Theresia Sumiyati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Pidato Mama

Runi duduk di samping mamanya. Ia mengintip resep masakan yang dibaca mamanya.

“Tempoyak? Apa itu Ma?”

“Nama makanan.”

“Enak gak Ma?”

“Enak sekali.”

“Makanan khas ya Ma?”

“Iya, dari Jambi.”

“Mau dong Ma.”

“Boleh, kapan-kapan Mama masakin.”

“Kok gak sekarang saja?”

“Gak bisa, persediaan ikan di kulkas sudah habis. Lagian Bi Minah juga ga jual tempoyak hari ini.”

“Emang bahannya apa sih Ma?”

“Ikan patin sama tempoyak.”

“Tempoyak itu dibuat dari apa?”

“Durian.”

“Oh.”

Runi mengangguk-angguk mendengar penjelasan mamanya. Seperti burung kutilang yang mengangguk-angguk sambil bernyanyi “Trilili lili lilil.”

Menit berikutnya, Runi menuju ke meja makan. Perutnya sudah memanggil untuk pergi ke sana. Ia mengambil sendiri nasi dan sayur serta lauk.

“Ma, Mama sudah makan belum?”

“Belum, makanlah dulu.”

“Adik, Ma?”

“Adik belum mau.”

Setelah berkomunikasi dengan Tuhan, ia segera menikmati isi piring di depannya. Masakan mamanya selalu “mak nyus”. Bagi dia mamanya koki nomor satu di dunia ini. Masakannya selalu enak. Membuat seisi rumah ingin selalu nambah jika makan. Tetapi itu tak diperbolehkan oleh mamanya.

“Heek.”

Runi sudah bersendawa. Perutnya sudah kenyang. Tetapi makanan di piringnya masih sepertiganya. Runi mengambil segelas air dan meminumnya. Kemudian ia mengendap-endap ke tempat sampah, takut ketahuan mamanya. Ketika ia mau membuang sisa makanan itu, ia telah dikejutkan suara mamanya.

“Eit, mau dibuang?”

Runi terkejut. Hampir jatuh piring dan sendok yang dipegangnya.

“Maaf, Ma. Runi sudah kenyang.”

“Kenapa tadi ambil banyak-banyak!”

“Tadi lapar, Ma.”

“Kembali ke meja makan. Habiskan!”

Tak ada yang bisa dilakukan Runi kecuali menuruti kata-kata mamanya. Meskipun untuk melakukannya ia harus beruari air mata. Runi menghabiskan makanan dengan ditunggui mamanya. Berkali-kali ia melirik mamanya, untuk memastikan apakah muka mama masih segarang tadi. Namun sampai suapan terakhir, ia tak melihat senyum mamanya. Ia sedih sekali.

“Sudah, Ma. Maafin Runi. Besok gak ngulang lagi.”

“Ya. Lain kali ambillah makanan secukupnya!”

“Iya, Ma.”

Sambil mencuci piring dan sendok Runi mendengarkan “pidato” mamanya, yang panjangnya seperti pidato menteri saat upacara peringatan hari sumpah pemuda. Mamanya mengatakan bahwa tidak boleh serakah. Mengambil makanan secukupnya, tidak boleh sebanyak-banyaknya supaya tidak tersisa. Membuang makanan sama saja mencuri jatah makanan orang miskin. Seharusnya makanan itu di berikan kepada yang membutuhkan, bukan dibuang percuma. Apalagi di saat sulit seperti sekarang ini, sudah sepantasnya saling membantu.

“Ingat ya, jangan ulangi lagi.” Kalimat menandai berakhirnya “pidato” mama Runi.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

mana foto tempuyaknya he..he., jd penasaran

12 May
Balas

Nanti ya Pak. Kan belum dimasak.

13 May



search

New Post