb
Balas

Keren pisan teh.. Gak kebayang wajah buk Win.. Apa kayak kepiting rebus yang kelamaan atawa kepiting kepanasan yang di rebus.. Haha. Sukses selalu

09 Feb
Balas

Haha... Wajahnya merah membara pkus malu tak terkira. Makasih kehadirannya, Pak.

10 Feb

Selalu keren cerpen Enin tiada tandingannya. Salut

10 Feb
Balas

Salam literasi

09 Feb
Balas

Terima kasih atas kunjungannya, Bun. Salam literasi.

09 Feb

Wadaw... Termakan kabar kabur... Keren enin... Barokalloh

10 Feb
Balas

Ohh my God...apa yang terjadi... keren Bunda cantik... salam cinta.

10 Feb
Balas

Terbakar emosi yang tak terkendali. Selalu fresh ide ceritanya. Sehat selalu nin bageur

10 Feb
Balas

Salah sangka

09 Feb
Balas

Iya benar. Salah sangka. Makasih Sahabatkuu.

09 Feb

Praduga tak bersalah hahaha keren enin cerpennya lanjut masih bersambung kah

10 Feb
Balas

Nahh..kan. mangkanyee jgn buru2 cemburu dl...he he..keren Enin.

09 Feb
Balas

Iyee beneer. Malu deh,jadinya.

09 Feb

Keren Enin. Duuhhh Bu Win meni ceroboh ya. Hehe.

10 Feb
Balas

Suka bacanya, Bu. Kisah yang diulas dengan apik. Cemburu yang bikin malu... Salam sukses selalu.

10 Feb
Balas

Cemburu buta rupanya eh tapi asyik lho jadi gak ngantuk walau telah malam begini

09 Feb
Balas

Alhamdulillah. Makasih kehadirannya, Bun.

10 Feb

jdi malu, jngn cemburu buta... hehe, cerpen keren...

09 Feb
Balas

Maluuu hingga berlipat ganda

10 Feb

Hebat Nin ...

17 Feb
Balas

Aduh, Bu Win matak jangan suka seudzon..

10 Feb
Balas



search

New Post