Pak Renggo menghentikan kunyahannya. Krisna membiarkan tangannya membolak-balik makanan di depannya. Bu Renggo meneguk segelas air putih, tetapi tak memperbaiki perasaannya. Sedangkan Lita tertunduk malu dan takut. Suasana di meja makan berubah menjadi seperti ruang ujian bagi Lita. Sejenak ia menyesal mengapa menuruti ajakan Krisna untuk bertemu dengan orangtuanya. Ternyata yang ia pikirkan tadi tidak sama dengan kenyataan yang terjadi. Lita berpikir bahwa ia akan diterima di keluarga Renggo ini. Akan tetapi belum sampai 1 jam bersama mereka Lita telah mengalami hal yang tidak mengenakkan. Satu hal yang sering dilupakan Lita yaitu ia tidak siap menghadapi kemungkinan yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Ia gampang panik dan berkecil hati.

Lita minta perlindungan dari Krisna dengan menyenggol kakinya di bawah meja.

"Bu, bisa enggak masakin yang seperti ini?" Krisna mencoba mengalihkan perhatian. Ia ingin suasana hangat kembali lagi. Hatinya sungguh resah melihat wajah Lita.

"Bisa Kris," Pak Renggo menjawabnya setelah beberapa detik tak ada jawaban dari Bu Renggo.

"Kamu mau lagi? Biar besok dimasakin lagi sama ibumu."

Tak ada respon dari Bu Renggo. Ia tak memedulikan anak dan suaminya, apalagi terhadap Lita.

"Ah, cuma SMA?" kata Bu Renggo dalam hati.

Apa hebatnya lulusan SMA di zaman sekarang? Aku mati-matian menyekolahkan anak-anak sampai perguruan tinggi. Kenapa sekarang harus berjodoh dengan lulusan SMA. Seperti gak ada orang lain saja.

Pikiran Bu Renggo bergolak. Ia tidak setuju dengan Lita pilihan Krisna. Baginya menantu harus berpendidikan tinggi. Ia nanti yang akan menjadi ibu dari cucunya haruslah orang yang pintar. Pintar dalam mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak. Sehingga generasi penerus keluarga Renggo adalah generasi yang berkualitas. Pendapat ini tak bisa dibantah oleh siapa pun, termasuk suami dan anak-anaknya.

"Bu, nanti jam satu saya pamit ya," kata Kris.

"Kamu gak jadi nginap to Kris?" kata Pak Renggo.

"Enggak Pak. Sepertinya Lita ada kerjaan mendadak," Krisna berbohong, ia hanya ingin menyelamatkan perasaan dua wanita yang sangat disayanginya yaitu ibu dan pacarnya.

"Oh...terus...naik travel?"

"Iya Pak, biar saya telpon travelnya."

Bu Renggo masih diam seribu bahasa. Namun ia berkata dalam hati, "Lebih cepat lebih baik."