Sejenak Gila
Sejenak Gila
Dengan tergopoh-gopoh seorang ibu menyambutku turun dari mobil. Aku merasa tersanjung seakan aku menjelma sebagai seorang isteri pejabat yang pantas dihormati. Dengan senyum ramahnya ia menyapaku penuh hormat. Wah, anganku semakin melambung. Apakah begini rasanya menjadi isteri pejabat tinggi? Sejenak aku seperti di awang-awang, tinggi sekali. Kunikmati rasa yang tak pernah kualami. Ilusi memenuhi ruang hati dan pikiranku. Akulah isteri pejabat tinggi, dengan gaji tinggi, yang tak lupa memakai sepatu hak tinggi. Jariku dipenuhi cincin emas. Gelang melingkar di tangan kiriku, sedang tangan kananku memakai jam tangan terbuat dari emas juga. Leherku juga dihiasi dengan kalung berlian. Wajahku dirias dengan make up termahal di dunia. Meskipun mengenakan masker tetapi kecantikanku masih terpampang nyata.
Aku mencoba untuk berjalan anggun, tidak seperti biasanya. Senyumku yang tertutup masker masih kupertahankan agar tatap mataku bisa mengalirkan senyumku itu. Kutenteng tas kulit buaya yang pernah menghebohkan kantorku karena saking mahalnya. Kusapa seorang ibu yang tadi menyambutku. Kutarik tanganku saat dia mau menjabat tanganku. Wajah kecewa dari ibu tersebut, yang gagal merasakan halusnya telapak tanganku. Semuanya kulakukan selain menaati aturan pemerintah, aku juga melindungi diriku dan dirinya dari virus korona.
Ibu di depanku mengulurkan sebuah bingkisan. Agak tertutup, sehingga aku tak melihat isinya dengan baik. Kuraba-raba dan kuamati. Sebelum aku tersadar dengan apa yang kuterima suara ibu itu telah mampir di telingaku. “Bu, tadi aku ke warung. Melihat ini langsung terbayang wajah Ibu. Jadi aku membelinya beberapa butir untuk Ibu.”
“Oh…,” aku terpana dengan kata-katanya. Dia selalu ingat akan sesuatu yang kusukai. Dia murah hati, kepada semua orang tak terkecuali diriku. Tak pernah dia menghitung apa yang diberikannya kepada orang lain. Tak pernah ia menuntut balas atas kebaikannya. Ia belajar dari mentari yang tak pernah lelah bersinar walaupun kadang mendapat gerutuan karena sinarnya membuat kulit para wanita tak seputih bengkoang.
“Terima kasih,” kuterima bingkisan itu. Wajahku bersinar menerima apa yang ia berikan, bukan sebatas onde-onde bulat saja, tetapi terlebih atas kebaikan hatinya. Aku menyudahi ilusiku yang melambung sebagai isteri pejabat yang kaya. Dengan tepukan hangat di bahuku, dunia nyata kembali ke anganku bahwa aku seorang guru kelas 1 SD. Tetapi aku tetap berhak menerima kebaikan dari orang-orang di sekitarku. Hati dan pikiranku kubiarkan melambung, mensyukuri kebaikan yang kuterima sepagi ini. (Dalam hati aku berharap semoga ibu itu tak mengetahui anganku yang menggila).
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar