Runi tertegun di pintu gerbang. Matanya tertambat pada sebatang pohon. Tempat di mana ia sering bermain dengan Irin. Daunnya yang rimbun kini tak ada lagi. Cabangnya yang kuat juga tak ada.

Tempat berteduh saat istirahat jam 08.45, tak ada lagi. Pasti tempat itu panas. Tak nyaman lagi untuk menikmati sebungkus nasi gemuk.

Beberapa minggu yang lalu pohon itu masih ada. Sebelum semua murid dirumahkan karena adanya wabah Corona. Rimbun daunnya memayungi anak-anak yang bermain di bawahnya. Runi dan Irin juga melakukan hal yang sama.

Tapi sekarang, pohon itu tak ada lagi.

"Tet..."

Suara klakson memekakkan telinga. Runi menoleh ke belakang. Di sana sudah berderet panjang kendaraan yang akan masuk. Runi bergegas, berlari menuju kelasnya. Ia ingin bertemu dengan Irin. Untuk membagikan kedukaannya hari ini.

"Rin..., Irin..., di mana kau?"

Runi masuk kelas tak ada Irin. Kemudian ia keluar lagi. Di sepanjang lorong kelas ia beteriak memanggil Irin. Tetapi tak ada manusia yang bernama Irin di situ.

"Oh,"

Runi melirik jam tangannya. Lima menit lagi bel. Ia melihat Bu Yanti keluar dari kantor guru. Hatinya makin gelisah. Sampai detik itu ia tak menemukan Irin sahabatnya.

"Hai!"

Akhirnya Runi dikejutkan oleh suara itu. Runi terkejut lagi untuk yang ke-dua kalinya. Karena suara itu bukan Irin sahabatnya, tetapi ibunya yang berdiri di samping ranjang. Tangan ibunya menyodorkan sapu.

"Maaf Bu, saya kesiangan."

Runi segera meraih sapu dari tangan ibunya.

#sdxaverius2ayomenulis

18 April 2020