Theresia Sumiyati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Perjalanan 'Maya'

Perjalanan "Maya"

Mataku terpejam namun anganku mengembara ke tempat yang aku suka. Aku terbang ke Bali melihat keindahan pulau Dewata. Indahnya pantai Kuta dan pantai Pandawa membuat aku terlena. Bangunan pura yang berdiri megah membuat aku terkagum-kagum siapa gerangan yang membuatnya. Ratusan orang yang datang ke sana semua ingin menikmati keindahan alam hadiah tak terkira yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Banyak orang terpesona melihat keindahannya. Keindahan alam yang mengajak kita untuk bersyukur kepada sang pencipta, tetapi sering kita lupakan. Lebih disibukkan dengan keindahan yang melenakan mata. Tak memedulikan siapa sang pemberinya.

Aku terbang lagi ke pulau Jawa. Candi-candi terkenal dan besar menjadi tujuanku. Candi Borobudur yang termasuk salah satu keajaiban dunia berdiri megah selama bertahun-tahun. Entah sudah berapa ratus ribu orang yang pernah menginjak-injak candi itu ingin melihat keindahan di atasnya. Entah berapa pasang tangan yang telah menempelkan di batu itu. Candi itu tetap gagah. Betapa besar jasa orang-orang yang telah membuatnya.

Aku pergi lagi ke suatu tempat. Di sebuah kota kecil di sudut kota Jogjakarta. Di sanalah aku pernah dilahirkan. Hidup bersama orang tua dan saudara-saudaraku. Kenangan akan masa kecil menari-nari dalam ingatanku. Tentang rasa kesal karena disuruh makan nasi campur kelapa. Tentang rasa gembira karena mendapatkan juara kelas. Tentang rasa bahagia ketika ayahku pulang membawa hadiah. Tentang pancuran di mana aku bersama kakak-kakakku mandi setiap hari di sana. Tentang pasar di mana orang tuaku berjualan di tempat itu. Tentang teman-temanku di saat kami pernah bersekolah bersama dengan bertelanjang kaki berjalan beramai-ramai. Indah dikenang sayang untuk dilupakan.

Anganku berhenti di sebuah tempat yang sunyi. Di tempat itu tak ada gelak tawa. Tak ada juga suka cita. Yang ada hanyalah kesunyian berbalut ketenangan. Tanganku mengelus sebuah batu hitam yang dingin. Ada rasa rindu melambung tinggi di awan. Yang akhirnya jatuh bersama bening air dari sudut mata. Tiba-tiba aku tak ingin pergi, saat hening semakin merasuk di hati. Aku tak ingin beranjak dari tempat itu. Di situ seakan ada kasih yang tetap hidup sampai saat ini. Meskipun batu itu sudah tetap dingin di sana, tetapi gelora cinta yang dipancarkan tak pernah sirna. Aku merasakannya setiap datang dan memegang batu itu. Jauh di bawah sana bersemayam jasad yang telah menyatu dengan tanah, namun kasih yang pernah diberikan kepadaku masih terasa sampai hari ini.

Ibu, Bapak, biarkan sejenak kumengenangmu. Agar rasa rindu sedikit terobati.

Terima kasih untuk kasih yang tak pernah usai.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Oh keren bun. Biar aku dapat mengenangmu...luar biasa. Sdh saya follow ya bun..

03 Jan
Balas

Terima kasih Pak.

06 Jan

Kereeen...Prosa yg puitis...

03 Jan
Balas

Terima kasih ibu cantik.

03 Jan

Di akhir cerita, mengharukan ya bun, rindu orang tua, salam sukses selalu

03 Jan
Balas

Terima kasih Bu

06 Jan

Mantab tulisannya bu. Salam sukses selalu

02 Jan
Balas

Terima kasih Pak.

02 Jan



search

New Post