Manisnya Hidup, Kita yang Tentukan
Manisnya Hidup, Kita yang Tentukan
Dari sejak pagi tadi kota ku diberi kemurahan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Ketika kubuka mataku telah kudengar gemericik air di luar. Riang hatiku karena satu tugas bisa terlewatkan. Menyiram tanaman telah dilakukan oleh Dia yang memiliki banyak air.
Kumulai pagiku dengan aktivitas rutin. Bersyukur atas nikmat Tuhan yang tak terkira. Karena aku sudah diberi waktu untuk beristirahat, dan Tuhan tetap setia untuk membangunkan. Sebuah bayangan yang selalu ada setiap aku pergi tidur, bisakah besok pagi aku membuka mata lagi?
Rintik hujan berubah menjadi siraman yang sangat deras. Membuat benda yang seharusnya tidak basah menjadi basah. Kamar depan ruang tamuku yang seharusnya tempat yang bebas air, tapi hari ini tidak demikian. Beberapa tetes air ikut bertamu di ruang tamuku tanpa undangan resmi. Beberapa lubang kecil di atap membuat rintik hujan itu bebas memasuki ruang tamuku. Aku menyambutnya dengan penuh harap bahwa bulan depan aku bisa memperbaiki atap itu.
Saat jarum jam mulai bergeser memaksaku untuk segera beranjak dari rumah. Ada sebuah pekerjaan yang harus kulakukan setiap hari. Menelusuri jalan sepi menuju sebuah tempat yang sepi juga. Sebuah gedung sekolah yang telah membesarkanku, dengan berbagai hal, itulah yang kutuju. Di sana memang tidak ada murid yang menunggu tetapi setumpuk tugas telah menantiku.
Hujan yang tidak berhenti menggodaku untuk tetap duduk di rumah menonton televisi sambil menikmati secangkir teh hangat dan sepotong ubi rebus. Meninggalkan segala tugas di sekolah yang bisa ditinggalkan dengan segala macam alasan yang membenarkan diri.
Dua pilihan yang ada di depanku membuatku berpikir keras. Jika aku memilih yang pertama maka aku akan mendapat kenikmatan. Tidak kehujanan, terhindar dari masuk angin, bisa menikmati kehangatan di rumah.
Jika aku memilih yang kedua risiko berbasah-basah dan masuk angin semakin besar. Apalagi dengan kondisi usia tuaku. Tetapi dengan demikian aku sudah memenuhi komitmen yang kupillih yaitu sebagai guru. Yang harus setia untuk bekerja apapun yang terjadi. Hujan memang merupakan halangan, tetapi halangan itu tidak harus membuatku bertekuk lutut dengannya. Banyak sekali cara untuk menghindarinya. Dengan memakai payung atau jas hujan, atau menumpang mobil tetangga.
Pilihan pertama menjanjikan kenikmatan di awal, tetapi tidak pada akhirnya. Pilihan kedua di awalnya kita akan merasa tidak enak tapi berakhir dengan yang manis.
Berakit-rakit dahulu berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.
Siapa yang bisa menentukan hidup kita selain diri kita sendiri? Mana yang akan kita pilih?
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Siapa yang bisa menentukan hidup kita selain diri kita sendiri? Mana yang akan kita pilih?Super sekali. Terima kasih sudah menginspirasi.
Terima kasih Pak Guru.
Pilihan yang tepat untuk seorang guru, tugas dan tanggungjawab kita, kita yg nenjalani, keren bu Theresia tulisannya, salam kenal, izin Follow ya bu dn follow blik ya, salam literasi
Oke. Dengan senang hati saya terima. Salam kembali.
Manusia harus tetap senantiasa berusaha dan berdoa
Ya Pak. Terima kasih sudah mampir di beranda saya. Salam hormat.