Tiga Rasa Seribu Rupiah
Tiga Rasa Seribu Rupiah
Mendengar suara itu beberapa anak segera keluar dari rumah masing-masing. Abi yang berbadan gendut. Ciko, adiknya yang kurus. Dua kakak beradik itu berebut duluan ke lorong depan rumahnya.
Arya tetangga sebelah juga keluar bersama Panji adiknya. Masing-masing sudah memegang selembar seribuan.
"Mang, beli." Arya yang bersuara paling lantang di antara mereka memanggil penjual es itu. Dengan wajah berseri-seri lelaki yang dipanggil "Mang" itu menghentikan sepeda motornya.
Segera 4 lelaki generasi penerus bangsa itu mengerumuni Mamang.
"Aku Mang duluan."
Arya yang berjasa menghentikan perjalanan Mamang es itu minta diistimewakan. Panji, Abi, dan Ciko, tahu diri. Mereka tak menuntut dilayani lebih dulu. Salut untuk ketiganya. Mau antrean tanpa disuruh.
Sedangkan Mamang penjual es itu dengan sabar melayani anak-anak itu. Mereka dianggapnya raja-raja kecil yang berhak mendapat pelayanan istimewa darinya. Senyumnya pun tak lepas dari bibirnya. Ia ingat benar pesan guru SD nya.
"Bersikaplah ramah kepada orang lain."
"Apapun pekerjaanmu nanti, kamu harus melakukannya dengan baik."
Yang kedua ini adalah pesan ibunya yang kini telah damai di surga.
"Mang, tunggu ya, aku lupa duitnya." Abi berlari ke rumah mengambil uang dua ribu yang tadi diberikan oleh ibunya ketika akan berangkat bekerja. Dua ribu itu bukan untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk adiknya Ciko.
"Iya." Mamang berkata singkat. Tidak dipesan untuk menunggu pun akan ia lakukan. Kalau tidak melayanglah duaribu rupiah itu. Uang yang sangat berarti bagi kelangsungan hidup keluarga nya.
Transaksi sudah selesai. Masing-masing anak sudah memegang esnya.
"Terima kasih Mang," Abi berkata lebih daripada yang lainnya. Dilanjutkan Arya, Panji, dan Ciko. Untung Abi mendahului mengatakan itu. Jadi yang lain mengikutinya, malu nanti kalau dikatakan tak tahu terima kasih.
Peristiwa itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Saat kampung ini aman tenteram. Ketika anak-anak bebas bermain di halaman setelah paginya sekolah. Saat ibu-ibu bebas bercanda selepas masak di siang hari. Saat mereka disibukkan dengan Edmodo, Zoom, serta kuota internet yang cepat habis. Saat semua orang bebas berkerumun di tempat yang diinginkan.
Tetapi sekarang, es tiga rasa seribu rupiah itu ikut dirumahkan. Ia patuh dengan aturan pemerintah setempat, untuk tetap tinggal di rumah. Demi memutus rantai penyebaran virus Corona.
Kini Mamang penjual es itu sedang merenung bagaimana supaya isterinya tetap bisa masak besok pagi. Ia tersenyum getir ketika istrinya hari ini memasak nasi dengan air lebih banyak daripada biasanya.
Jumat, 3 April 2020
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Dalam musibah seperti ini, cerita anda adalah bentuk kepedu;ian pada mereka yg sedang kesusahan, ..tdk hanya simpati, tp juga empati berperan..salut..salam
Matur nuwun Pak Guru. Salam hormat semakin sehat.